Epilogue

2.5K 188 2
                                    

Tok tok!

"Gimana? Udah selesai packing-nya?"

Jeno memasuki kamar Jaemin yang seperti kapal pecah. Ia pun harus berhati-hati dalam melangkah karena tidak mau menginjak apapun yang ada di balik pakaian yang berserakan di lantai.

"Menurut Lo?" balas Jaemin dengan sinis dan tangannya bergerak memasukkan pakaian ke dalam koper tanpa peduli bahwa pakaian tersebut sudah tidak terlipat lagi.

Jeno memijat pangkal hidungnya, "Aku kan udah bilang, bawa ransel aja."

"Ibuk yang nyuruh Aku bawa koper," jelasnya. "Lagian belum tau juga Aku di sana berapa lama. Maybe I will extend my stay there. Better safe than sorry."

Jeno duduk di sebelah Jaemin dan melipatkan pakaian yang sudah Jaemin masukkan ke dalam koper. Ia pun bertanya, "Bukannya Kamu udah beli tiket pulang?"

Mendengar pertanyaan tersebut, Jaemin lantas tidak melanjutkan kegiatan packing-nya dan hanya diam dengan mata memandang kekosongan. Bahunya merosot, pegangannya pada sepotong baju juga melemah hingga jari-jarinya tidak lagi menggenggam benda tersebut.

Jeno menghela dan membawa Jaemin ke dalam pelukannya, "Muffin, I thought we've talked about this?"

Jaemin pun melingkarkan lengannya pada Jeno. Ia membenamkan wajahnya pada bahu tegap Jeno dan membiarkan dirinya menumpahkan semua emosi yang ia rasakan semenjak pengumuman penerimaan beasiswa dikeluarkan.

Sialan, sungut Jaemin di dalam hati. Gue bahkan belum ngaku cinta ke si Jeno eh dia udah mau ninggalin Gue aja di sini!

"Sshhh. I'm sorry," gumam Jeno. Ia menciumi kepala Jaemin dan mengelus punggungnya, berusaha semampunya untuk menenangkan Jaemin.

Jaemin menyeka air mata dari pipinya dan menarik napas sedalam yang mampu ditampung oleh paru-parunya. Ia mengecup leher Jeno lalu kembali mengisi kopernya dengan barang-barang yang ia inginkan. "Nah. It's perfectly fine. Aku cuma belum mau kita pisah secepat itu," jawabnya apa adanya.

"Oh! Aku juga udah nyiapin kado, mumpung our 19th anniversary is in four days."

Oh, iya. Jaemin dan Jeno, as cringey as they might be, merayakan ulang tahun tanggal jadian mereka setiap bulan. Aku ulangi, SETIAP BULAN. Meskipun begitu, mereka tidak bertukar kado setiap bulannya karena kado merupakan opsional. Yang penting adalah harus melaluinya bersama-sama.

Jeno menaikkan alisnya, "Kado? Mana?"

Jaemin memutar matanya, "Aku gak mau orang bandara ngelihat isinya pas dia ngelewati X-ray." Jaemin merinding memikirkan betapa malunya ia bila hal tersebut terjadi. Ia lalu menambahkan, "Masih di keranjang. Alamatnya udah Aku atur ke apartemenmu karena shipping fee nya bakalan lebih murah. Tinggal check out aja."

"Alamatnya udah pas? Gak salah input?"

Mendapat pertanyaan seperti itu, Jaemin jadi meragu. Ia pun mengambil ponselnya dari tempat tidur dan membuka website yang ia akses melalui private browser.

Jeno memandanginya aneh, "Private browser? Seriously?"

Jaemin mengedikkan bahunya, "What? Aku gak mau ada yang lihat history browsing-ku!"

Jeno semakin curiga ketika Jaemin mendorong Jeno untuk menjauhkan pandangannya dari layar ponselnya. Jaemin pun membacakan alamat yang ia masukkan dengan lantang, "Udah pas, kan?"

Jeno menganggukkan kepalanya. Ia lalu berdiri dan rebahan di kasur Jaemin yang super empuk. Ia menjulurkan tangannya ke arah Jaemin dan menggerakkan jemarinya, "Udahan dulu packing-nya. Aku mau cuddle."

--

Penerbangan mereka berlangsung hampir sehari penuh. Begitu sampai di apartemen Jeno, mereka berempat (Donghae, Tiffany, Jeno, dan Jaemin) sama-sama tepar dan menghabiskan dua hari di dalam ruangan, membantu Jeno menyusun barang-barangnya.

Pada hari ketiga, Donghae dan Tiffany melakukan check-in pada hotel yang sudah mereka booking sebelumnya. Setelah itu, mereka berempat memutuskan untuk pergi berjalan-jalan mengelilingi London dan menyicipi berbagai cuisine lokal. Mereka juga mengunjungi Buckingham Palace dan melakukan hal-hal lain yang umum dilakukan oleh turis.

Pada hari kelima, Jeno dan Jaemin memutuskan untuk menghabiskan waktu berdua di apartemen sementara Donghae dan Tiffany pergi berkencan entah kemana.

Jaemin yang baru saja menerima paketnya dari seorang kurir, membawa paket tersebut ke dalam dan meletakkannya di coffee table. "Babe! Paket!" serunya.

Jeno keluar dari kamarnya dengan handuk mendemprok di kepala. "The package?" ia bertanya, merujuk pada kado yang disebutkan Jaemin sebelumnya.

Jaemin mengangguk dengan cengiran lebar. Ia berdiri sedikit jauh dari kotak kardus itu dan memberikan Jeno ruang yang sangat luas. Ia menggigiti kukunya, "Open it."

Tanpa membantah, Jeno pun menarik lakban dari kotak tersebut dan membukanya. Alisnya naik kala ia melihat kartu ucapan terima kasih di luar bubblewrap hitam. "Bestvibe?" gumam Jeno, merasa sedikit familiar dengan nama itu.

Jeno pun lanjut mengeluarkan isi kotak tersebut, melucuti bublewrap dari benda sesungguhnya dan diam seribu bahasa ketia matanya akhirnya melihat kado apa yang Jaemin berikan untuknya. Tangannya menyentuh dan mengangkat benda itu, merasakan material dan bobotnya yang membuat pikiran Jeno berkabut.

Jaemin yang memperhatikan Jeno dengan seksama, merasa bahwa pacarnya itu sangat mengapresiasi kado yang ia berikan. Namun, ia tidak bisa langsung yakin tanpa bertanya dan memastikannya, "Gimana? Kamu suka?"

Ketika Jeno menaikkan pandangan matanya untuk membalas tatapan mata Jaemin, Jaemin tidak bisa menahan keterkejutannya. Dadanya bergemuruh, sangat mengantisipasi kelanjutan dari reaksi Jeno.

"Oh gosh! Jeno!" Jaemin mulai terkekeh pelan, "You fucking love it, don't you?"

Jeno meletakkan kadonya kembali ke dalam kotak. Ia lalu menggerakkan jemarinya, memanggil Jaemin agar si pacar mendekat.

Jaemin, antusias seperti biasa, hampir melompat ketika ia menghampiri Jeno dan duduk di pangkuannya.

"You're finally going to fuck me now? After two weeks?"

Jeno menarik tengkuk Jaemin dan mencumbu bibir tipis pacarnya sedalam mungkin, "No. I'm going to make love to you. Be ready."

END

Blooming Days || NOMIN ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang