"CUMA lima ratus juta aja kok." tukas ibuku santai. Beliau menatapku dengan pandangan meyakinkanku bahwa uang segitu tidak akan berimbas apa-apa pada rekeningku.
Tentu saja. uangku banyak, aku bahkan sampai lupa kapan terakhir mempergunakan uang-uangku itu dengan benar—karena terus saja kuberikan padanya. Tidak, aku tidak sedang mengeluh sekarang. Aku hanya sedang bercerita.
Kuembuskan napas pelan, bicara dengan ibuku ini selalu membuat kepalaku pusing dan otakku keram. Tidak akan pernah ada pembicaraan santai apalagi dibuatkan makanan seperti di film-film. Kutatap ibuku dengan mata menyipit, "Untuk apa coba? bukannya saya baru ngirimin uang?"
Itu bahkan belum ada seminggu, dan ibu sudah minta uang lagi? apakah ibu pikir aku ini anak sultan? Well, kalau aku anak sultan itu berarti orangtuaku sultan. Sementara ibuku adalah pengangguran banyak acara—shopping, arisan, kencan—jadi aku bukanlah seorang anak sultan. Aku ini rakyat jelata yang kebetulan saja punya banyak uang karena bekerja bagai kuda.
Kalau seperti ini terus-terusan aku benar-benar butuh pangeran berkuda yang kaya tujuh turunan untuk membiayaiku. Kuralat soal aku yang bisa membiayai diriku sendiri itu.
"Kamu tahu ibu lagi mau belajar investasi supaya nggak nyusahin kamu terus," ucap ibu bersemangat. Aku menunggu beliau menyelesaikan kalimatnya sambil menahan untuk tidak memutar bola mata dan mendengus. "Pyo Sul adalah founder dari—"
"Tunggu," kupotong cepat. Keningku berkerut saat mendengar satu nama tak asing yang belakangan ini selalu ibuku sebut. "Om itu pacar ibu?"
"Kita cuma berteman dekat aja." Ibu mengibaskan tangan nampak malu-malu. "Pokoknya, dia janjiin uang itu bakal kembali dalam waktu dua bulan dan sudah berkembang. Kamu mau kan menolong kami?"
Aku mendesah keras. "Bu, om itu cuma mau uang ibu aja."
"Hush, kamu nggak boleh ngomong begitu!"
Aku tidak kasar. Kuputar bola mata, "Saya serius. Mukanya aja itu nggak meyakinkan, dan jelas mana ada pria muda yang mau dengan wanita tua." kataku.
Untuk informasi, Pyo Sul-Pyo Sul itu lebih muda sepuluh atau tujuh tahun dari ibu. Wajahnya beneran tidak meyakinkan, bahkan Gun pernah berkomentar begitu padahal aku tahu dengan pasti Gun adalah tipe yang suka dan gampang dekat dengan seluruh pria di sekitar kami. Jika kalian bisa membayangkan pria-pria muda brengsek yang suka mendekati wanita dewasa, nah kira-kira wajah Pyo Sul itu sama seperti mereka.
"Iya deh, susah kalau udah benci pasti ada aja yang nggak disuka," kata ibu padaku, kulirik ibu yang kini kembali memakai kacamatanya. "kirimin aja uang itu ke rekening ibu, oke? Besok ibu—"
"Nggak." potongku.
"Kamu! Ibu yang melahirkan dan membesarkan—"
"Ibu pulang aja deh, saya capek banget walau untuk mendengar kalimat yang diulang-ulang." Kupotong lagi kalimatnya, lantas bangkit dari posisi duduk. Kuambil jaket dan tasku, lalu menatap kembali pada ibu. "Ibu memang yang melahirkan dan membesarkan saya, saya berterima kasih untuk itu. Tapi, saya yang berusaha dan meyakinkan diri saya sendiri agar tetap hidup sampai sekarang—meski rasanya pengin mati aja tiap mengingat perlakuan ibu." Ke-sepuluh jemariku mengepal. Aku menahan air mata agar tidak rembes keluar. Sebelum meninggalkan ibu dan masuk ke dalam kamarku, aku kembali berkata. "tutup pintu apartemen kalau udah keluar. Selamat malam."
***
Aku tidak bisa tidur. Sial, ini semua karena siaran tengah malam yang kutonton—film zombie—satu setengah jam yang lalu. Seharusnya pasca mendengar suara pintu apartemen tertutup, aku langsung bergegas mandi dan tidur, namun yang kulakukan adalah mandi dan menonton televisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - Siyeon
Fanfictionthe tittle was "Then, I Meet You." DISCLAIMER: Cerita ini hanya fiksi belaka. Author hanya meminjam nama tokoh, tempat, dan merek untuk kebutuhan cerita. Cerita milik author, sedangkan Idol milik orang tua dan agensinya.🧡 -------- Hidupnya yang abu...