28

534 67 2
                                    

            Gue ketemu nyokap lo nggak sengaja, beliau lagi ada diluar dengan baju pasien dan selang infusnya. Ada cowok yang nemenin. Beliau terkejut, tapi langsung nyapa.Saat itu gue sudah berniat untuk meminta izin deketin lo, tapi gue rasa itu bukan waktunya untuk membahas soal itu. Akhirnya kami mengobrol aja, lumayan lama, dan saat itu gue tahu kalau nyokap lo lagi di rawat, kanker usus besar. Beliau jelasin penyebab utamanya mungkin karena dulu beliau sering mabuk, dan kau tahu? wajahnya murung saat membahas soal anaknya, beliau nyesal dan ingin minta maaf, tapi nyokap lo takut kalau lo malah semakin membencinya. Lalu, beliau bilang kalau kita cocok dan mungkin gue bisa buat lo bahagia. Gue katakan kalau beliau salah, kalau anaknya lah yang bisa buat gue bahagia. Kemudian akhirnya gue secara resmi 'meminta'-lo pada beliau.

UCAPAN Jeno beberapa menit yang lalu dibenarkan oleh apa yang saat ini mataku lihat. Kacamata hitam bertengger di wajah, menutupi kedua mata-ku yang kini buram karena airmata yang kutekan keras agar tidak terjatuh. Aku membiarkan airmata itu abadi di ujung pelupuk mataku. Sudah ya, ini benar-benar diluar kendaliku, aku bahkan hampir tidak percaya kalau aku bisa menjatuhkan airmata untuk ibuku setelah segala hal yang kami lalui—yang kebanyakan bukan hal baik dan kenangan baik—ternyata aku tidak sedurhaka itu.

Pyo Sul duduk di sebelah Jeno, dia menyapaku sebentar dan aku balas dengan sebuah senyuman. Tujuh menit berlalu sejak cerita Pyo Sul yang secara garis besar sama seperti apa yang diceritakan Jeno padaku, dan sejak itu tidak ada yang bersuara satu pun di antara kami bertiga.

Kepalaku menunduk, mengikuti arah tanganku yang sejak tadi berada di genggaman Jeno dalam pangkuannya. Tak pernah dilepasnya barang sedetikpun sejak kami sampai di sini. Aku menghela napas pelan, lalu kembali membawa pandanganku pada pintu ruang operasi yang tertutup tak jauh dari tempat kami duduk. Keheningan memeluk, jarum jam terus berpindah, waktu terus berjalan, aku diam-diam resah. Jelas.

Seharusnya perasaan ini tak terjadi, bahkan dari sekian banyak hal yang kupikirkan tentang ibu, aku tidak pernah berpikir kalau ini yang akan terjadi. Kupikir lebih baik terus merasa kesal karena diporoti oleh ibu daripada aku merasa resah karena penyakit yang di derita ibu. Menurut cerita Pyo Sul yang omong-omong ternyata tidak se-muda yang kupikirkan, ibu sudah lama melakukan konsultasi dan melakukan kemo. Kanker usus besar ini disebabkan kerena pola hidup yang tidak sehat—dan aku langsung menduga jika penyebabnya adalah karena ibu yang suka mabuk dan pernah merokok—dan uang yang di minta ibu berulang kali setiap ada kesempatan itu bukan untuk bisnis seperti yang ibu ceritakan padaku, itu untuk biaya pengobatannya. Untuk alasan kenapa ibu tak menceritakan penyakitnya padaku, Pyo Sul menyuruhku bersabar karena itu bukan porsinya untuk bercerita.

Hidupku sungguh menyedihkan, bahkan ketika semua orang berpikir aku memiliki segalanya.

Tiba-tiba dering pada ponsel Jeno terdengar, terasa memekik di keheningan koridor yang kosong ini. Mataku otomatis melirik—ini diluar kendaliku, you know?—ke arah Jeno yang sudah mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Kuputar bola mata ketika melihat siapa si penelepon itu, tolong ya sekarang aku sedang dalam suasana kelabu seperti ini perlu sekali wanita itu menelepon? Mau apa? mau bertanya apakah Jeno sudah sampai di apartemen atau belum? Atau, mau bertanya soal lamaran Jeno padaku tadi? gadis batinku berdecak, pasti Jeno akan mengangkat panggilan itu dan meninggalkanku dalam suasana canggung ini sendirian.

Semua orang tentu saja sama. Karena pada dasarnya laki-laki hanya ada dua tipe; playboy atau hom—

Duh, apa jangan-jangan Jeno homo?

Kedua kelopak mataku berkedip dua kali saat melihat Jeno yang alih-alih menjawab panggilan itu, ia malah mematikan ponsel dan kembali menaruhnya di dalam saku. Tanpa melepas genggaman tangannya padaku.

The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - SiyeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang