31

569 67 1
                                    

"KAK, lo mau bawa toner yang mana?"

"Semuanya."

"Hah?"

Kualihkan pandanganku kepada Gun. "Lo keong? Hah, hah, hah, terus dari tadi!"

"Aih!" sosok nyentrik itu menggeleng. Lalu, satu tangannya menunjuk ke etalase yang bertuliskan 'toner' di kacanya. Ia kembali menatapku. "Di sini ada 30 toner. Jangan ngadi-ngadi lo ye."

Geez, siapa juga yang sedang mengada-ngada? Aku kan bicara super serius sekarang. Lagipula, untuk apa ia bertanya kalau akhirnya protes juga!

"Pilih aja salah satu yang sering lo pake, kak. Lo pikir kita mau pindah rumah?"

"Terserah lo aja deh," jawabku malas. Kemudian kembali fokus ke layar ponselku. Aduh, kemana penghuni kamar depan apartemenku ini ya? Sejak kemarin—setelah mengantarku ke rumah sakit menjenguk ibu—dia tidak ada menghubungiku lebih dulu. Aku juga gengsi kalau mau menelepon atau mengiriminya pesan lebih dulu, ya masa aktris terkenal menelepon orang lebih dulu. Err, tapi kan Jeno bukan sembarang orang ya, Jeno... anu... Aish!

"Oke, Lanei—"

"Nggak tahu ah!" aku berteriak sambil melempar ponselku asal ke atas ranjang. Lalu, berbaring sambil menepuk-nepuk sheet mask yang mulai meresap masuk ke dalam pori-pori wajahku. Aku kan harus fresh saat di bandara nanti, juga saat sampai di Malaysia.

"OMG!"

Kutatap Gun kembali.

"Ngapa lo malah marah? Katanya tadi terserah gue aja?" ucap Gun dengan kening mengerut dan bibir memberucut seperti bebek.

Kedua alisku bertaut di dalam sheet mask-ku. "Siapa yang marah?"

"Terus, kenapa lo teriak?"

"Bukan urusan lo!" Ucapku tak acuh. Dasar kepo!

"Yee, dasar nenek sihir!" gerutu Gun yang masih kudengar. Aku memilih mengabaikan gerutuannya itu dan kembali rebahan sambil menatap langit-langit kamar.

Sore nanti Gun dan aku dan beberapa tim dari agensi dan beberapa tim dari Kimsung akan terbang ke Malaysia. Aku tidak tahu alasan apa dan kenapa Kimsung memilih melakukan touring promosi di Malaysia bukannya di lokal saja, tapi masa bodo aku tidak peduli yang penting aku bisa jalan-jalan ke luar negeri sambil bekerja. Ah, lihat saja kalau aku sudah menjadi ibu negara Kimsung, maka aku akan jalan-jalan ke luar negeri untuk menghabiskan uang, bukannya untuk mencari uang seperti sekarang.

Ck, tapi bagaimana ini, yang akan menjadikanku ibu negara Kimsung saja tidak menghubungiku sejak 21 jam 29 menit 30 detik yang lalu! Sungguh parah sekali!

Jangan tanya kenapa aku tidak mengedor pintu apartemennya ya karena semalaman aku memasang telinga mendengar langkah kaki Jeno, tapi aku tidak mendengarkan apa-apa—bahkan hingga aku jatuh tertidur. Tadi pagi pun aku menekan bel apartemennya untuk membuatkan sarapan, tetapi tidak juga ada yang membuka pintu. Hm, apa Jeno tidak pulang ya? Tapi kenapa tidak mengabariku coba?

Tunggu, ngapa juga gue pengin dia ngabarin? Dasar aneh... aku mulai meruntuki diriku sendiri.

"Kak Siyeon!"

Aish, si tomboy ini kenapa selalu mengganggu sih?

Kutarik napas perlahan, lalu bangkit. Membuka sheet mask dari wajahku sambil membuatnya menjadi sebuah kepalan sebelum memasukkan bekas sheet mask kembali ke dalam bungkus dan melemparnya ke dalam tong sampah. Kembali kubawa tatapanku pada Gun yang masih sibuk dengan koper-koper di depannya.

"Apa lagi sih?"

"Lo ntar pake ini ya, jangan lupa." tunjuk Gun pada paperbag dari merek fashion terkenal di dekat kursi meja rias.

The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - SiyeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang