AKU diturunkan oleh Gun tepat di depan gedung apartemenku. Tadinya, Gun menawarkan untuk mengantarku sampai ke unitku karena kasian ini sudah larut malam. Biasanya Jeno yang menyusulku, namun tadi kan dia ada pekerjaan yang harus diselesaikan—dan panggilan telepon yang berakhir ia sudahi duluan membuatku paham kalau Jeno tak mungkin datang repot-repot menyusulku. Dia juga tidak menanyakan dimana alamat restoran itu.
Aku menekan tombol pada lift ke lantai unit milikku. Tidak sampai lima menit lift sudah terbuka tepat di koridor unitku. Sepi.
Jeno tidak menungguku, padahal aku selalu menunggunya. Meskipun di dalam apartemenku sambil mendengarkan langkah kaki yang datang. Aku menghela napas, memegang clutch hitam ditanganku semakin erat sementara kakiku rasanya ingin lepas saking pegal sekali. Astaga, sepatu hak tinggi ini hampir membunuhku, biasanya aku selalu berganti sandal nyaman yang selalu Jeno siapkan khusus untukku di dalam mobilnya, makanya aku tidak pernah mengeluh seperti ini.
Koridor menuju unitku ini sepi sekali, padahal jarak dari lift ke pintu kamarku tak jauh, tetapi kalau malam hari seperti ini aku jadi parno. Sudah lama rasanya tidak jalan sendirian di koridor pada malam hari, aku sampai melupakan spesies zombie untuk beberapa waktu, tapi ini kenapa mendadak merinding ya? Jangan katakan ada zombie di belakangku. Karena rasa penasaranku tidak diciptakan untuk situasi seperti ini, aku tentu saja menolak bertindak bodoh seperti pemain di drama atau film itu, aku tidak akan menoleh kebelakang. Tidak akan!
Kupercepat langkahku, sambil merepal dalam hati doa-doa yang kuhafal. Kemudian saat langkahku hampir mencapai ambang pintu unit apartemenku, aku di kagetkan oleh pintu unit Jeno yang tiba-tiba terbuka. Sayangku itu keluar dari sana dan aku langsung tersenyum, tapi tidak di balas.
Oke baiklah...
"Kamu belum tidur?"
"Nunggu kamu," ucapnya.
Aku tersenyum. "Aku juga selalu nunggu kamu dari balik pintu apartemenku."
Jeno mengangguk. Tak berkomentar apa-apa.
"Kamu—"
"Kamu minum?"
"Ha?"
"Kamu minum-minum sama laki-laki itu?" tanya Jeno.
Aku menggeleng, sambil memegang kedua pipiku lantas menjawab. "Cuma wine, dan nggak sama Jaemin aja. Ada kru sama beberapa pemain lain juga."
Lagipula aku tidak mabuk. Wine tidak akan membuatku mabuk.
Jeno tampak menyandar pada pintu apartemennya. Kami masih berdiri diluar, apa dia tidak berniat mengajakku masuk? Memangnya tidak rindu ciumanku apa?
Jeno mendesah. "Bukannya aku udah pernah wanti-wanti kamu ya supaya nggak minum selain sama aku?"
"Tapi aku kan nggak kobam,"
"Bukan itu poinnya, Siyeon."
Kuputar bola mata. "Hadeh, aku udah capek ya, masalah kecil kayak gini kenapa harus dibesar-besarin sih?"
Perkara minum saja sampai panjang cerita. Kesal!
Jeno menatapku, lalu turun ke bawah memandang tanganku. Aku tahu arah tatapan ini dan langsung berusaha menyembunyikan jemariku tanpa kentara. Aku belum menemukan cincin pemberian Jeno itu, kemarin kucari di nakas atau di tempat-tempat biasa aku meletakkannya pun tak ketemu. Niatku akan meminta bantuan Gun untuk mencarinya di apartemenku akhir pekan ini, jadi jangan sampai Jeno notice kalau cincin itu tidak kupakai.
"Kamu nggak pake cincin kamu?"
Mampuslah aku. Kenapa matanya tajam sekali sih, sebal.
Aku berdeham sekali. "Ada di apartemen. Tadi habis mandi aku lupa pakenya lagi." aku bohong. Ini berbohong demi kebaikan, jadi tidak berdosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - Siyeon
Fanfictionthe tittle was "Then, I Meet You." DISCLAIMER: Cerita ini hanya fiksi belaka. Author hanya meminjam nama tokoh, tempat, dan merek untuk kebutuhan cerita. Cerita milik author, sedangkan Idol milik orang tua dan agensinya.🧡 -------- Hidupnya yang abu...