PANDANGANKU lurus dengan fokus pada layar televisi yang sedang menayangkan film horor yang sama sekali tidak horor itu. Bagaimana bisa aku sudah bisa menebak dimana-dimana hantu itu akan mulai menakuti si tokoh utama, dan bagaimana bisa aku sudah bisa menebak akhir dari cerita ini—padahal aku belum pernah menontonnya. Wah, apa aku minta Pak Boss carikan film genre horor atau thriller saja ya? Lumayan, aku bisa melatih mentalku agar lebih kuat lagi. Baiklah, baiklah, akan kubicarakan pada Pak Boss saat bertemu.
Mendesah pelan, aku akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan sesi menontonku padahal durasi masih setengah jam lagi. Ck, karena terbiasa memiliki teman nonton belakangan ini, menonton film sendiri jadi terasa membosankan. Kuambil ponsel yang tergeletak pada sofa yang sama dengan sofa yang kududuki, lalu menekan tombol hingga layarnya hidup.
Masih pukul 19.56.
Sudah sekitar empat jam lebih aku selesai berbelanja bersama Neneknya Jeno, aku pulang tentu saja diantar oleh Nenek Jeno bersama pada pengawal-pengawalnya yang kuhitung ada tiga mobil sendiri. Aku baru merasa seperti butiran debu yang menempel di dinding jika mengingat kejadian tadi—sungguh, padahal aku yang aktris, namun jelas yang di kawal adalah nenek-nenek paruh baya. Omong-omong, dengan penjagaan super ketat seperti tadi aku bisa jamin jika tak ada yang berhasil memotret kami dan membuat sebuah skandal baru (itu kata nenek Jeno saat melihat aku sedikit was-was).
Dan sekarang, tatapanku berlabuh pada undangan berwarna merah elegan. Yap, benar. Itu adalah undangan Renjun dan tunangannya—yang diberikan langsung oleh nenek Jeno, beliau memintaku datang ke acara pernikahan cucu dari anak perempuannya. Aku sudah ingin menolak mentah-mentah, namun mengingat belasan paperbag milikku yang dibelikan oleh sultan Kimsung, aku jadi berpikir juga. Kan tidak mungkin aku menolaknya setelah apa yang diberikan beliau padaku. Aku punya hati juga, apalagi dengan orang baik.
Tapi, aku masih enggan untuk datang. Jadi, tadi kukatakan akan aku usahakan jika tidak ada pekerjaan.
Mataku seketika memejam, membiarkan indera pendengaranku berfungsi dengan baik. Saat sudah yakin dengan apa yang kudengar, aku langsung melesat ke arah pintu apartemen dan membukanya.
"Lo udah pulang?" sapaku sambil tersenyum.
Jeno menoleh, dan aku langsung terkejut saat melihat memar kebiruan di wajah dan sudut bibirnya yang terluka. Kancing baju kemeja Jeno teratas sudah terbuka, dasinya tak terikat rapi, dan kemeja itu sudah tak lagi masuk ke dalam celana. Sudah tidak well grooming lagi pokoknya.
Jeno nampak kembali menekan password pintunya, hendak masuk dan mungkin ingin mengabaikanku namun dengan cepat aku keluar sambil menutup pintu apartemenku, kemudian menahan satu lengannya. "Jen, lo abis tengkar?"
"Nggak,"
"Gue nggak suka cowok pembohong ya," kataku. Kedua mataku menyipit dengan sedikit mendongak untuk menatap Jeno yang sudah berada dalam jarak sentuhku. Aku berani bertaruh atas nama Kimsung kalau Jeno habis berkelahi. Ya ampun! Apalagi?
Perasaan kesalku langsung timbul entah bagiamana saat otakku mulai menebak-nebak alasannya berkelahi pasti karena si Chaeyeon itu. Tolong ya, toxic sekali wanita itu!
Dobel yuck!
"Ikut gue, biar gue obatin dulu." kudorong pintu apartemen Jeno sambil menarik lengannya agar mengikutiku. Aku menyuruhnya duduk di sofa sementara kubawa kakiku melangkah mengambil kotak P3K milik Jeno di dekat dapur. Woah, apartemen ini sudah seperti rumahku sendiri karena aku bahkan sampai hafal dimana perabotan dan barang diletakkan oleh si pemiliknya. Keren sekali, aku sudah mirip pembantu.
Aku melangkah mendekati sofa dengan kotak obat dan baskom air dingin. Lalu, mengambil tempat di sebelah Jeno untuk mengelap lukanya dengan air dingin—terima kasih kepada skenario drama yang beberapa kali kuperankan karena itu aku belajar cara mengobati orang—baru diobati. Jeno meringis, dan aku semakin menekan keras luka itu. Rasakan! Siapa yang menyuruhnya berkelahi seperti pecundang hanya karena si jelek itu!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - Siyeon
Fanfictionthe tittle was "Then, I Meet You." DISCLAIMER: Cerita ini hanya fiksi belaka. Author hanya meminjam nama tokoh, tempat, dan merek untuk kebutuhan cerita. Cerita milik author, sedangkan Idol milik orang tua dan agensinya.🧡 -------- Hidupnya yang abu...