21

552 66 9
                                    

            AKU tahu kalau ekspresi yang kutampilkan sekarang sudah seperti anak kecil yang mendapatkan pujian dari orangtua mereka kala mendapat nilai ujian 100, tapi aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi senangku tiap kali melihat Jeno yang nampak menikmati masakan buatanku.

Hari ini aku memasak sup ikan untuk menu makan paginya, err... dan aku. Jeno memaksaku harus ikut sarapan bersamanya, katanya mulai sekarang aku tidak boleh meninggalkan sarapan pagi—padahal jelas ia yang sering meninggalkan sarapan pagi. Sudah kukatakan kalau aku tidak boleh kelebihan kalori, tapi Jeno mengatakan kalau aku tidak akan gemuk hanya karena rutin sarapan pagi.

"Serius deh, ekspresi lo buat gue ngeri nih. Lo kenapa?" tanya Jeno tiba-tiba.

Aku membungkus senyumanku dan menggeleng. Mengambil gelas air minum dan menegak isinya dalam sekali tandas. "Kenapa apanya?"

"Lo daritadi senyum-senyum sendiri." Jeno meletakkan sumpitnya, sudah selesai makan. Lalu, mengelap mulut menggunakan serbet.

"Cuma seneng aja ngelihat orang lain menikmati masakan gue, kayaknya udah lama banget enggak begini." kataku jujur.

"Masakan lo memang enak." puji Jeno.

"I know that." Aku menganggukan kepala. Aku tidak meragukan soal keahlian memasakku seperti aku tidak meragukan kemampuan aktingku.

Jeno mengulum senyum. Ia bergerak menggulung kemeja biru langitnya hingga ke siku. Sementara aku meletakkan mangkuk-mangkuk bekas makan kami ke atas nampan agar Jeno bawa ke wastafel untuk dicuci—sudah kukatakan kan mencuci piring adalah previlege Jeno.

"Siyeon, lo mau dateng ke acara wedding Renjun dan Chaeyeon sama gue nggak?" tanya Jeno sambil mengangkat nampan dan membawanya ke wastafel.

Aku mendengus, dan menjawab tanpa berpikir panjang. "Nggak."

"Kenapa?"

"Lo masih perlu nanya?" kataku, memutar bola mata. Kusandarkan tubuhku pada kepala kursi yang kududuki, kedua mataku fokus pada bunga artifisial yang ada di atas meja makan ini dengan minat berlebih, lalu kembali melanjutkan. "Tu dua orang udah di banned dari hidup Siyeon."

"Chaeyeon minta maaf soal yang kemarin dan—"

"Dan kalau dia benaran mau minta maaf, harusnya tu cewek yang bilang langsung ke gue." Aku memotong kalimat Jeno.

Aku tahu wanita itu tidak punya sopan santun dan tatakrama. Previlege tidak bisa membohongi atitude seseorang. Sampah tetap saja sampah meskipun ada di rumah keluarga kaya sekalipun.

Jeno diam, dan aku membiarkannya. Bukan karena aku berbaik hati padanya, lantas aku bisa berbaik hati pada dua orang penting dalam hidupnya juga. Kedua orang itu sudah membuatku pusing dan aku tidak ingin berurusan lagi. Sama sekali.

Sampai Jeno telah selesai dengan cucian piring ia tak juga bicara—aku bisa menduga kalau Jeno mengerti ucapanku. Baiklah, kulirik jam yang menggantung, lalu berdiri.

"Mau kemana?" tanya Jeno cepat.

Aku membawa ibu jari menunjuk ke arah belakang. "Pulang. Lo udah mau berangkat ke Kimsung, dan gue nggak mungkin rebahan di apartemen lo 'kan?"

"Ada rencana apa hari ini?"

Aku berpikir sejenak, lalu menjawab. "Gym aja sih kayaknya di lantai bawah. Lusa ada pemotretan majalah dan interview bahas soal film gue yang mencapai 5 juta penonton."

Aku semalam dapat kabar di group, kalau film baruku yang syutingnya lama sekali itu menembus angka fantastis. Ya walaupun ini bukan kali pertama, tapi rasanya pengorbananku tak sia-sia.

"Wow, keren. I'm so proud of you. Selamat!" Jeno tersenyum. Satu hal yang pasti bahwa itu adalah jenis senyuman yang tulus, suaranya pun terdengar tulus menyelamatiku. Tidak ada yang pura-pura.

Aku tersenyum.

"Omong-omong—" kalimatku terhenti saat bunyi bel di apartemen Jeno terdengar.

Kami sama-sama saling menatap, sebelum Jeno melangkah lebih dulu menuju ke arah pintu. Aku mengikuti di belakangnya dengan was-was. Tidak lucu jika yang datang adalah asisten pribadi Jeno atau manajer Kimsung. Mereka akan curiga dan berpikiran yang iya-iya melihatku disini sepagi ini.

Keningku mengerut was-was. Dan bertanya saat Jeno menatap layar intercom. "Siapa?"

"Nenek." Ucap Jeno sambil tersenyum, lalu membuka pintu.

Pandanganku langsung dipenuhi oleh wanita paruh baya berambut abu-abu dengan topi khas yang senada dengan warna baju yang beliau kenakan. Tidak lupa aksesoris branded—from head to toe—yang menyilaukan.

"Duh, lama sekali buka pintunya laa?" ucap nenek Jeno dengan suara khas sambil memukul lengan Jeno.

Aku merapikan rambutku asal, lalu mendekat dengan senyuman lebar menyapanya. "Astaga... Pagi, nek!"

Nenek Jeno langsung menoleh, nampak terkejut saat melihatku ada di apartemen cucu kesayangannya di pagi hari seperti ini. Sial, apakah nenek ini memakai anting limited edition dari brand perhiasan yang terkenal dengan harga selangit itu? woah, wanita tua ini benar-benar mampu membuatku terkejut tiap kali kami bertemu.

"Siyeon?"

Aku mengangguk, lalu memeluk nenek. "Iya. Nenek apa kabar?"

"Seperti biasa, wanita tua renta yang udah mulai kehilangan perhatian semua orang." gerutu nenek. "Suamiku sibuk dengan Kimsung, anakku sibuk dengan Kimsung, bahkan cucuku juga sibuk dengan Kimsung. Aku mengunjunginya pagi ini karena Doy bilang kalau anak nakal ini kemarin ke rumah sakit." Jelas nenek padaku, lalu beliau menatap ke arah Jeno. "Kamu sakit?"

Jeno tersenyum. Kemudian menjelaskan dengan nada halus dan sopan. "Nggak Nek, saya cuma check up rutin aja sama minta resep obat maag."

"Tsk, nenek kira kamu sekarat di apartemen karena nggak makan-makan." ujar nenek setelah mengembuskan napas lega sambil mengelus dadanya. Fokusku kembali terdistraksi oleh cincin berlian yang beliau kenakan. Wow, besar sekali...

"Jadi, kenapa Siyeon pagi-pagi udah ada di sini? Kalian tinggal bareng?"

Aku menggeleng dan menjawab cepat. "Nggak, apartemenku di depan apartemen Jeno dan aku—"

"Siyeon buatin saya sarapan. Nenek nggak perlu khawatir saya bakalan mati kelaparan, udah ada Siyeon." potong Jeno menjelaskan.

"Anak ini! berani-beraninya nyuruh aktris sesibuk Siyeon masakin sarapan. Haduuh!" nenek kembali memukul Jeno hingga Jeno mengaduh dan berusaha menghindar dari pukulan nenek.

Aku tersenyum, lalu menahan tangan nenek. Aku mencoba abai pada mata berlian yang tak sengaja tersentuh—aku tidak boleh norak dan tetap elegan—kemudian berkata, "aku yang nawarin diri kok, Nek."

"Iya kah?"

Aku mengangguk. "Iya."

Jemari nenek mengusap pipiku dengan sayang. "Ya Tuhan, kamu baik banget, sayang."

Aku tersenyum. "Kalau gitu aku pamit dulu ya, Nek?"

"Tunggu—" nenek menahan lenganku. "Apa Siyeon ada acara hari ini?"

"Err... nggak ada sih,"

"Good!" Nenek tersenyum simpul. "Apa kamu mau temenin nenek belanja?"

Woah... tentu saja!

Aku menatap dengan wajah pura-pura bingung. "Belanja?"

"Iya, nenek dapet telepon kalau ada banyak barang baru. Gimana kalau kita berbelanja dan kamu temenin nenek mengunjungi beberapa proyek di Tangsel?"

Aku melirik Jeno, meminta persetujuannya. Sebenarnya agar lebih etis saja, tidak mungkin aku langsung berteriak iya. Jeno tersenyum dan mengangguk, seolah menyuruhku mengiakan ajakan neneknya.

"Err, boleh. Tapi, kasih aku beberapa menit buat ganti baju ya?"

Nenek Jeno tersenyum hingga mata sipitnya menghilang. "Tentu aja, sayang. Take your time."

Dan aku langsung melesat ke apartemenku.

***

The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - SiyeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang