18

505 71 10
                                    

FOKUSKU tertuju pada layar ponsel yang berada dalam genggaman. Ini jam tiga dini hari, dan aku belum juga tidur. Bagus, untung saja aku tidak ada jadwal lain karena semua kontrak dengan produk-produk lain sudah ditolak usai menandatangani perjanjian menjadi Brand Ambassador Eksklusif di Kimsung.

Aku seperti sedang berjalan menuju ke fase semi-pengangguran. Hm, ternyata ini rasanya tak perlu bekerja setiap hari namun dapur tetap mengepul?

Tidak ada pemotretan produk, tidak ada kegiatan rutinitas super sibuk setiap harinya. Aku benar-benar bisa menikmati hari-hariku dengan napas normal—biasanya bernapas pun terasa buru-buru—ya, kecuali nanti ketika ada drama yang kuambil. Karena untuk beberapa bulan kedepan aku sedang rehat dan tidak mau diganggu. Belum lagi, aku harus ke berbagai negara ikut bersama Kimsung sebagai BA mereka. Tidak bermaksud menyombong, tapi penggemar internasionalku ini banyak sekali. Apalagi setiap aku ulang tahun, seluruh hadiah mewah selalu banjir.

Omong-omong, sepertinya aku bisa bernapas lega karena sejak beberapa jam yang lalu sibuk memerhatikan social media-ku, tapi tidak kutemukan satupun video di Mall itu. Tim keamanan Kimsung memang juara.

Aku tersenyum, mengunci ponselku dan meletakkannya di nakas. Akhirnya aku bisa tidur sekarang, tidak akan ada gosip yang menggangguku—demi Tuhan, aku sebenarnya sudah lelah diterpa gosip. Kecuali skandal pacaran, itu juga dengan catatan kalau benar ya. Ya walaupun saham akan langsung turun—kecuali skandal bersama Jeno kemarin, kudengar dari Gun kalau saham agensiku malah sempat naik. Aku jadi heran...

Aku sedang membenarkan posisi bantal supaya nyaman, sebelum dering dari ponselku terdengar. Sedikit memekakan telinga di ruangan yang hening ini. Keningku mengernyit tak suka, namun rasa was-was langsung hadir begitu saja. Aku paling takut mendapat telepon di jam-jam seperti ini karena biasanya adalah kabar buruk yang datang. Dengan hati-hati segera kuambil ponsel dari nakas, pandanganku berubah bingung saat mendapati nama Jeno yang menari-nari di sana.

"Ya, Jeno?" kataku setelah mengangkat panggilan itu.

Kudengar suara rintihan tak jelas dari ujung sambungan. Sontak kujauhkan ponselku sesaat dan mengamati dengan dahi mengernyit. Apa dia mengigau?

"Jen, hallo?" ulangku. Meminta jawaban.

"Siyeon..." suara Jeno terdengar, sedikit lemah dan samar. "Lo ada obat maag? Perut gue agak nyeri dan—argh, bisa ke unit gue nggak? Nanti gue kirimin password-nya." pintanya. Lalu, sambungan terputus.

Aku segera berdiri tegak, mengambil kardigan dan kotak obat—yang selalu di sortir oleh Gun setiap bulan—dari dalam laci di bawah meja televisi di ruang tengah dan langsung keluar apartemenku.

Kucek ponselku dengan lugas ketika sebuah pesan baru muncul. Empat digit angka yang dikirim oleh Jeno, dan segera kutekan pada kunci pintu di depanku. Setelah berhasil membukanya aku langsung membawa tungkaiku melangkah menuju kamar Jeno, menghidupkan lampu kamarnya dan mendekat ke ranjang.

Bibirnya pucat.

Peluh di dahi terus mengalir padahal AC sedang menyala.

Ia sedikit meringis.

Mata tajamnya terpejam, tapi aku tahu kalau dia menyadari keberadaanku.

Kuletakkan kotak obat itu di sampingku dan langsung mengelap peluh Jeno dengan tisu yang ada di nakas—aku tidak tahu kalau kamar laki-laki terdapat tisu juga—sebanyak tiga lembar.

"Jeno, lo kenapa?" tanyaku, jantungku berdebar entah kenapa dan ada perasaan asing tak menyenangkan yang kini kurasa.

"Siyeon, lo ada obat Maag? Stock di P3K gue abis, dan apotek udah tutup jam segini."

The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - SiyeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang