37

627 63 0
                                    

            KEDUA mataku tak sengaja melihat kantung celana Jeno yang menggelembung seperti ada sebuah benda yang disimpan di dalam sana. Aku menarik tanganku yang sejak tadi aktif 'memainkan' adik Jeno dan melepaskan ciuman kami.

"Kenapa stop?" tanya Jeno dengan suara parau dan setengah menggerutu. Aku tahu dia sudah berada dipuncak terlihat bagaimana adik-nya yang sudah mengembang membuat celana yang ia pakai semakin mengetat, tapi ini ada hal lain yang lebih penting.

"Itu apa?" tunjukku pada saku celana Jeno sambil menatapnya.

Ia melihat arah jari telunjukku, kemudian mengeluarkan sesuatu itu dari dalam sakunya. Kulihat adalah sebuah kotak bludru hitam ukuran medium dengan logo merek toko berlian ternama. Senyumku menggembang dan langsung mengambil kotak bludru hitam itu, kemudian membukanya.

"Cantik banget..."

"Kamu lebih cantik."

Aku menatap Jeno. "I know that."

"Ini buat aku kan?" tanyaku, lalu menjawab pertanyaanku sendiri. "Iya lah, buat siapa lagi."

"Hei, kita lanjutin dulu yang tadi. Masalah cincin mah gampang, sayang."

Aku tidak memerdulikan, tanganku meraih kalung berlian itu sambil tersenyum lebar. Aku senang yang berkilau-berkilau seperti ini. Sungguh. Kubawa kedua telapak kakiku menyentuh ubin, aku hendak ingin ke depan cermin untuk mencoba kalung berlian baruku, namun suara Jeno kembali terdengar. Dengan parau dan mendesah frustasi. "Siyeon..."

"Apa?"

"Kamu harus selesaiin ini dulu, aku nggak bisa digantung kayak begini."

"Besok aja lanjutinnya."

"Aku bisa beliin kamu sepuluh lagi kalau mau, ayo selesaiin yang tadi dulu."

Aku menatapnya. "Nggak, aku nggak matre kok, aku cuma butuh satu aja. Sepuluh yang lain dengan benda yang lain aja nggak apa-apa." ucapku, mengusap pelan pipi Jeno sebelum meninggalkannya masuk ke dalam kamar menuju meja riasku.

***

"Terima kasih atas kerja keras kalian hari ini." ucap sutradara kepada para pemain dan kru yang bertugas untuk web series ini.

Aku tidak—atau belum—mengatakan dan mengumumkan apapun secara resmi kalau ini adalah syuting terakhirku sebelum aku pensiun dari industri ini. Menurut agensiku, nanti saja ketika prescon web series yang disetujui oleh sutradara dan produser dari web series ini.

Tidak ada yang tahu kalau—

"Hei?"

Aku menoleh, tetap membiarkan timku melepas aksesoris milik sponsor yang kupakai, kedua mataku menatap siapa yang memanggil. Seorang pria dengan senyuman kikuknya.

"Iya?"

"Lo ada acara malam ini?" tanyanya padaku. Aku mengangkat alis, dan ia kembali menambahkan. "Jadi gini, gue sama tim rencananya mau bikin acara ringan gitu mau traktir kru produksi makan malem. Lo sama tim lo bisa ikut?" jelasnya.

Oh my god, makan gratis. Jujur, aku rindu memanjakan perutku setelah berdiet seperti orang gila belakangan ini. Tentu saja tidak akan kutolak. Aku menatap Gun dan 2 orang lainnya. "Gimana gengs, kalian pada mau?"

"Kita sih ikut kak Siyeon aja." jawab Gun. "Tapi, Lo kan dilarang—" kalimat Gun berhenti saat kupelototi. Tolong lah, jangan bahas kalau aku dilarang makan. Tidak adil, lagipula kalau ada yang mentraktir kan tidak boleh ditolak. Bukan begitu?

Kutatap Jaemin, dan tersenyum. "Tentu, kami bisa ikut kok."

Jaemin senang untuk alasan yang tidak kuketahui, setelah menyebutkan alamat resto dia berbalik kembali kepada timnya. Aku mengangkat kedua bahu pelan, lalu menatap cermin di depanku sambil membenarkan rambut. "HP gue mana?"

"Nih," jawab Gun sambil memberikan ponselku.

Aku mengambilnya.

"Kak, lo serius? Bukannya calon pengantin nggak boleh makan malam? Lagipula, di series ini lo kan harus—" kalimatnya kembali berhenti saat kuacungkan lima jariku ke depan wajahnya. Menyuruhnya berhenti menyerocos. Aku sudah lelah ya, tidak ingin mendengar komentarnya. Huh!

"Santai, gue nggak akan jadi babi cuma karena satu kali makan malam doang, Gun."

"Memangnya mas Jeno ngizinin?"

"Kenapa juga dia nggak ngizinin gue?"

"Err—"

"Siyeon?" Jaemin menyela. Aku langsung berpaling menatap ke arahnya dan tersenyum. "Yuk?" lanjut Jaemin sambil menggerakkan jari telunjukknya menunjuk ke arah depan.

Aku mengangguk dan berdiri, "Yuk."

"Tapi—"

"Tsk! Lo mau ikut makan nggak sih?"

"Iya deh," ucap Gun dengan kedua bahu merosot sambil mengambil tasnya.

Aduh, aku heran deh, diajak makan saja susah sekali orang-orang ini.

***

The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - SiyeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang