AKU ingat, dulu sekali saat aku hidup di satu situasi yang membuatku selalu menangis dan ketakutan setiap harinya. Saat kukatakan setiap hari, itu berarti memang setiap hari. Umurku masih sekitar enam saat ibu selalu meninggalkanku di rumah tanpa makanan—dan beliau pulang saat matahari sudah tenggelam dengan kondisi mabuk, sampai dirumah ibu akan memukulku dan memarahiku. Kata-kata kasar yang selalu ibu lontarkan pada anak usia enam tahun itu masih membekas sampai sekarang.
Aku pernah berjanji pada diriku sendiri bahwa tidak boleh ada yang membuatku ketakutan apalagi sampai menangis. Cukup di masalalu saja, tidak untuk masa kini.
Tetapi janjiku itu seolah terpental sekarang.
Aku menangis dan aku ketakutan. Damn!
"Cup... cup... Nggak pa-pa, lo aman sekarang." suara lembut menenangkan terdengar bersamaan dengan pelukan hangat serta belaian tangannya pada rambutku. Aku meringkuk, memeluk tubuhku sendiri, sementara ada bumi lain yang ikut memelukku saat ini, dengan erat. "Gue di sini sama lo..."
Airmataku sudah tidak turun merembes lagi. Namun bayangan soal kejadian tadi benar-benar sulit untuk kuenyahkan begitu saja. Aku tidak pernah berpikir bahwa Renjun akan menjadi sebrengsek itu—mengungkit barang-barang pemberiannya, berbicara dengan intonasi yang tinggi padaku, dan menyakiti fisikku.
Kudorong dada Jeno pelan untuk memberikan jarak di antara kami. Wajahku pasti sudah kusut sekali dan aku mungkin persis seperti medusa sekarang. Kehebohan tadi benar-benar membuat tingkat percaya diriku menurun drastis. Kuusap sisa-sisa airmata menggunakan punggung tangan. "Kenapa lo lama banget datengnya!?"
"Sori, jalanan macet banget dan—" suara Jeno menghilang, tangannya terulur mengusap pipiku pelan. Aku jadi pengin nangis dibuatnya. "Gue pastiin kalau dia nggak bakal nemuin lo lagi."
Bayangan Renjun yang memaksa menciumku dan menyentuhku dengan kasar kembali terbersit membuatku langsung memeluk diriku sendiri dengan tangan gemetar. Kata-katanya tadi sebelum Jeno datang benar-benar menyulutkan api amarahku, dia mengataiku sebagai wanita murahan yang langsung pergi ketika menemukan laki-laki kaya lainnya, kemudian kami terlibat pertengkaran dan si brengsek itu mendorongku ke sofa untuk memaksakan kehendaknya.
Memangnya dia pikir aku ini wanita apa!?
"Siyeon..." Jeno menyentuh lenganku yang langsung kutepis dengan cepat.
Aku menipiskan bibir. Lalu menatap Jeno datar. "Gue ingin istirahat."
Jeno mengangguk, kemudian berdiri dan mengambil jas-nya. "Telepon atau whatsapp gue kalau lo butuh sesuatu. Ya?" ucapnya seraya mengusap puncak kepalaku. Manik mata Jeno menatapku dengan pandangan kasihan, dan aku benci pandangan itu. Aku Siyeon, dan aku tidak butuh dikasihani. "Good night, Siyeon." Ujar Jeno.
Aku mengangguk, mengikuti Jeno melangkah di belakangnya menuju ke depan pintu apartemen.
***
"MUKE GILE TU ORANG!" seru Gun dengan nada kesal, asistenku itu memokuskan pandangannya pada lenganku yang sedikit biru, lalu beralih memegang pundakku yang juga memiliki warna sedikit kebiruan. Benar, itu ulah si brengsek itu.
Aku mendesah, menarik tanganku yang sudah selesai diolesi salap oleh Gun, lalu menurunkan lengan baju yang kugulung serta menaikkan kerah yang sempat kuturunkan karena Gun hendak mengolesi pundakku dengan salap juga. Aish, ulah Renjun yang mencengkeramku dengan kuat dan kasar kemarin membuat bekas kebiruan ini ada di tubuhku, aku jadi tidak bisa mengenakan atasan favoritku karenanya.
"Kita harus laporin ini ke Pak Boss." cetus Gun cepat.
"Lo mau gue trending lagi?" Aku menggeleng, menolak usul Gun dengan cepat. Bukannya aku takut karena Renjun punya kekuasaan, tetapi karena aku lebih memikirkan diriku sendiri. Dampaknya akan buruk, dan orang-orang yang menyorotku itu akan kembali menyodorkan muncung pistol mereka ke arahku dengan tatapan puas—lalu kembali berkomentar jahat dari balik gadget mereka, mengataiku sebagai aktris yang gemar membuat sensasi. Padahal aku tidak perlu sensasi karena prestasiku nyata adanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - Siyeon
Fanfictionthe tittle was "Then, I Meet You." DISCLAIMER: Cerita ini hanya fiksi belaka. Author hanya meminjam nama tokoh, tempat, dan merek untuk kebutuhan cerita. Cerita milik author, sedangkan Idol milik orang tua dan agensinya.🧡 -------- Hidupnya yang abu...