8

474 68 3
                                    

"GUE rasa lo udah nggak waras ya?"

Heh?!

Aku bersedekap, bersandar pada pilar pembatas antara ruang tivi dan dapur apartemenku. Perasaanku sudah tidak se-awas kemarin lagi karena Gun sudah datang.

"Kau tidak merasakannya sih," keluhku. Respons semua orang tiap kubahas soal zombie ini selalu meledek, menatap tak percaya dan mungkin menganggapku gila.

Yang lebih gila sebenarnya adalah produser film itu, bisa-bisanya memikirkan zombie sebagai rival manusia. Ha! Seperti tidak ada kasus lain saja yang bisa diangkat!

"Kalau tetangga lo sampe sesumbar gimana coba, kak?" Gun menyipitkan mata curiga. Lalu menarik rambutnya frustasi. "Gue nggak mau ya kena marah oleh Pak Bos lagi. Bosan, tau!"

Kuputar bola mata. "Dia bukan tipe yang suka sesumbar," kataku.

Aku langsung ingat saat tadi pagi mengecek media online dan tidak menemukan artikel tentang diriku dimana-mana. Tadinya, aku bakal berpikir kalau namaku akan berada di situs pencarian nomor satu karena skandal. Ternyata Jeno sudah mengurusnya. Ha, dia sepertinya ingin menyelamatkan nama baikku. Aku tersenyum kecil.

"Apaan sih ini, kok berantakan banget lah?" Tanya Gun melihat isi kulkasku.

Kuembuskan napas dan berdiri tegak, kepalaku agak meneleng menatap Gun. "Abis masakin tetangga gue buat ucapan terima kasih."

"Ha?" Suara nyaring Gun dengan mimik wajah tak percayanya membuatku kembali mendengus. "Nggak salah?"

"Anjir, sebelum jadi artis gini gue juga pernah hidup susah kali." Jelasku.

Gun mengangguk paham. "Tapi, hidup susah kan bukan berarti lo jadi jago masak."

Baiklah, baiklah. Tidak ada yang tahu kalau dulu aku sempat bekerja paruh waktu di rumah makan untuk membeli buku dan uang jajan. Aku tidak termasuk orang yang kutubuku ya, aku juga masih bersosialisasi dengan baik. Teman-temanku banyak (mayoritas pria) dan mereka suka mengajakku hangout saat akhir pekan. Aku menjadi trainee di agensiku ini sekitar kelas 3 SMA—saat itu aku bertemu Pak Bos di salah satu pusat perbelanjaan saat keluar dari satu counter pakaian (temanku mentraktirku karena aku ulang tahun).

Aku debut tiga tahun setelahnya dan karirku mulai meroket. Sampai sekarang.

Malas meladeni Gun lebih jauh, aku memilih meninggalkannya dan melangkah ke ruang tivi. Tanganku terulur mengambil remot di atas meja dan menekan tombol power.

"Gimana kalau kita ke Mall?" Usulku pada Gun dengan antusias. Aku benar-benar sudah merindukan suasana Mall, ingin berbelanja dan makan makanan Jepang sampai puas."

"Nggak, Nggak. Kakak makan itu. Tidak boleh." Kata Gun tegas. Sepertinya aku tidak sengaja menyebutkan daftar makanan yang ingin kumakan itu. Bahuku langsung melangsak turun, ini menyebalkan sih. "Lo bakalan kelihatan gendut di kamera. Ingat, lo bakalan jadi ambassador Kimsung."

"Waktu mau syuting film juga lo bilang gitu." Cibirku.

"Nah, tepat." Gun tersenyum bangga. Lalu menepuk pundakku. "Berat lo yang sekarang ini udah pas jika di kamera, Kak. Kita harus bekerja sama untuk ini, oke?"

"Gue kan pengin makan sushi sama ramen..." keluhku. Aku bahkan tidak bisa mencicipi masakanku sendiri, kecuali itu adalah menu sayur-sayuran.

"Lo bisa makan itu semua kalau udah nggak laku lagi di dunia hiburan."

Aku berdecak dan Gun langsung terkikik keras. Baiklah, baiklah, aku bisa bertahan lebih lama lagi. Buah-buahan dan sayuran serta daging kualitas tinggi di akhir pekan tidak masalah.

The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - SiyeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang