27

549 69 0
                                    

            TAHU satu hal yang lebih membuatku iri dan merasa asing di sini? adalah karena ini merupakan perkumpulan keluarga kedua yang kudatangi—dan masih dalam keluarga yang sama. Semua orang mungkin tahu kalau aku adalah aktris terkenal dan hidup bahagia, namun ada satu tempat dalam diriku yang nyatanya selalu kosong dan tak pernah diisi. Selain karena aku tidak mengenal siapa ayahku, dan keluarga ayahku, nahasnya, aku juga tidak begitu mengenal dengan baik keluarga dari pihak ibuku.

Pandanganku mulai buram, ada air mata yang menggantung di pelupuk mata saat merasakan bagaimana perlakuan keluarga Jeno kepadaku. Begitu baik. Begitu perhatian. Kukatakan keluarga Jeno karena memang sepenuhnya begitu, tanpa terkecuali. Pertemuan kedua dengan suasana lebih intim seperti ini sungguh terkesan jauh berbeda, bahkan yang semula kuduga wanita penyebalkan ternyata begitu ramah kepadaku—aku sedang bicara soal ibu tiri Jeno. Juga bagaimana ayah dan kakek Jeno yang nampak lebih 'mudah digapai' saat tak mengenakan setelan formal—sibuk bercanda dan menanyakan hal-hal tentang diriku. Bahkan, kakek Jeno menanyakan keseharianku, yang mana tidak ada yang pernah bertanya soal itu padaku sebelumnya, bahkan ibuku sendiri sekalipun.

Celaka, aku sepertinya mulai menginginkan keluarga ini juga.

Kepalaku menunduk, tersenyum kecut sambil menatap satu telapak tangan yang kini dikelilingi perban hasil karya Jeno.

Kurasakan tangan Jeno tiba-tiba menggenggam satu tanganku yang tak di perban, dan berbicara meminta perhatian. Aku menelan saliva gugup, semburat jingga mulai bermunculan dari langit menandakan hari sudah petang dan akan berganti malam. Mau tak mau aku langsung mendongak, kepalaku agak miring untuk menatap garis rahang Jeno dari samping. Dia sepertinya bersungguh-sungguh ingin menjadikanku the next ibu negara Kimsung.

Kedua mata Jeno menatap perlahan pada nenek, kakek, serta kedua orangtuanya. Kurasakan genggaman tangannya padaku yang semakin mengerat, sedikit dingin. Apakah ia gugup? Oh really? Tanpa sadar aku jadi ikutan gugup, perutku tiba-tiba terasa mulas apalagi setelah suasana mendadak hening seperti ini.

"Sejak dahulu saya selalu merasa kalau saya hanya butuh satu wanita dalam dihidup ini; yaitu nenek. Saya tumbuh besar dan dilimpahkan kasih oleh nenek, dan saya berpikir akan sulit menemukan sosok lain yang mampu menduduki di posisi yang sama dengan nenek di hati saya," Jeno memulai. Suaranya rendah, halus, dan dengan intonasi yang stabil. Aku seperti sedang menonton drama-drama. Kuarahkan pandanganku pada wajah bergurat halus termakan usia yang duduk persis di sebrang meja depan kami, dan aku bisa langsung melihat matanya berkaca-kaca. Beliau sepertinya tahu arah dari pembicaraan ini—tidak, kupikir semua anggota keluarga yang ada di sini tahu kemana arah pembicaraan ini. Termasuk dua orang yang duduk bersisian dengan raut wajah tegang. Yep, si pengantin baru itu. Fokusku kembali teralihkan saat merasakan tangan Jeno kembali meremas tanganku. Lalu, suaranya kembali terdengar. "Tapi kayaknya saya harus bilang maaf karena sekarang saya nemuin wanita lain yang menduduki posisi yang sama dengan posisi nenek. Nenek pernah bilang sama saya untuk mencari pasangan yang bukan hanya bisa membuat saya jatuh cinta, namun bisa membuat saya selalu ingin bersamanya. Dan saya mau bilang kalau saya akhirnya menemukan hal itu dalam diri Siyeon."

Genggaman tangan Jeno terlepas, tiba-tiba ia duduk berlutut di lantai dengan kedua tangan berada di atas paha. Lalu kembali bersuara, "Saya pengin minta izin ke nenek, kakek, dan ayah, agar diperbolehkan mengambil tanggung jawab lebih besar lagi. Saya ingin menikahi Siyeon."

Celaka ini... Jantungku mulai tak normal lagi. Astaga, astaga!

Kulihat nenek Jeno mengangguk haru seraya mengusap airmatanya yang jatuh ke pipi. Sementara itu yang lain masih bungkam.

Ibu tiri Jeno nampak tersenyum ramah kepadaku, dan aku malah meringis alih-alih membalas senyumannya. Aku benar-benar tidak tahu jika aku bisa sampai di fase ini, maksudku dalam waktu dekat ini. Semesta memang benar-benar tak bisa diprediksi.

The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - SiyeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang