HARI ini adalah pernikahan Renjun dan orang jelek itu. Aku berusaha untuk tidak memutar bola mata saat artikel berita daring dan acara berita di televisi 'banting setir' menyiarkan tentang pernikahan anak dari Hwang Lim pengusaha sukses di bidang properti atau yang termasuk salah satu cucu konglomerat Kimsung Group.
"Woah, Mbak Siyeon cakep banget!" respons sang make up artist andalanku saat melihatku melalui pantulan di cermin.
Aku tersenyum. Membuka kedua kelopak mataku yang sejak tadi tertutup sejak sesi makeup berlangsung, lalu merasa bangga pada wajahku sendiri. Benar, aku memang cantik sekali. Bukan karena polesan makeup Jina, tapi karena Tuhan mengukir wajahku sambil tersenyum yang membuat makeup Jina lebih hidup ketika di aplikasikan pada wajahku.
"Thank you, sis."
Jina si makeup artist mengangguk. Sementara ia membereskan peralatannya, aku berdiri dan memanggil Gun untuk membawakan gaun super mahal dan elegan yang baru kemarin kubeli. Kami berdua lantas berjalan menuju kamar Gun dan mengganti pakaianku. Omong-omong, alasan kenapa aku berada di apartemen Gun alih-alih di apartemenku untuk berdandan adalah karena protokol agensi. Pak Boss tidak memerbolehkanku membawa 'orang luar' masuk atau tahu di mana lokasiku tinggal karena dapat mengancam keselamatan. Karena ada benarnya, aku ya menurut saja.
"Kak, gue khawatir deh kalau rekan media malah salah fokus ke elo ntar." ucap Gun sambil membantuku mengancingkan reseleting dibagian belakang.
"Emang itu tujuan gue." jawabku seraya merapikan rambut.
Aku tidak berbohong, alasan utamaku datang ke acara pernikahan ini adalah agar semua orang teralihkan dengan kedatanganku. Mereka jelas akan bertanya-tanya kenapa aku bisa datang—padahal pernikahan ini termasuk private karena hanya dihadiri oleh orang terdekat.
Aku memang dekat dengan Renjun, dia beberapa kali menjadi sponsorku, mengirimkan beberapa kudapan saat aku syuting meskipun tak ada namanya di sana. Kami juga pernah berciuman panas, namun kami hanya teman. Kalau kupikir-pikir kenapa aku jadi kepikiran tentang ajakan berkencan Jeno ya, padahal aku pernah berciuman tanpa embel-embel status pacaran. Kami have fun, dan aku tidak pernah ambil pusing dengan ajakan berkencan Renjun saat itu. Aku tidak pernah merasa grogi setelah ciuman kami, tidak pernah merasa deg-degan setelah sentuhannya, pokoknya ya... hanya seperti FWB saja. Tidak lebih.
Ini aneh sekali...
"Jangan kacaukan pernikahan orang." Kata Gun.
Kutatap Gun sambil memakai antingku. "Kapan gue pernah mengacau?"
"Kudu dijelaskan banget kah?" Gun malah bertanya balik.
Aku mendengus. "Iye, iye. Gue nggak akan buat citra diri jadi buruk. Gue nggak sebodoh itu, tahu."
Gun mengangguk, tangannya terulur memberikan kalung berlianku dan aku langsung mengambilnya. Astaga, perfecto.
"Kak lo yakin nggak mau berangkat bareng mas Jeno aja?"
"Kau tidak mau mengantarku?" tanyaku sambil menyipitkan kedua mata. Pertanyaan yang aneh, dulu Gun dan Pak Boss ini selalu melarangku pergi berduaan dengan pria-pria, pokoknya harus di temani Gun kemana-mana. Tetapi sekarang, sudah tiga kali asistenku ini bertanya pertanyaan yang sama. "dan sejak kapan lo jadi panggil dia "Mas" gitu? Ew."
Aku heran ni orang kadang suka random.
"Sejak berpikir panjang. Karena panggilan "Bapak" terlalu tua, lagian sekarang doi kan ehem-ehem elo, jadi kasih panggilan akrab aja." Gun nyegir. Lalu, kembali bicara. "Dan bukannya gitu... lagian kalian kan satu acara, terus Mas Jeno juga udah minta izin dan—"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - Siyeon
Fanfictionthe tittle was "Then, I Meet You." DISCLAIMER: Cerita ini hanya fiksi belaka. Author hanya meminjam nama tokoh, tempat, dan merek untuk kebutuhan cerita. Cerita milik author, sedangkan Idol milik orang tua dan agensinya.🧡 -------- Hidupnya yang abu...