10

515 68 2
                                    

INI adalah hari sabtu sore, dan aku tidak ada jadwal apapun hari ini.

Menghabiskan waktu di dalam apartemen rasanya benar-benar membosankan. Hmm apa aku bermain dan memberi makan anak anjing—ah, aku lupa kalau aku saja tak punya peliharaan. Bulu-bulu mereka tidak diperbolehkan berada di rumahku. Aku bisa langsung masuk rumah sakit karena asma.

Jemariku mengetuk remot, pandanganku lurus ke depan menatap televisi yang sedang menyiarkan acara home shopping dengan pembawa acara yang sibuk memperkenalkan produk andalannya tapi tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut pembawa acara itu berhasil kutangkap.

Aku mulai memusatkan fokusku menatap layar televisi itu. Sebuah produk pemanggang roti yang omong-omong sudah kumiliki. Barang itu ada di dalam kotaknya, belum pernah kupakai sejak pertama kali aku membelinya.

Aku tidak pernah lagi memasak, apalagi memanggang roti. Selain karena tidak sempat, aku juga tidak boleh asal makan makanan berkalori tinggi. Karena itu atas usul agensiku, aku hanya minum segelas susu di pagi hari dan satu buah apel. Jadi, untuk apa aku memesan produk-produk di home shopping? Ya, karena aku bingung mau melakukan apa; seperti sekarang ini contohnya.

Hah!

Setelah yakin kalau acara tivi sedang tidak ada yang menarik, aku membuang remot sembarang—masih pada sofa yang kududuki—kemudian meraih ponselku yang sejak tadi di atas meja. Membuka kontak di ponselku dan menggulirkan layar ke atas, kira-kira adakah orang yang bisa kuajak bermain hari ini?

Pak Bos? Hmm... no. Memangnya aku gila apa sampai mengajak Pak Bos!

Gun? Ck, asistenku itu sedang pergi mengunjungi orangtuanya di Bogor. Membosankan!

Aku menatap malas pada layar ponselku, dan berakhir sampai kontak paling bawah. Aku mendesah. Serius? Kontak di ponsel pribadiku bahkan tidak sampai 30 orang? woah, daebak! Aku jadi berpikir kalau aku sudah berubah menjadi anti-sosial sejak menjadi artis terkenal.

Akhirnya, kulempar pelan ponselku ke samping. Tivi kumatikan, dan bersamaan dengan itu aku mendengar pintu kamar Jeno di buka. Aku langsung berdiri, berlari ke arah pintu apartemenku, membuka dan berdiri di antara pintu dan kosen. "Lo mau ke mana?"

Kutatap Jeno yang sudah dalam setelan tuksedo abu-abu rapi.

Jeno nampak terkejut melihatku, kemudian sambil menutup pintu apartemennya ia menjawab. "Acara makan malam keluarga."

Ah iya, tempo hari ia pernah mengatakan itu. Bahuku melesak turun, menyandarkan kepalaku pada pintu. "Pasti seru..."

"Lo nggak hangout?"

Aku menggeleng. "Gue bahkan hampir mati kebosanan di dalem sini seharian."

Jeno menatapku dengan pandangan yang aku tidak tahu apa itu—aku bukan pakar ekspresi ya—lalu bersuara, "Mau ikut?"

Kedua mataku membeliak. "Ikut makan malam dengan keluarga lo?"

Dia mengangguk.

Pasti menyenangkan berada di tengah-tengah perkumpulan orang-orang kaya. Aku bisa sekalian mensortir bibit-bibit unggul di acara ini—sudah pasti. Tapi... "Nggak deh," kugelengkan kepala. "Keluarga lo pasti heran kenapa artis seterkenal dan secantik gue bisa dateng bareng lo. Mereka bakal mikir kalau gue pacar lo, terus gue gagal deh cari target baru."

"Target baru?" Jeno mengangkat sebelah alisnya.

Ups! Kugelengkan kepala cepat. "Hehehe, nggak."

"Lo inget kan poin perjanjian sama Kimsung?"

Kuputar bola mata malas. Iya lah aku ingat, masa lupa. "Tenang aja, gue nggak bakalan ngerugiin perusahaan lo."

The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - SiyeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang