32

598 64 1
                                    

            "KOK ke sini?"

Suara pertamaku setelah jeda beberapa menit yang diambil Jeno untuk mandi. Jeno sedang mengancingkan piyama tidur yang tadi kuambilkan dari dalam kopernya sewaktu Jeno sedang membersihkan diri, sedangkan aku menghadap ke arah jendela kamar hotel—aku tidak mengintip walaupun aku tergiur untuk melihat roti sobeknya. Tapi, aku tidak mengintip.

"Kalau lagi nanya itu mesti natap orang yang ditanya dong. Masa dipunggungin gitu? Kamu lagi nanya tembok atau aku?" ujarnya cari gara-gara, alih-alih menjawab pertanyaanku.

"Kamu kan lagi ganti baju, nanti aku bintitan." Aku berdecak.

"Udah selesai kok."

Aku melirik sedikit, setelah aman baru aku berbalik menghadap Jeno sepenuhnya. Piyama tidur hitam berlengan pendek nampak pas di tubuhnya, aku belum pernah melihat Jeno mengenakan piyama tidur—bahkan saat tengah malam waktu dia sakit dan meneleponku itu—kenapa terasa kalau pakaian tidur itu memang dijahit khusus untuknya ya?

Tidak mungkin, aku saja tidak ada baju khusus kecuali baju-baju untuk menghadiri acara awards. Err, tapi mungkin saja kalau mengingat siapa keluarganya itu. Baiklah, lupakan. Ada hal yang lebih serius yang perlu dibahas sekarang.

Aku melangkah, mengambil tempat sofa dekat jendela kemudian duduk di sana. Ruang hotel tempatku menginap ini lumayan besar, tapi tidak sebesar president suite.

"Jadi, kenapa kamu ke sini?" ulangku.

"Nyusul kamu lah."

"Ngapain coba?"

"Aku nggak bakal sanggup satu minggu nggak dengar omelan kamu," ucapnya dengan kedua manik mata menatap lurus kepadaku.

Kuputar bola mata. "Oh yea, kamu bahkan sanggup-sanggup aja tuh nggak ngehubungin aku seharian!"

"Sori... karena sibuk nyelesaiin urusan kantor biar bisa nyusul kamu aku sampe nggak sempat pegang HP." Jeno melangkah mendekatiku, lalu berlutut tepat di depanku duduk. Ia mengambil ke sepuluh jemariku untuk digenggam. "Harusnya aku nelepon kamu..."

"Betul." Aku mengangguk.

"Maafin aku ya?"

"Ini semua tentang prioritas, tahu? sesibuk apapun kamu, harusnya tetap kasih kabar. Kiran kamu berubah pikiran." kataku lagi, kali ini nada suaraku sedikit lebih naik. Aku membalas tatapannya dengan kobaran api di kedua mataku, biar saja Jeno tahu kalau aku ini bisa jadi macan juga—tidak selalu menjadi kucing lucu.

"Berubah pikiran?"

Ng... "Kayaknya ini bukan waktu yang pas buat bahas itu. Dah, skip."

Jeno menghela napas, lalu tanpa aku prediksi sebelumnya, tangannya yang menggenggamku itu beralih menjadi memeluk pinggangku sementara kepalanya tenggelam di pangkuanku. Lagi-lagi kekesalanku menguap saat suara letihnya meminta maaf terdengar mengalun.

Aku membasahi bibir sambil mencoba menetralkan gemuruh jantungku yang diluar kendaliku ini. Celaka.

"Iya. Tapi, aku nggak bakal kasih maaf semudah ini kalau sampai terulang." kataku menatap rambut lebat Jeno sambil membelainya pelan. "Kamu udah makan?"

"Udah, tadi makan di pesawat." kepalanya mengangguk, menjawab tak jelas karena suaranya teredam namun aku masih tetap bisa mendengarnya.

"Jadi, kamu mau temenin aku nih?"

Jeno mengangguk lagi.

"Gimana kalau ada yang curiga? Maksudku, kamu tahu kan aku ini aktris terkenal, pasti paparazzi bertebaran di mana-mana." kataku lagi. Para pencari berita itu jelas selalu mengutus staff mereka untuk mengikuti gerak-gerik kami. Senior di agensiku bahkan pernah diikuti salah satu tukang potret sampai ke luar negeri, mereka mengira kalau ia hendak berkencan padahal senior-ku itu hanya ingin membeli Lego.

"Mereka nggak akan curiga, Siyeon."

"Gimana kamu bisa percaya diri begitu?" aku mengerutkan kening.

Jeno mendongak, menatapku. "Aku bertanggung jawab atas Kimsung, kamu lupa?"

Ah iya...

Kuanggukan kepala. "Oke, oke. Kalau gitu sana balik ke kamar kamu, ini udah malam dan aku harus tidur—"

"Aku tidur di sini, ya?"

Dia pasti sudah gila. "Nggak boleh!"

"Aku nggak akan macem-macem, aku bisa menjaga diri, Siyeon. Tapi, kalau pelukan sampe pagi nggak masalah kan?"

Kedua pipiku bersemu merah. Tapi, tetap menggeleng. "Nggak, Jen, kamu nggak boleh tidur di sini."

Gila saja, nanti malah aku yang tidak bisa tidur. Lagipula, walaupun Jeno bisa menjaga dirinya, belum tentu aku bisa menjaga diriku. Tidak, tidak, tidak.

Wajah Jeno memelas, aku hampir tergoda untuk mengiakan permintaannya sebelum suara ponselku terdengar di atas ranjang. Segera bangkit dan meraih ponselku, aku menemukan nama Gun di sana.

Bukannya dia sudah tidur ya?

"Apaan?" kataku langsung.

"Kalian nggak boleh bobo bareng loh ya. Jangan ngerepotin gue kak!"

Ha? Bagaimana dia bisa tahu?

***

Aku sedang ingin mencakar Gun sekarang, serius. Bisa-bisanya dia sudah tahu kalau Jeno akan menyusulku—dari manajer Kimsung—tapi malah tidak memberitahuku sama sekali. Gun sepertinya benar-benar menikmati wajah keruh dan resahku seharian kemarin.

"Ketawa aja," kataku sinis, menatap Gun dari kaca sementara membiarkan MUA dan Hair do melakukan tugasnya padaku. "Awas lo ya, sampe gue dengar lo ketawa, gue bakal pastiin buat motong adik lo supaya cowok lo nggak suka lagi!"

"Ih, Kak Siyeon!"

"Apa!?"

"Kejam banget!" gerutu Gun.

Kejaman siapa coba? Huh!

Omong-omong, jika kalian penasaran dimana Jeno tentu saja dia sedang ada di kamarnya. Semalam setelah telepon dari Gun, Jeno tak lama pamit ke kamarnya setelah memberikanku ciuman selamat malam yang panjang dan memabukkan. Aku bahkan hampir takut jika bibirku berubah bentuk saking lamanya kami berciuman, tapi untung saja tidak. Aku sudah pro rupanya. Hehe.

Jam sebelas nanti adalah acara launching produk ponsel di salah satu Mall di Malaysia, lalu selesai acara kami akan langsung terbang ke Singapore, disusul Bangkok, dan kembali ke Indonesia. Kupikir kami akan mampir ke Bali, ternyata langsung ke Jakarta. Oke, tidak masalah. Aku tidak sedang menggerutu.

"Kak, kulitnya makin oke aja nih." ujar MUA-ku.

"Iya dong," aku tersenyum bangga.

"Waktu itu saya dengar Hera nanyain dimana tempat kakak perawatan, kayaknya dia mau kesana juga."

Aku tersenyum kecil. "Nggak masalah, siapapun bisa perawatan di sana kok."

"Kak Siyeon benar-benar baik hati, kalau aktris lain pasti deh udah marah karena diikut-ikutin. Tapi kakak sama sekali nggak."

Well, jika masalah itu aku sama sekali tidak ambil pusing. Aku malah senang kalau ada yang mengikutiku—tapi tahu batas, jangan sampai menduplikat.

***

The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - SiyeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang