JENO
KENINGku mengernyit, fokus terbagi antara kertas yang kupegang dan seorang staff Kimsung yang sedang berdiri di depan.
"Jadi menurutmu, menurunkan kualitas produk agar harga ponsel bisa masuk ke kalangan bawah itu ide yang bagus?"
Pegawai itu mengangguk. "Lagi pula, orang zaman sekarang hanya melihat kualitas kamera yang banyak dan desain ponselnya. Sistem dan RAM tidak terlalu diperhatikan. Kecuali kalau mereka kaum milenial yang hobi gaming."
Aku melepas kacamataku, membawa jemari mengetuk meja dengan ritme—sedangkan mataku masih fokus menatap pegawaiku itu. Rapat pagi ini benar-benar tidak berguna, bagaimana bisa pemikiran seperti itu ada pada staff Kimsung? Apa katanya? Menurunkan kualitas produk?
"Saya rasa Pak Eric sudah lelah bekerja di Kimsung sepertinya." gumamku.
"Y-ya?"
"Kimsung tidak butuh persaingan harga. Semua orang tahu kualitas ponsel pintar kita, dan mereka akan tetap membeli ponsel-ponsel kita karena gengsi mereka. Bukan karena produk kita berharga murah," tukasku. Kuedarkan pandangan kesekeliling. Seluruh staf yang ikut rapat pagi ini diam—persis seperti yang kuharapkan. Mereka harus mengeluarkan gagasan dan ide baru, bukannya mengusulkan hal yang tidak perlu. Aku kembali menambahkan. "Sejak awal berdiri, Kimsung tidak mengikuti tren karena Kimsung adalah tren."
"Maafkan saya," pegawai itu menunduk tampak menyesal.
Aku mendesah. Lalu berdiri, "Baiklah, sepertinya rapat pagi ini kita akhiri sekarang. Sampai jumpa."
Aku melangkah keluar, lalu mendesah panjang. Pagi-pagi sekali tadi aku sudah berangkat ke kantor, mataku jelas masih perih namun kupaksa mandi dan bergegas berangkat tanpa sarapan. Biasanya aku akan menyiapkan roti selai untuk sarapan, tapi karena stok sudah habis jadilah aku berangkat kerja tanpa sarapan seperti biasa. Aku nyaris tidak tidur semalaman karena di kamar sebelah ada orang—maksudku Siyeon. Tidak, aku tidak terdistraksi olehnya. Ha, dia bukan tipeku.
Wanita cantik umumnya tidak memiliki otak yang sama cantiknya dengan paras mereka, juga wanita-wanita itu sudah terlatih menjadi wanita rendahan yang rela mengais uang pria-pria kaya. Aku bukan menghakimi, namun gambaran wanita seperti Siyeon jelas begitu—dari yang kutangkap dan dari informasi orang-orang di sekitar Renjun.
Langkahku berhenti saat melihat Renjun berdiri di depanku. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana, matanya nyalang menatapku.
"Gue perlu ngomong." katanya.
"Karena lo repot-repot datang ke Kimsung di jam kantor kayak gini, gue tebak itu hal yang penting," Kataku. Kemudian melanjutkan langkah masuk ke dalam lift. Kutolehkan kepala ke arah asistenku, memberi kode agar dia bisa kembali ke ruangannya sementara aku akan ke ruanganku.
Dapat kudengar suara tarikan dan helaan napas yang berkali-kali dengan kasar dari sebelahku. Kulirik melalui ekor mata dan menemukan wajah kusut Renjun di sana. Aku kembali menatap ke depan, memandang refleksi pada kaca lift. "Kenapa? Ada masalah pernikahan lo sama Chaeyeon?" Shit, sudah kucoba agar nada bicaraku terdengar santai, namun sepertinya tidak sesuai keinginan.
Renjun mendesah lagi. "Baik-baik aja."
"Terus?"
Ada jeda sebelum suara Renjun kembali terdengar. "Kok lo bisa tahu kemarin—gue bicara soal Siyeon dan gue—ada di restoran itu?"
Wajahku mengeras. Lalu berkata datar. "Siyeon yang bilang."
"Apa?"
"Ngapain lo temuin dia?" tanyaku ketus bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. Aku melangkah keluar dan alih-alih mengajak sepupuku ke ruangan, kami justru ke rooftop. Semoga udara segar bisa menenangkanku agar tidak menghajar wajah laki-laki yang dicintai Chaeyeon ini. Kusandarkan tubuhku pada dinding pembatas, dan menatap Renjun. "Lo pasti tau kan kalo tu cewek sengaja bawa-bawa wartawan biar bisa buat skandal?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - Siyeon
Fanfictionthe tittle was "Then, I Meet You." DISCLAIMER: Cerita ini hanya fiksi belaka. Author hanya meminjam nama tokoh, tempat, dan merek untuk kebutuhan cerita. Cerita milik author, sedangkan Idol milik orang tua dan agensinya.🧡 -------- Hidupnya yang abu...