16

482 68 3
                                    

JENO

AKU tidak bisa untuk tidak menyembunyikan senyumanku sampai-sampai Jaehyun—asisten pribadiku—terus berkomentar persis seperti perempuan.

"Kayaknya tu rumor bener ya?" tanya Jaehyun sambil memberikan tablet kepadaku. Aku mengangkat alis, dia kembali melanjutkan. "Melihat gimana Bapak nggak berhenti senyum sejak panggilan telepon berhenti, dan gimana Bapak minta tolong saya untuk dibuatkan list film yang sangat rekomendasi, asumsi saya jelas akurat kan?" lanjut Jaehyun.

Aku mengambil tablet itu dan membacanya. Cukup, ini lebih dari cukup. Kuanggukan kepala, alih-alih menjawab pertanyaan maha sok tahu Jaehyun, aku malah balik menanyakan. "Nggak ada zombie-zombiean kan?"

"Menurut pegawai dibawah—yang mayoritas cewek, katanya kebanyakan film komedi romantis."

Aku mengernyit. "Gue nggak bakal mati bosan kan nonton itu?"

Jaehyun menyeringai. "Sama ikon cinta pertama kayaknya nggak bakal pernah bosan sih." Jaehyun mengeluarkan kertas, menyodorkannya padaku. Kuangkat sebelah alis tak mengerti. "Pak, bisa minta tolong mintain tanda tangan Mbak Siyeon, nggak?"

Aku tertawa sambil menggelengkan kepala. "Kenapa nggak minta langsung aja kemarin?"

"Saya harus terlihat profesional di depan idola saya dong."

Kuanggukan kepala singkat. "Tapi, nggak janji ya."

Aku membiarkan Jaehyun bersorak senang—persis seperti seorang fanboy—yang tak ditutup-tutupi. Jaehyun adalah sahabat baik Chaeyeon, dan kebetulan dia menjadi asisten pribadiku. Ini tidak nepotisme, Jaehyun murni masuk ke Kimsung dan mengambil jabatannya yang sekarang melalui proses seleksi, bersaing dengan kandidat-kandidat lainnya. Dia kompeten meskipun umurnya terbilang masih muda. Dan yang pasti, Jaehyun bisa diandalkan—tidak hanya soal pekerjaan, tapi seperti contoh yang tadi itu. Atau mungkin saja karena ini menyangkut Siyeon, makanya Jaehyun sangat bersemangat membantuku mencari rekomendasi film terbaik.

Sebenarnya, ini merupakan caraku untuk memperbaiki 'kerenggangan' yang mungkin saja terjadi antara Siyeon dan aku karena sikapku malam itu yang tidak gentleman sekali—kuakui. Bagian menggenggam tangan Siyeon sebenarnya kulakukan secara refleks, dan ketika sadar bahwa jemari kami bertautan aku memilih untuk tidak melepaskan. Aneh rasanya, padahal aku bukan tipe yang suka berpegangan tangan, tapi lagi-lagi aku melakukan hal diluar kebiasaanku jika bersama Siyeon. Dan aku benar-benar menyesali sikap refleksku selanjutnya—aku bicara soal melepaskan genggaman tangannya.

Sejujurnya, ajakan berkencanku kepada Siyeon itu adalah bentuk manifestasi dari rasa penasaranku. Soal semesta yang mempertemukan kami, soal semesta membuat kami saling terhubung padahal belum pernah bertemu sebelumnya, dan soal semesta yang terus-menerus membuatku terlihat berengsek karena seperti memerlakukan Siyeon murahan. Aku tidak bermaksud soal itu—jika ciuman pertama adalah kesalahan, maka ciuman yang baru saja terjadi itu adalah kesadaran.

Aku sama sekali tidak menganggap Siyeon sebagai pelarian agar Renjun tidak menemuinya lagi dan fokus pada tunangannya. Baiklah, mungkin pada awalnya iya, namun ajakanku yang kemarin sama sekali bukan itu alasannya. Aku murni ingin mengenal Siyeon lebih jauh, terlebih wanita itu membuatku seperti dekat dengan mendiang ibuku. Aku seperti dapat melihat kabel penghubung yang terjalin di antara Siyeon, mendiang ibu, dan Aku. Seperti pengaturan yang baik, dan mungkin saja Siyeon bisa membawaku ke tempat yang lebih baik lagi.

Melalui penolakannya aku jadi sadar, bahwa menjadi dekat tak harus dengan mengklaimnya sebagai kekasih. Seperti yang Siyeon katakan bahwa aku belum selesai dengan hatiku, dan Siyeon belum selesai dengan traumanya. Rasanya kemarin aku terlalu terburu-buru mengajaknya berkencan, alih-alih demikian kami mungkin bisa menjadi teman bertukar pikiran dan bercerita yang sempurna. Karena hubungan dan kisah bahagia memiliki banyak jenis, bukan?

The Celebrity And Her Perfect Match | Jeno - SiyeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang