H[b]E 2

1.5K 122 3
                                    

==============================

Memang benar kata orang. Sekali sakit hati, sakitnya akan terkenang.

===========

Bagian 2
:::::::::::::::

Entahlah, aku tidak tahu apa mauku dan hatiku. Padahal aku merasa bahagia dan begitu disayangi saat bersama Haru, namun aku tetap merasa kurang.

Aku tahu caraku salah dalam menilai hubunganku dengan dirinya. Berpatokan pada masa lalu, pada orang yang justru menimbulkan luka. Dia tidak pernah kulihat lagi, tapi selalu ada. Dia yang membuatku seperti pengemis dan tampak murahan, tapi tidak bisa kulupa.

"Bajunya diambil hari ini, Mbak!" kata Windi, asistenku.

Aku dan Windi sedang berada di butikku yang telah berjalan selama 4 tahun. Dulu, awal aku bertemu dengan Haru, ya, di butik ini. Alasannya karena Haru menemani Mami-nya membeli baju.

Tentunya pertemuan pertama tidak menghasilkan apa pun, namun dipertemuan ketiga dan selanjutnyalah dia mulai mendekat.

"Udah selesai juga. Dia ambil jam berapa?"

"Mungkin sorean. Jam ... dua atau tigaan."

Anggukan kepala kuberikan. Mataku kembali menatap gaun pengantin berwarna salmon di depanku. Kemarin aku hanya menjahit sesuai ukuran yang diberikan mempelai laki-laki. Katanya perempuannya masih di luar negeri.

"Nanti suruh coba dulu, ya! Takut kekecilan," kataku kepada Windi.

Setelah itu, aku memilih kembali ke ruang jahit, meneliti para pekerjaku yang membuat baju-baju pesanan.

"Buat besok punya Kak Maya, ya? Siapa yang pegang?" tanyaku setelah menatap 5 orang penjahit kesayanganku.

"Saya, Mbak. Ini tinggal finishing aja." Maria menjawab dengan begitu lembut.

Aku mengangguk, mendekati mereka satu-persatu untuk mengecek baju siapa yang mereka kerjakan.

Aku bisa menjahit juga, namun akan sulit jika mendesain, menjahit, dan menemui klien kulakukan sendiri. Makanya, aku mempekerjakan mereka.

"Mbak, dicariin mas Haru!" Suara Windi kembali menyapaku.

"Oke, aku temuin dulu."

::::::

"Kenapa, Yang?"

Haru yang sedang memegang setangkai bunga mawar pun menoleh. "Bunganya bagus, kamu selalu pasang di sana?"

"Eh?" Aku merasa heran. Kok dia malah membahas bunga? "Yang, itukan dari kamu."

"Iya, makanya aku nanya."

"Biasanya juga kamu nggak peduli, atau baru ngeh sekarang kalau ada bunga di atas meja aku?"

Dia terlihat salah tingkah. Tangannya kembali meletakan bunga itu ke dalam vas, kemudian dia berjalan mendekatiku. "Nggak, aku cuma mau pastiin aja kalau mau kirim bunga lebih banyak pasti kamu makin suka," katanya dengan senyum.

Heartbreak Effect [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang