H[b]E 21

1K 107 3
                                    

=================================

Berharap, heh? Jangan, harapan itu hanya menerbangkan dan setelah puas akan menjatuhkan.

===========

Bagian 21
::::::::::::::::

Napasku tercekat saat Mama dan Papa menatapku dengan aneh. Namun, aku lebih terkejut ketika mereka sedang membicarakan kerja sama. Berkas di atas meja Haru berlogo perusahaan Papa sudah jelas membuktikan analisisku.

"Kunjungan ke calon mantu sama sekalian setujuin kerjasama kita," jawab Mama dengan senyumnya.

Aku melemas mendengarnya. Apa yang dikatakan Nayla benar-benar terjadi. Harusnya aku jujur sedari kemarin agar Mama dan Papa tidak sampai ke titik ini. Rasa kecewa mereka akan lebih besar dan tentunya kerja sama akan dibatalkan.

"Ma, Nadya boleh ngasih tahu sesuatu?" tanyaku sambil berjalan mendekat.

Mataku dan mata Haru bertemu. Senyum manis di wajahnya yang masih sedikit membiru di beberapa titik benar-benar membuatku geram sendiri. Aku tidak suka caranya tersenyum, senyum yang dulu menenangkan justru kini begitu memuakkan.

"Ngomong apa, Sayang? Mau makan bareng Haru?" tanya Mama dengan nada menggoda.

Mungkin jika aku memberitahu Mama sedari kemarin, bukan nada itu yang keluar dari Mama. Pasti hanya suara serak, getar suara, dan caci maki sinis yang akan Mama berikan untuk Haru.

"Apa, Sayang? Kalau mau keluar bentar lagi, ya? Kita baru bahas masalah ini. Lagi pula ini untuk Haru dan masa depan kamu. Perusahaannya lagi down, ayah Haru juga lagi nyari investor."

"Kenapa Papa harus bicara sama Haru? Kenapa nggak langsung sama presdir, ayahnya Haru?"

Mama tersenyum menggoda, sedangkan Papa tersenyum kecil. "Jangan marah-marah, Sayang. Lagi pula kalau ayah Haru pensiun, perusahaan ini jadi punya Haru juga."

"Masalahnya Haru sama Nadya itu udah-"

"Kami udah janji mau pulang bareng, Ma, Pa," potong Haru cepat. Wajahnya tersenyum samar menatapku.

Menjijikkan! Kenapa dia memanfaatkan status kami dulu untuk menaikan kembali perusahaannya?!

"Kalau gitu kita lanjut besok." Papa berdiri, menjabat tangan Haru dengan begitu hangat. "Yuk, Ma!"

Begitu Mama dan Papa keluar dari ruangan Haru, aku segera mendekatinya. Mataku menatapnya tajam, rasa tidak terima, sakit hati, kecewa, dan tidak habis pikir dengan caranya bercampur menjadi satu.

"Maksud lo apa, Haru?!"

Dia berdiri, senyumnya masih manis saat menatapku. "Gue butuh dana," jawabnya singkat dengan nada menyebalkan. Benar-benar tidak tahu diri.

"Lo punya pacar, tajir bukan? Dia lebih berguna buat lo. Bisa masak, selalu ada, lemah, ketergantungan sama lo, kaya, dan yang pasti lo cinta dia. Lalu, ngapain manfaatin keluarga gue?!"

Napasku memburu, tanganku tidak bisa berhenti menggenggam erat saat menatap wajahnya yang sama sekali tidak menatapku. Kini dia justru menaikan sebelah bibirnya sambil memandang dinding kaca ruangannya.

Heartbreak Effect [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang