H[b]E 24

1.1K 107 2
                                    

================================

Gini deh, kamu pernah mikir nggak kenapa bahagia harus diciptakan?

==============

Bagian 24
:::::::::::::::::

Suasana rumah kembali sepi karena Papa lebih memilih membawa Mama ke tempat adikku. Kata Papa, perawatan di sana lebih lengkap dan yang pasti bisa mengawasi bocah itu agar tidak berbuat ulah. Aku sih setuju saja, toh usiaku cukup dewasa untuk hidup sendiri di sini.

Kutatap kembali dokumen yang tadi siang aku teliti bersama dengan Arisen. Memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan agar tetap menguntungkan. Kemudian mataku berbinar saat mengingat ucapan Arisen sebelum aku pergi.

"Kalau masih segan, anggap aja kamu pinjam uang aku. Kembalikan dengan kata mau saat aku lamar kamu. Gimana?"

Tentunya wajahku memerah menahan geram. Bukankah penawarannya sama saja dengan kalimat "uang suami uang istri juga"?

"Gila, jangan aneh-aneh deh, Sen!"

Dia justru tertawa pelan. Setelah itu, dia menegakkan tubuhnya. Wajahnya menatapku dengan sok serius yang sialnya malah menambah kadar kegantengan dia. Ih, jaga pikiranmu, Nadya!

"Aku serius soal pinjaman. Kamu balikin terserah kapan. Nggak harus cash, nyicil juga nggak masalah."

Aku terdiam karena cara bicara Arisen yang tampak serius dan profesional. Apa dia semengesankan ini di saat rapat dan persentase? Apa banyak yang jatuh hati dan mendekati Arisen karena sosoknya yang sekarang?

"Kok bengong?"

Pertanyaan itu menyadarkanku, menarik kembali otakku untuk berpikir rasional.

"Aku setuju, kita pinjam meminjam sekarang!"

"Mbak!"

Tok. Tok. Tok. Tok. Tok.

Gedoran pintu terdengar nyaring dengan suara seorang perempuan sibuk memanggil namaku. Terpaksa aku bangun dan beranjak turun demi membukakan pintu.

Mataku sedikit berat saat meraih hendel pintu. Klek, pintu terbuka menampilkan tetanggaku, Bu Rina yang membawa sekotak roti berlogo sebuah toko.

"Loh, Bu Rina?"

"Iya, Mbak," jawabnya sambil tersenyum. Bu Rina menyodorkan kotak roti itu kepadaku. "Ini saya ada syukuran anak yang pulang dari Batam. Diterima, ya, walaupun cuma sedikit."

"Ah, makasih, ya, Bu." Tanganku menerima kotak roti itu dengan senyum.

"Kalau gitu saya pamit." Aku mengangguk mengiyakan.

Kutatap sebentar kotak kue itu sebelum menutup pintu. Namun, sialnya pintu ini tidak jadi tertutup karena seseorang menubruknya dengan keras. Aku sempat terpekik, namun pekikanku berubah menjadi cemas saat menatap Haru yang telah terkapar di bawah kakiku. Tubuhnya bersandar pada pintu yang setengah terbuka.

Wajah laki-laki yang menjadi mantan tunanganku pun tampak kuyu, bau alkohol mulai tercium membuatku semakin panik.

"Haru?" panggilku yang kini berjongkok di sebelahnya.

Heartbreak Effect [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang