H[b]E 6

1.2K 128 2
                                    

===============================

Jangan pernah menanam jika tidak ingin merawat.

============

Bagian 6
::::::::::::::

Berangkat terlalu pagi, jelas tidak aku lakukan karena Haru begitu hapal dengan rencana itu. Lalu selama 3 hari tidak bertemu, apa yang aku lakukan?

Tentu saja menghindar. Bukan dengan berangkat terlalu pagi, tapi terlalu siang. Membiarkan Haru menunggu lama di depan rumah, lalu pergi karena merasa aku sudah berangkat.

Selama 3 hari ini juga, Winda bilang kalau Haru datang menanyakanku setelah itu dia kembali ke kantor. Saat makan siang juga Haru datang, tapi aku sengaja mengunci ruangan dan menyuruh Windi mengatakan aku sedang pergi.

Tiga hari, selama itu aku membiarkan benda kesayanganku mati tak bernyawa. Tentu saja alasannya adalah Haru. Namun, tunanganku tidak hilang akal. Setiap pagi dan siang dia selalu menitipkan satu surat kepada Windi yang tentu saja hanya kubaca tanpa kubalas.

"Nadya-nya belum pulang, Win?"

Aku mendengar suara Haru. Kutatap jam dinding yang menunjukkan pukul 1 siang. Harusnya dia sudah di kantor karena jam makan siangnya sudah habis.

"Belum balik, Mas."

"Ke mana? Tiga hari nggak makan siang di sini?"

"Sama klien kok, Mas," jawab Windi lagi, nadanya mulai gugup.

"Sebenernya aku mau nanya ini dari kemarin, Win. Apa bener Arisen ke sini?"

Telingaku semakin terpasang siap mendengarkan obrolan mereka.

"Em ... iya, Mas. Tiga hari lalu."

"Tiga hari ini enggak? Nadya nggak pergi sama Arisen?"

"Ee ... enggak, Mbak Nadya di ruangan terus kok nggak pergi sama Arisen."

Bodoh. Bisa-bisanya Windi keceplosan seperti itu. Aku sangat yakin bahwa Haru akan segera menggedor pintu itu dengan kasar.

"Nadya, kamu di dalem, 'kan?"

"Nadya, kita bisa bicara?"

Saling diam lebih tiga hari bisa dihitung dosa, makanya aku memilih melangkah mendekati pintu. Embusan napas terdengar kasar, gugup mendera dengan jantung berdebar kencang.

"Yang, tolong kasih kesempatan ngobrol."

Klek. Wajah suram milik Haru langsung tampak ketika pintu terbuka. Senyum lega dan binar bahagia terpancar di matanya. Tanpa kuduga Haru memelukku, disaksikan Windi yang menutup matanya cepat.

"Aku kangen," bisiknya. "Kenapa bikin aku khawatir, Yang? Aku ... hampir aja mati."

Kekehan ringan keluar dari mulutku. Mendengarnya hampir mati benar-benar seperti mendengar lelucon receh. Tidak mungkin, nyatanya dia masih tampak sehat meski kantung matanya sedikit menghitam. Tentunya pikiran positif memenuhi kepalaku.

Mungkin dia menjaga Anya karena perempuan itu sakit.

Mungkin dia tidak sempat tidur karena menemani Anya menggobrol semalaman penuh.

Heartbreak Effect [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang