H[b]E 26

1.1K 109 3
                                    

==============================

Memang gila, bahkan aku yang awalnya bilang tidak bisa tanpamu pun kini terbiasa.

===========

Bagian 26
:::::::::::::::::

Aku menatap Arisen yang kini tidak kunjung pulang. Dia tetap duduk di dalam mobil sedangkan aku berdiri di luar mobilnya. Mata Arisen terus memandangku, hingga membuatku salah tingkah.

"Kamu nggak pulang?" tanyaku sedikit canggung.

Pasalnya setelah dia mengatakan tentang siapa Sirena sebenarnya, aku memang lebih memilih diam. Bukan karena aku marah dengannya, tapi aku lebih berpikir tentang kenapa dia kembali memilihku disaat ada Sirena yang jelas begitu sempurna? Kenapa dia harus susah payah kembali meyakinkan aku disaat ada Sirena yang bersedia bersamanya tanpa usaha lebih?

Em, maaf. Aku lupa tentang fakta kaum laki-laki yang lebih tertarik kepada yang jual mahal.

"Kamu kenapa nggak masuk?" tanyanya balik.

Aku tersenyum kikuk dengan tangan menggaruk tengkuk. "Nunggu kamu pergi, mungkin?" kataku dengan ragu.

Setelah itu, Arisen menutup kaca mobilnya. Kukira dia akan pergi, tapi ternyata Arisen justru membuka pintu mobilnya.

Tubuhnya yang lebih tinggi dariku kini berdiri tepat di depanku. Wangi parfurmnya tercium begitu pekat. Masih sama, bahkan aku baru sadar jika harum parfurmnya tidak pernah berganti dari 7 tahun lalu.

"Jangan khawatir tentang Sirena. Aku sama dia udah selesai lama. Dulu memang pernah mencoba karena dia yang minta, tapi hasilnya nggak ada. Rasaku tetep sama kamu, Nad."

"Kenapa harus dijelaskan?" tanyaku. "Itu bagian masa lalu kamu kok, masa di mana emang kita nggak sama-sama."

"Nad, aku masih bisa maju, 'kan?"

......

"Kasih hati aja langsung kenapa?" tanya Faya begitu dia duduk di depanku.

"Gila, gampangan banget gue kalau gitu."

"Sempet ya mikirin gengsi, padahal jelas lawan lo udah muncul!" ejeknya membuatku mendengus.

Aku menyeruput sedikit teh yang Faya sediakan. "Gini, gue bukan gengsi sebenernya. Gue cuma pengen tahu seberapa dia bisa kembali yakinin gue."

"Terus kalau dia direbut sama model itu gimana?!"

"Gue mikirnya, kalau dia akhirnya nggak milih gue, ya berarti bukan jodoh gue."

"Heleh." Faya mencebik. "Giliran ditinggalin mewek lo!"

"Idih, itu urusan akhir. Yang penting gue mau tenangin dulu ini hati sama pikirin."

Faya mengangguk. Lalu, berdiri menghampiri Fajar yang baru saja memasuki ruang makan.

"Mau aku ambilin?" tanyanya.

Gerakan Fajar yang mengelus rambut Faya sambil mengangguk benar-benar membuatku panas sendiri. Aku juga ingin uwu-uwuan begitu sama suami besok!

"Pake lauk apa, Mas?" tanya Faya.

"Kamu," jawab Fajar sambil tertawal.

Sumpah, bibirku berdecak kesal mendengar mereka. Bahkan Faya dan Fajar langsung menatapku. "Tutup telinga sama mata kalau nggak kuat denger, Nad!" ucap Faya sambil tertawa keras dan sialnya Fajar malah terlihat menahan tawa. Ekspresi miliknya bukan terlihat seperti menjaga, tapi seperti mengejekku secara tidak langsung.

Tentunya, aku langsung berdiri mengambil tas selempangku. "Gue pulang ajalah. Salah pergi ke rumah orang gue, harusnya ke tempat Nayla!"

Tawa Faya pecah, bahkan dia tidak segan meneriaki aku yang sudah cukup jauh dari mereka. Katanya, aku seharusnya terima saja ajakan Arisen agar cepat-cepat seperti dirinya. Jelas aku tidak terkejut, hanya kesal. Karena aku tahu, Faya begitu mendukungku dengan Arisen sejak dulu.

......

"Hai!"

Sangat sial. Niat pulang ingin menenangkan diri malah disambut oleh Haru yang dengan begitu percaya diriq. Dia bahkan tersenyum tanpa dosa dengan satu bungkus martabak di tangan kanannya.

"Dari mana? Kok tumben jam segini nggak di rumah? Biasanya kamu pulang kerja langsung istirahat di rumah."

Aku memilih diam tidak menjawabnya. Benar-benar merasa kesal karena dia yang tidak diharapkan justru muncul dihadapan.

"Aku bawa martabak manis!" ucapnya dengan begitu riang, tangannya menjinjing plastik itu dengan bibir membentuk lengkung ke bawah.

"Gue capek," kataku halus karena tidak ingin marah dengannya.

Sayangnya, Haru tidak peka. Dia bahkan merebut kunci yang aku ambil dari tas, kemudian membuka pintu dengan begitu santai.

"Masuk dulu, aku buatin wedang jahe, ya?" katanya dan langsung menghilang sebelum aku sempat menolak ucapannya.

Kakiku melangkah malas memasuki rumah. Mau tidak mau aku tetap harus masuk karena tidak mungkin aku meninggalkan Haru di dalam rumahku.

Aku memilih duduk di sofa ruang keluarga, rasanya benar-benar lelah. Bukan fisik, tapi hati dan pikiranku yang lelah.

"Diminum dulu," katanya sambil meletakan piring berisi martabak yang dia beli dan juga dua gelas wedang jahe.

"Aku kangen berduaan sama kamu gini."

Sial. Baru saja aku ingin mengambil gelas, tapi harus mematung mendengar apa yang Haru katakan.

Kutatap wajahnya yang tersenyum tanpa dosa, seolah dia lupa bahwa dia sudah berhasil menciptakan luka.

"Lo tahu gue benci apa?" tanyaku padanya. Aku harus mengakhiri ini sebelum semakin menjadi, bukan?

"Kamu nggak suka kalau diganggu waktu capek."

"Terus kenapa masih di sini? Kenapa nggak pergi padahal gue udah bilang kalau gue capek?"

Mimik wajahnya berubah. Binar cerianya meredup berganti dengan rasa bersalah. But, i don't care about him!

"Lo udah bikin gue kecewa. Lo nggak milih gue dulu. Apa hal paling memuaskan itu harus gue ulang-ulang ingetin biar lo sadar kalau lo udah sakitin gue?"

"Kamu ... kecewa banget ya? Aku ... pasti salah banget, 'kan?"

"Iya."

"Aku minta maaf, Nad. Aku pasti bakalan perbaiki semuanya, lagi pula kamu bilang kamu nggak bisa tanpa aku, 'kan? Jadi, kembali bersama tidak salah, bukan?"

Tawa hambar terpaksa keluar. Ucapannya benar-benar membuat sisi lain diriku menertawakan.

"Lo juga pernah bilang gitu, 'kan? Buktinya lo bisa bahagia sama Anya kemarin!"

"Tapi sekarang aku nggak bahagia sama dia. Kamu juga nggak bisa lupain aku, jadi-"

"Berhenti ucapin omong kosong itu, Ru! Lo pikir gue butuh lo seperti yang gue bilang? Lo pikir gue cuma ngomong itu sama lo doang? Lo lupa, bahkan gue jauh lebih bego waktu sama Arisen! Gue bahkan pinter banget membual tentang betapa gue butuh dia. Tentang gimana gue bilang nggak bisa tanpa dia. Lo sama gue sama, Ru. Terjebak rasa masa lalu."

Ucapanku yang panjang dan lebar berhasil membungkam Haru. Dia menunduk, tangannya mengepal dengan napas berderu cepat. Dia marah, dia kecewa, bahkan dia mungkin membenciku. Namun, aku tidak akan perduli. Apapun tentang Haru bukan lagi urusanku. Urusanku dengannya hanya tentang investasi yang kami rencanakan, tidak ada yang lainnya apalagi tentang cinta.

"I lost you, Nadya. I really lost you."
.....

Terima kasih karena telah membaca Heartbreak Effect.

Thanks for your vote and comment! Dukungan kalian buat aku semangat💛

See you next part guys!

Love you💛




-26 Feb 2021

Heartbreak Effect [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang