H[b]E 11

1.1K 116 1
                                    

================================

Patah itu bukan hanya karena rapuh, tapi juga karena bebannya terlalu banyak.

===========

Bagian 11
::::::::::::::::

Menelungkupkan kepala di sofa ruang tamu adalah hal yang pertama aku lakukan setelah memasuki rumah. Aku tidak berniat untuk mandi atau hanya sekadar mengganti baju. Lelah juga lemas rasanya badan ini, malu juga karena Arisen pasti sempat mendengar jeritanku.

Untungnya aku langsung mematikan panggilan itu dan bergegas pulang. Mungkin jika aku lebih lama di sana, Arisen akan tiba dan menemuiku. Aku tidak akan membiarkan itu, pagi tadi aku baru saja menangis, masa iya aku menangis lagi karena Haru. Tapi, memang aku menangis, sih.

"Argh! Haru brengsek! Kenapa lebih milih dia yang dulu ninggalin lo?" kesalku. Sofa yang tidak berdosa ini menjadi lampiasan amarahku.

Aku benar-benar ingin menghabisi Haru, mencabik-cabik wajahnya yang tampan dan menjambak rambutnya yang begitu lebat. Aku ingin menampar pipi tirusnya, kemudian menendang kakinya yang panjang.

"Gue benci lo Haru! Bahkan gue belum jadi selingkuh, sialan!"

Katakan saja bila kau inginkan aku

Aku juga ingin tahu perasaanmu

Mulutku mengerang malas mendengar dering ponselku sendiri. Lagu yang tadi sempat kuganti saat perjalanan pulang mengalun membuatku ikut bernyanyi.

Setelah lagu itu habis, aku baru sadar kalau telepon orang itu belum ku jawab. Mulutku berdecak. Tanganku mengusap mata yang aku yakin sudah bengkak dan kemerahan. Samar kulihat Windi yang menelepon, namun setelah jelas, justru nama Nayla yang tertera.

Ash, ternyata selain membuat sakit, patah hati juga bisa membuat kita gila, benar-benar gila!

Dering kembali terdengar, segera aku mengusap layarku agar tidak kembali terlena dengan lagunya.

"Kenapa?"

"Assalamualaikum dulu, Nad," ingat Nayla.

"Assalamualaikum, kenapa?" ulanhku lagi sesuai maunya.

Nayla mendengus, aku tahu dia pasti kesal. "Kenapa nangis? Patah hati lo?" tanyanya benar-benar membuatku berdecak.

"Lo kok tahu?"

"Pertama, suara lo serak. Kedua, gue lihat Haru di rumah sakit gue kerja, dia sama cewek. Fix, lo patah hati!"

Aku terdiam sejenak memikirkan kalimat Nayla. Jadi, Haru dan Anya ke sana?

"Lo sama dia beneran udahan? Bokap sama nyokap lo gimana?"

Mama papa? Aku belum memikirkan mereka. Yang aku pikirkan sekarang lebih pada keegoisan hati yang tidak ingin berbagi. Yang ada dalam otak Nadya ini hanya ingin bebas dari rasa dijadikan nomor dua. Yang aku lakukan selanjutnya adalah akan membuatnya menyesal karena mencampakkan seorang Nadya.

"Gue nggak ngerti, mikirnya besok aja. Lagian bokap sama nyokap masih di Jakarta."

"Tapi gue nggak yakin mereka terima."

"Ya gue cari calon barulah! Lagian masih lama mereka ke sini."

"Oiya, besok nikahan Faya banyak cogan pasti, cari aja!"

"Pasti!" jawabku sok yakin, padahal aku sendiri ragu. Baru tadi patah, dan sebentar lagi pernikahan Faya. Move on secepat itu sangat mustahil.

Heartbreak Effect [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang