H[b]E 14

1.1K 114 5
                                    

=================================

Pernah mendengar orang mengalami mati rasa? Sebenarnya, dia masih punya perasaan, tapi dia tidak lagi ingin orang lain mengetahui.

=============

Bagian 14
:::::::::::::::::

Arisen begitu telaten mengobati luka menganga di punggung kakiku. Dia berjongkok sedangkan aku duduk di atas kursi sambil menikmati ayam betutu yang dia belikan. Wajahnya tidak bisa kulihat, hanya rambut hitam yang memenuhi pandanganku.

Sebenarnya, aku sedikit bingung bagaimana bisa Arisen dan Nayla bertemu. Jelas-jelas kemungkinan mereka bertemu hampir tidak ada.

"Lo ketemu Nayla di mana?" tanyaku saat dia mulai melilitkan perban.

"Di dekat apotek."

Cih, cuek sekali dia. Aku pun lanjut memakan ayam yang super lezat ini dengan lahap, mengabaikan Arisen yang menyebalkan.

"Sakit?" tanya Arisen saat dirinya menekan area dekat lukaku.

"Sedikit," jawabku dengan mulut penuh. Untungnya dia tidak mendongak menatapku.

"Kenapa nggak merintih atau seenggaknya kamu bilang ah?" Kali ini dia mendongak, wajahnya yang masih terlihat segar kini tampak begitu lucu dan menggemaskan.

Aku segera berkedip beberapa kali sambil kembali menyuapkan nasi. "Karena nggak sakit-sakit banget."

"Argh!!" Kakiku benar-benar sakit dan perih. Mataku mendelik tajam menatap Arisen yang justru tertawa. Dia menekan lukaku dan justru bahagia? Oh, astaga, apa dia tidak punya simpati sama sekali?!

"Arisen, itu sakit!"

"Katamu enggak sakit?" Sial, wajahnya pura-pura polos.

"Kalau nggak niat obatin, gue bisa sendiri!" kataku mengusirnya. Tangan kiri yang memang bersih ku gunakan untuk menjauhkan Arisen dari sana.

Sayangnya, tangan kiriku justru dicekalnya. Dia mendengus dan menjauhkan tanganku dari dirinya. "Aku saja, tanganmu bau ayam."

Dan lagi-lagi kami bertengkar kecil karena ucapannya.

:::::

"Makasih," ucapku sambil meletakan segelas sirup melon di depan Arisen.

Laki-laki itu kini sudah duduk santai dengan kepala bersandar pada sandaran kursi. Baju kerjanya juga sudah tidak serapih tadi saat kemari. Lengan kemejanya digulung hingga siku dengan dasi yang entah hilang ke mana.

Aku pun duduk di sebelah Arisen, cukup jauh karena memang tidak ingin terlalu dekat dengannya.

"Nggak masalah. Bahkan ini kewajiban."

"Bukan, gue bukan siapa-siapa, nggak seharusnya lo punya kewajiban itu, Sen."

Arisen mengambil gelas berisi sirup dingin dan meminumnya pelan. Wajahnya terlihat begitu tenang tanpa ekspresi. "Aku udah jelasin di depan Haru tadi. Aku calon suami kamu," katanya dengan alis kanan yang dinaikan.

Heartbreak Effect [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang