#72 Callyn & Xavier

372 26 0
                                    

Dua hari kemudian...

Setelah sekian lama akhirnya Daniel diperbolehkan masuk keruangan Lyn. Ia masuk keruangan itu bergegas dan menggenggam tangan Lyn erat. "Hari ini mereka akan mengoperasimu lagi, kamu harus tetap kuat yaa.."

Daniel mengusap lembut kepala Lyn dan setetes air matanya jatuh. Hatinya begitu sakit melihat kondisi Lyn yang tidak sadarkan diri bahkan tubuhnya semakin lama semakin kurus dengan wajahnya yang juga pucat. 

"Apa kau sudah mempertimbangkannya dengan benar? Aku tidak mau kau memaksakannya untuk harus segera di operasi. Aku tidak mau dia terjadi apa-apa." Kata Daniel setelah melihat Liam ikut masuk. 

"Aku tidak begitu bodoh mempertaruhkan nyawa adikku satu-satunya. Aku akan melakukan semua cara untuk dia kembali sadar dan sehat seperti dulu." Jawab Liam. Daniel memundurkan langkahnya memberi ruang para perawat untuk membawa Lyn keruangan operasi.

"Kumohon selamatkan dia, Liam."

Liam melihat tatapan Daniel yang begitu sedih pun menarik napas panjang dan menghelanya pelan. "Pasti, aku akan berusaha menyelamatkannya." Jawabnya sebelum keluar mengikuti perawat yang sudah membawa Lyn. 

Daniel berjalan keluar dan melihat kedua orang tua Lyn yang tengah berdiri dengan membawa kado yang dihias lucu. "Lyn hari ini ulang tahun dan dia pernah berpesan untuk menyerahkan ini dihari ulang tahunnya untukmu." 

Ia mengambil kado  itu dengan tatapannya yang sulit diartikan. Ia menatap kado itu cukup lama dan seketika ia berlari berharap Lyn belum masuk keruang operasi. 

"Sebentarr..." Daniel menahan pintu itu yang hendak tertutup. "Maaf tuan, anda tidak boleh mas-.."

Liam datang dan menarik tangan Daniel menjauhi ruangan itu. "Kau menghambat operasinya, Daniel. Kau bisa membunuhnya! Diamlah disini dan berdoa untuknya."

"Aku hanya ingin bertemu dengannya, ada sesuatu yang ingin kukatakan."

"Kau lebih mementingkan keinginan mu untuk bertemu dengannya? Kau sama saja ingin membunuhnya. Aku mohon tunggulah disini, tidak hanya kau yang takut kehilangannya. Aku juga!" Kesal Liam.

Ia masuk keruangan itu dan disambut perawat untuk membantunya mengenakan pakaian operasi.

*****

Disatu sisi, seorang pria berdiam diri diruangannya yang gelap dengan pencahayaan minim dari layar komputer yang menunjukkan video dari cctv. Tangannya tak berhenti mengetuk meja mempertimbangkan semua yang ada dipikirannya.

Raut wajahnya mengeras dengan detak jantung yang terus berdetak cepat melihat semua yang muncul dari komputernya. "Apa anda ingin saya menyiapkan pesawat anda untuk kesana?"

Pria itu menghentikan jarinya dan mengangkat kepala, terlihat jelas mata itu menatap tajam kedepan dan berhasil membuat pria muda yang sedari tadi berdiri didepannya tertunduk.

"Untuk apa kau menyiapkannya?"

Pria muda itu masih menunduk penuh ketakutan. "Saya merasa anda membutuhkannya jika terjadi sesuatu pada wanita itu." Jawavbya.

Xavier menggaruk alis kirinya dengan tersenyum kecil. "Apa kau berharap terjadi apa-apa dengannya?"

Pria itu mengangkat kepalanya dan menggeleng ketakutan. "Ti-tidak.. saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya ingin berjaga-jaga saja dan.."

Ucapannya terhenti ketika sebuah benda tajam mengkilat melayang tepat disampingnya dan memecahkan vas bunga. "Aku bisa saja mengenai pisau itu ke matamu jika kau terus memikirkan hal buruk terhadapnya."

"Ma-maaf.. maafkan saya tuan."

🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒

Mereka terus berdoa dan melihat kearah pintu ruang operasi berharap operasinya berjalan lancar. Beberapa perawat datang tergesa-gesa dan masuk keruangan operasi, membuat siapa pun melihatnya yang langsung khawatir.

"Apa semuanya baik-baik saja?" Tanya ibu Lyn.

Ayah Lyn mengusap bahu wanita paruh baya itu sambil mengucapkan semuanya baik-baik saja berharap istrinya sedikit tenang. Lampu diatas pintu operasi pun mati diiringi Liam keluar dan menghampiri mereka.

"Apa yang terjadi?" Tanya Daniel.

"Kami tidak bisa mengoperasinya sekarang, tiba-tiba kondisinya melemah dan dia mengalami serangan jantung. Sangat beresiko jika kami tetap melakukan operasi. Kami akan menentukan tanggal operasinya."

 Ibu Lyn langsung terduduk lemas, tak lama perawat dan dokter mengeluarkan Lyn dan membawanya kembali keruangannya. Daniel mengikuti perawat itu dari belakang hingga sampai keruangan Lyn dan ia berhenti ketika perawat itu menutup pintu ruang isolasi.

Daniel menatap tubuh Lyn dari luar, beberapa peralatan mulai dipasang kembali ketubuh itu membuatnya sakit.  "Ini sangat menyakitkan untuknya." Kata Daniel ketika Liam sudah berdiri disampingnya.

Liam menghela napas sambil menurunkan kepalanya merasa tidak berguna untuk adiknya. "Semakin lama, aku semakin tidak tega melihatnya seperti ini apalagi banyak peralatan medis tertanam ditubuhnya."

"Dia wanita yang sangat kuat." Sambung Daniel, ia menoleh kearah Liam dan menghela napas panjang. "Waktu itu aku memimpikannya, matanya terbuka tapi sorotan matanya terlihat jelas dia kesakitan dan dia mengatakan sudah tidak kuat untuk menahannya.."

"Dan.. dia meminta maaf." 

Liam menepuk bahu Daniel dan tersenyum kecil. "Itu hanya mimpi percayalah, dia wanita yang kuat dan aku tahu itu. Jadi aku harus tetap membantunya melawan penyakit itu, aku yakin kita bisa menyembuhkannya dan.."

"Aku sudah tidak bisa melihatnya seperti itu terus, Liam. Aku tahu kau juga seperti itu. Kau lihat dia begitu kesakitan, apa sebaiknya kita melepaskannya saja?" Seketika Liam menarik ke rah kemeja Daniel penuh emosi.

"Jika kau sudah tidak mau bersamanya lagi, pergilah. Aku yakin dia juga tidak apa-apa tanmpa mu. Tapi jangan seperti ini, aku tidak mau membiarkannya dan masih ada kemungkinan untuk menyembuhkannya."

"Apa yang kalian lakukan disini?!" Seru ayah Lyn, Liam melepaskan cengkramannya dan sedikit memundurkan langkah kakinya. "Apa kalian tidak lihat dia terbaring lemah dan tidak sadarkan diri disana tetapi kalian berkelahi didekatnya?"

"Apa yang terjadi?" Tanya ibu Lyn. 

"Dia sudah tidak mau berjuang bersama kita untuk menyembuhkan Cally." Jawab Liam, Daniel menggelengkan kepalanya dan dia langsung menjelaskannya dengan cepat membuat siapapun tidak bisa memutuskan pembicaraannya.

Ibu Lyn terdiam dan tersenyum. "Aku juga pernah memimpikan hal yang sama. Kurasa anakku memang sudah tidak kuat lagi, aku juga sangat sedih jika ia terus merasakan rasa sakitnya." Ibu Lyn menatap kearah Lyn dengan senyum kecilnya. 

"Aku melihatnya seperti ini saja tidak kuat, apalagi aku berada diposisinya. Aku ingin masuk sebentar menemuinya." Sambungnya sambil masuk keruangan itu. Terlihat jelas perawat itu menghalangi jalannya tapi langsung terhenti ketika Liam memberikan isyarat untuk tidak menghalangi orang tuanya. 

Perawat dan dokter itu keluar dan ikut berdiri tak jauh dari Liam setelah Liam menyuruh mereka untuk berada disana sebentar. Tidak memerlukan waktu yang lama kedua orang tuanya keluar dengan ibunya yang langsung menangis dalam pelukan suaminya.  

Callyn & Xavier (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang