#56 Callyn & Xavier

698 35 0
                                    

Haiii semuanyaa...

Maaf, maaf dan maaf. Aku lama update nih cerita. Semenjak virus nakal ini merambah di negara tercinta kita pekerjaanku sangat banyak apalagi aku sedang sibuk-sibuknya mengejar skripsi ku yang belum kelarr.

Mau ngurus semuanya gk blh ke kampus jdi klo ad ap" konsulny hrus via cht dan itu pun trkadang gk nymbung apa yg dibahs dan apa yg dijwb😒😆

Butuh refreshing tpi pas ambil cuti gk blh kluar kota walaupun udh mengikuti protokol kesehatan. Alhamdulillah kotaku msih daerah hijau tpi ttp aj gk blh kmn2 bhkan keluar aj stiap jalan nemu polisi patroli razia masker dan hand sanitizer

Semoga aj virus nakal ini hempas dari negara kita yaa dan smoga kita dilindungi sm yg diatas...🤲🙏

Callyn pov

Aku terbangun merasakan seseorang menggenggam tanganku erat. Perlahan aku melirik dan menghela napas melihat siapa yang menggenggamnya, Sean. "Kenapa kamu disini?" Tanyaku sambil melepaskan tanganku dari tangannya.

Sean mengalihkan pandangannya dari tablet yang ia sandarkan ditubuh ku. "Kamu sudah sadar, sweetheart? Apa kamu masih merasakan pusing atau sakit ditubuh mu? Atau kamu membutuhkan sesuatu?" Tanyanya sambil berdiri.

"Kamu membuatku pusing, dimana Liam dan Daniel?" Seketika Sean menahan kedua bahuku yang hendak bangun, ia menggelengkan kepalanya. "Berbaring saja dulu tubuhmu masih lemah dan aku sudah diminta Will untuk menyuruhmu berbaring bagaimana pun caranya."

Aku hanya bisa menghela napas panjang dan melihat sinar matahari yang terik. Sepertinya, aku lama tertidur dan... "Bagaimana kondisiku saat ini, Sean. Apa yang dikatakan Liam? Apa Daniel baik-baik saja?" Tanyaku.

"Kamu hanya demam biasa karena kecapean saja dan Daniel, dia sekarang sedang bersama orang tuamu aku tidak tau apa yang sedang mereka bicarakan tapi aku bisa melihatnya mereka begitu serius." Jawab Sean.

Kuharap semuanya baik-baik saja..

"Ada buket bunga dan buah-buahan dari Claudya, tadi dia datang kesini bersama Alex. Apa kamu mau, sweetheart?" Aku berdecak kesal mendengarnya yang terus memanggilku dengan sweetheart tapi entah kenapa aku cukup terhibur.

Aku mengangguk dan ia beranjak dari kursinya mengambil beberapa buah di meja. "Sepertinya aku akan merindukanmu yang memanggilku sweetheart nanti, aku akan mengingatmu selalu." Sean menoleh dan mengangkat sebelah alisnya.

"Apa yang kamu katakan tadi?" Tanya nya, aku tersenyum sambil menggeleng. "Kenapa lama sekali? Cepatlah."

*****

Aku bersandar melihat kearah luar melalui jendela yang sedari yadi di buka Sean. Pepohonan mulai menggugurkan daunnya dengan angin yang terus berhembus. "Sebentar lagi musim salju."

Aku kembali teringat tahun lalu dimana aku menunggu Xavier yang tidak kunjung datang menemuiku di musim salju. Bukannya marah, melainkan aku senang karena aku sadar aku begitu tulus mencintainya walaupun aku tau dia tidak membalas perasaanku.

Suara ketukan pintu terdengar, aku langsung menoleh dan tersenyum melihat Liam berdiri di ambang pintu dengan membawa bunga dan kotak berwarna cokelat. "Apa yang kamu bawa?" Tanyaku, ia menutup pintu dan berjalan menghampiriku.

"Aku membawakanmu cokelat kesukaanmu." Katanya, senyumku semakin lebar dan dengan cepat aku mengambil satu cokelat berbentuk hati ketika Liam membuka tutup kotak itu.

"Tapi apa aku boleh memakannya? Kamu selalu melarangku memakan cokelat." Tanyaku

"Kali ini aku akan membiarkanmu menghabiskan cokelat ini dan jika pun sudah habis kamu juga boleh memintanya lagi. Asalkan kamu harus cepat sembuh."

Aku mengangguk sambil memasuk kan cokelat kedalam mulutku. "Hemm ini sangat enak. Sudah lama aku tak merasakan cokelat ini." Kataku.

"Ya, habiskan saja." Jawab Liam, tangannya mengusap kepalaku lembut dengan tatapan matanya yang teduh membuatku sedikit merasa aneh dengan tatapan itu. "Kenapa dengan tatapanmu? Apa kamu ada masalah?"

"Tidak, aku hanya masih merasa sedih melihatmu yang terbaring tak berdaya beberapa waktu yang lalu."

Aku tersenyum dan memukul bahu kanannya. "Sudahlah hentikan. Aku sekarang sudah sadar dan sangat sehat. Jadi berhenti menatapku seperti itu, Liam. Kamu melihatku seperti anak kecil yang sedang sekarat saja." Jawabaku.

*****

Seorang pria masih duduk sendirian di tengah lorong sibuk dengan pikiran nya yang sulit hingga membuatnya beberapa kali menarik napas. Sebuah kotak berwarna merah ia pegang sangat erat ditangannya.

Ia memejamkan matanya dengan tangannya yang membuka kotak itu perlahan. Sepasang cincin berwarna putih dengam satu cincin yang dihiasi berlian yang sangat elegan membuat siapapun yang menggunakan cincin itu akan terlihat mempesona.

Melihat cincin itu membuat hatinya sangat sakit hingga tanpa disadarinya setetes air matanya jatuh bersamaan suara langkah kaki yang ia dengar membuatnya kembali menutup kotak itu dan memasukkannya kebalik saku jasnya.

"Apa yang kamu lakukan disini? Kenapa belum menemuinya? Kurasa dia sudah menunggumu sejak tadi." Kata wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik diusianya.

Ya, wanita itu adalah ibunya Lyn. Daniel berdiri dan membungkukkan badannya sejenak. "Aku masih belum bisa melihatnya langsung dengan kondisinya yang seperti itu, ibu."

"Kamu tidak bisa menyalahkan dirimu, itu sudah takdirnya memiliki penyakit itu. Kami juga belum bisa menerima ini semua, tapi kita jangan seperti ini. Kita masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan nya karena Tuhan selalu bersama kita." Jawabnya.

Daniel menatap ibu Lyn dan sedikit tersenyum kecil. "Kita harus yakin penyakitnya bisa sembuh, dia wanita yang sangat kuat. Lihatlah dia masih bisa melawan penyakitnya sampai sekarang tidak seperti orang-orang di luar sana. Ayo, dia sudah menunggu sejak tadi."

Daniel mengangguk dan berjalan menuju pintu ruangan Lyn. Dengan pelan ia membuka pintu itu dan memberikan jalan lebih dulu untuk ibu Lyn masuk. "Makanan apa yang kamu berikan padanya hingga ia terlihat seperti badut, Liam!"

Daniel masuk dan terkejut melihat wajah Lyn yang kotor. "Kubelikan dia cokelat kesukaannya, mom. Dia seperti anak kecil setelah kubelikan jadi kubiarkan saja karena dia masih terlihat seperti anak kecil yang lucu." Jawab Liam sambil mencubit pipi Lyn

"Sudah berapa banyak memakan cokelatmu, Cally?" Tanya Daniel, ia pun mengambil selembar tisu basah dan membersihkan mulut Lyn yang terkena cokelat. "Kamu sendiri yang memakannya sebanyak itu?"

Lyn mengangguk, Daniel menghela napas karena tidak bisa berbuat apa-apa lagi. "Sudah cukup kamu memakan cokelat itu. Tidak baik juga untuk kesehatanmu, sekarang kamu istirahatlah. Mom akan menaruh cokelat ini di kulkas."

Ibu Lyn mengambil kotak cokelat itu dan meletakkannya kedalam kulkas. Daniel dan Liam membantu Lyn untuk berbaring ditempat tidurnya. "Tapi aku belum mau tidur."

"Siapa yang menyuruhmu tidur, kami menyuruhmu untuk istirahat. Dan jika kamu memang ingin tidur, juga tidak apa-apa." Jawab Liam sebelum berjalan menutup jendela.

Melihat tidak ada siapa-siapa didekat nya selain Daniel, Lyn pun langsung menarik jas Daniel yang sedang merapikan selimutnya. "Apa semua baik-baik saja? Mereka tidak tau dengan penyakitku kan?" Bisiknya.

Daniel mengangguk. "Semuanya baik-baik saja sesuai harapanmu. Sekarang cepatlah sembuh dan jangan sakit seperti ini lagi. Kamu hampir saja membunuhku." Lyn pun tersenyum lebar hingga menampak kan giginya yang putih dan rapi.

"Menggemaskan." Daniel kembali duduk dan mengusap-usap tangan Lyn dengan matanya yang membalas tatapan dari Lyn yang tidak lepas menatapnya. "Ada apa?" Tanya Daniel.

"Tidak ada, aku hanya ingin melihat mu saja. Dan ternyata kamu cukup tampan juga jika diliat benar-benar." Lyn pun tertawa melihat ekspresi Daniel yang berubah seketika.

"Aku hanya bercanda, Niel. Kenapa kamu jadi suka marah seperti anak kecil." Katanya.

Callyn & Xavier (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang