CHAPTER 35

2.5K 139 19
                                    

" Karena kamu itu bukan sekedar tempat ternyaman, tapi tempat berpulang."

-------------

Matahari nampak malu-malu datang dari balik pekatnya awan hitam. Angin sepoi berhembus menyelinap diantara celah kaca jendela yang sudah dibuka oleh Empunya, Asna. Seusai bangun ia membuka kaca jendela kamar menghirup udara yang masih segar, lampu jalanan masih remang. Belum terlihat lalu lalang santri yang hendak jamaah dan kultum di masjid. Maklum masih setengah jam lagi sebelum memasuki sholat subuh. Asna sengaja bangun lebih awal, Gus Adnan saja masih terlelap pulas. Ia ingin menjadi istri seutuhnya. Merasakan rasanya membangunkan suami sholat, Asna seperti menemukan hidupnya kembali. Sebelumnya ia hanya hidup tapi mati.

"Sekarang waktunya kamu bangun, sayang." Ujar Asna menarik selimut suaminya pelan.

"Hmpphh." Gus Adnan hanya bergumam meringkuk.

"Sayang cepet bangun itu ditungguin santri mau setoran nadhoman. BANGUN!"

"Eh, iya bentar yah. Bapak bangun!" Teriaknya kaget.

Asna terkekeh geli, "oh jadi santri kamu lebih penting daripada aku?" Tanya Asna memutar bola matanya malas.

"Heh dikit." Cengir Gus adnan.

Asna melotot melempari Gus Adnan bantal miliknya berkali-kali, "Dasar, nyesel aku belain bangunin kamu. Udah terserah kamu mau apa aku mau pergi." Ujarnya mendengus kesal, dengan wajah tertekuk lesu.

Ia beranjak dari tempatnya. Sebelum sedetik kemudian Gus Adnan menarik lengannya hingga Asna jatuh ke pelukannya. Asna terkejut bukan main, ia terperangah. Asna memandang wajah suaminya dan ia kaget melihat Gus Adnan hanya memakai kaos dalam.

"Ahhhh!" Jerit Asna lari mundur dan menutupi matanya. "Itu Adnan baju kamu kemana? Kok cuma pakai boxer sama kaos dalam sih. Ishh. Aku jadinya liat kan kamu mah pakai baju sana." Cerocos Asna.

Gus Adnan geleng kepala menahan ketawa sedari tadi, "kan kita udah sah. Asna cantik!" Kekehnya geli. Asna menepuk jidatnya bisa-bisanya dia yang sudah nikah lumayan lama bahkan sudah mau setahun, sering lupa dengan statusnya.

"Apasih. Udah wudhu Ayuk?" Asna mengelak dengan gelagatnya yang salah tingkah membuat Gus Adnan gemas. Ia melepas dekapannya lalu mengelus puncak kepala Asna dengan senyum hingga deretan gigi putihnya yang rapi terlihat oleh istrinya.

"Jangan pernah lelah sabar ngadepin aku yah istriku, Asna Alfiyah."

  Jantung Asna memburu, rasanya oksigen berhenti memasok udara untuknya bernafas. Ia tidak pernah merasa sebegini gugupnya. Asna mematung tidak tahu harus berbuat dan menjawab apa. Gus Adnan beranjak dari tempatnya, membuat Asna menepuk pipinya agar sadar. Ia tidak boleh terlihat gampang dirayu didepan laki-laki labil seperti Gus Adnan. Bisa-bisa Gus Adnan meremehkannya nanti.

"Yaudah aku siapin sarung sama bajunya yah,Bentar. Kamu mandi sama wudhu dulu aja." Ujar Asna sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

Cup.

Asna seperti bongkahan es batu yang meleleh, seluruh pertahanannya runtuh luluh lantah. Gus Adnan mengecup hangat keningnya membungkam rasa kalut dihatinya. Ia menahan gejolak deg-degan di dalam benaknya. Pipinya merah merekah seperti kepiting rebus. Asna menatap ke arah Gus Adnan yang berjalan gontai ke arah kamar mandi tanpa rasa dosa atau bersalah membuat jantung Asna hampir merosot.

"Ishh.."

"Kalau suka bilang aja jangan ditahan sampai pipinya merah gitu. Canda pipi." Goda Gus Adnan membuat Asna   langsung menatap ke arah Kaca. Asna mendelik dan mengusap pipinya spontan. Ia malu bukan main ketahuan kalau Gus Adnan berhasil membuatnya tersipu.

"Dasar!!"

-------------

   Diki dan Haris dihukum bersih bersih halaman belakang asrama santri putra. Setidaknya tiada hari tanpa takziran bagi mereka. Mungkin masih hitungan bulan mereka di pondok, tapi ketenaran mereka sudah tidak diragukan diseluruh Antero pondok. Bukan karena hafidz atau qori' mereka terkenal jalur kenakalan yang tidak berujung. Bahkan nampaknya mereka mulai melupakan kuliahnya yang dibilang tinggal mengelarkan skripsi. Angin yang berulang kali meniup dedaunan gugur di halaman pondok membuat Diki harus berulang kali menyapu. Ia kesal bukan main melihat Haris hanya menyiram tanaman pondok.

"Anjir, angin kalo keliatan gue Gibeng lu. Baru ge disapu terbang muluk dih ah. Capek gua." Umpatnya melempar sapu lidi itu ke arah Haris. Dan nampak Haris nyengir kesakitan.

"Sakit pe'a."

"Lagian elu yah Malih. Lu yang godain Mecca gua yang kena takziran." Geram Diki mendengus kesal.

"Kan kita sohib ya gak?"

"Najis Mugholadhoh!" Gertak Diki.

  Kali ini Haris terdiam, tercengang mendengarnya. Ia menepuk telinganya berulang kali. Sesekali menggoyangkan kepalanya dengan mata masih mendelik. Diki yang menyadari kelakuan aneh Haris meringis ketakutan. Ia mundur sejengkal dari posisi tadi.

"Elu kenapa Bambang? Kesurupan lu?  Ayan lu? Wah ngeri gua anjim."

Tiba-tiba Sebuah tamparan mendarat di pipi Diki spontan. Ia mengusap pipinya kesakitan, sembari menaikkan alis tak paham.

"Eh lama-lama gue Gibeng lu yah."

"Lagian elu enak aja gua kesurupan. Apalagi Ayan. Biji mata lu soak!" Teriaknya pas ditelinga Diki.

"Lah kenapa kek orang kejang-kejang tadi? Gue pikir lu mau mokat? Kan entar dikira gue bunuh lu lagi."

"Ish. Anjir lu yah. Lu tuh tumbenan bilang najis mugholadhoh? Ngaji lu lancar bet romannya sekarang yah."

Diki menutup mulutnya, menyadari ucapannya beberapa menit yang lalu. Ia terkesima dengan progres dirinya sendiri. "Eh iyayah kenapa gue baru sadar. Bentar lagi jadi ustadz gue anjir hebat juga." Ujarnya kembali.

Haris menepuk kepala Diki, "ustadz nenek lu kayang. Yang ada jamaahnya lu ajak dugem Malih."

"Hushh, masa lalu itu sekarang gua mah kalem kek si Agus."

"Ish gua mah kagak mau kek Agus. Kalem kalem bangke." Ujar Haris asal nyeplos.

"Eh bytheway anyway busway itu gimana ceritanya kok sekarang mbak Ashila udah dipulangkan?" Diki duduk diselasar dekat halaman diikuti Haris.

"Gue denger-denger gara-gara kak Syifa rebut pacar dia. Emang kak Syifa sejahat itu apa? Gak ngotak apa gila kali tuh orang." Sahut Haris geleng-geleng kepala.

Diki menghela nafas berat, "Tapi gue juga kalo jadi Mbak Ashila demen juga Ama si Agus pembawaannya adem gitu kek kulkas dua pintu." Jabarnya kembali membuat Haris melongo.

"Anjir!"

Haris seketika berdiri dan tubuhnya bergidik geli. "Jangan-jangan makanya lu jomblo lu gak lurus yah. Lu homo yah. Najis gua dijadiin pacar Ama lu Malih." Ujar Haris

"Eh, nggak gitu enak aja. Masih waras lah gua. Lagian kalau gue belok juga milih-milih kali yang bening kagak burem kek lu. Canda burem."

Pletak!

"Sakit anjir!" Ujar Diki kembali saat kepalanya dilempar sandal. "Elu kalau mau berantem bilang aba-aba. Jangan nyuri start gini!"

"Apaan orang sandal gua masih gua pake juga!" Ujar Haris bingung.

"Lah terus ini punya siapa?"

"PUNYA SAYA!"

"Mampus skakmat!"

--------------

Assalamualaikum readers.

  Selamat membaca lagi yah. Alhamdulillah udah sehat kembali. Maaf selalu buat kalian nunggu. Semoga tetap suka dan jangan lupa tinggalkan jejak.

Regards
Rafzyanrm
Bekasi, 23 Januari 2021

Jodoh Dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang