CHAPTER 39

1.4K 86 11
                                    

" Ternyata kesalahanku cuma satu, yaitu menaruh kepercayaan padamu."

-rafzyanrm-

---------------

Pagi ini, asap terlihat mengepul bukan dari deru motor tua milik abdi ndalem. Juga bukan dari runtuhan daun dan ranting kering yang dibakar oleh umi, yang biasa terlihat diujung taman di pagi buta. Matahari masih malu-malu menyingsing, dengan sisa embun yang menempel dibeberapa kusen rumah. Asap itu beraroma sedap sebab berasal dari kopi hitam dengan satu setengah sendok gula kesukaan Gus Adnan. Asna mengaduk pelan secangkir kopi itu dengan senyum tipis disudut bibirnya.

"Ehem."

"Uhuk.. uhuk..uhuk"

Asna yang sedang menyicip sesendok kopi itu lantas tersedak. Membuat orang dibelakangnya kelabakan, menepuk pundak Asna pelan. Asna menghela nafas dan memastikan semuanya baik-baik saja. Lalu menengok ke arah tersangka. Benar saja, sudah ada Gus Adnan yang berdiri menatapnya dengan nyengir tanpa rasa bersalah.

Asna menepuk pundak Gus Adnan kesal bukan main, "dasar bocah!!" Tukas Asna.

Gus Adnan mengindahkan perkataan istrinya padahal sedang naik pitam. Kedua bola matanya teralihkan oleh aroma dari secangkir kopi yang amat menusuk hidungnya. Gus Adnan mengacak jilbab instan Asna, dan mengambil kopi itu dari tangan istrinya.

"Terimakasih sayang kopinya." Sembari duduk di kursi dekat dapur dan menyeruput pelan kopi buatan istrinya.

"Ckkk.. tidak sopan!" Ujar Asna yang lalu disambut gelakan tawa suaminya.

"Enak kok sayang. Gede ambek sih istri aku." Ujarnya membuat Asna menjadi seperti kepiting rebus merah malu.

"Ehm.. sayang?" Tiba-tiba saja Asna sudah jongkok depan Gus Adnan sembari memasang muka memelas.

"Bangun Sayang. Jangan gitu ih."

Asna si pala batu bersikeras untuk mempertahankan posisi pw-nya. "Kak Syifa Minggu depan balik.dia libur."

"Uhukkk"

Gus Adnan menepuk dadanya pelan mendengar kata yang terlontar dari istrinya. Sudah hampir setengah taun ia berjuang melupakan gadis itu. Berusaha membuka mata untuk menerima Asna yang jauh dari wanita idamannya, dulu. Gus Adnan bukan tidak move on, tidak. Tapi melupakan hal yang pernah didambakan tidak semudah membalik tangan bukan? Ia benar tidak siap bertemu Syifa. Berkumpul bercengkrama dengannya hanya akan membuat luka atau bahkan masalah baru. Gus Adnan menghela nafas berat, diiringi tatapan penuh tanya dari Asna yang sedari tadi berada tepat di depan iris matanya.

"Kamu gapapa kan? Aku bakal ngajak kamu balik ke rumah Minggu depan.ikut yah?"

Gus Adnan menelan salivanya kasar, berusaha tetap tenang padahal hatinya urakan. Tampak mata istrinya berbinar, wajar saja karena semenjak di pondok Asna tidak pernah bertemu orangtuanya. Gus Adnan juga tidak sampai hati menolak permintaan itu. Tapi ia takut harapan itu ada, ia hanya manusia biasa.

"Aku ada seminar sayang." Ucapnya sebagai alibi.

"Kita dirumah aku cuma dua hari doang. Sedangkan kamu dengan dunia kamu bisa sebegitu lamanya. Kamu tetep ga bisa?" Ujar Asna menaikan alisnya berat.

Gus Adnan kelabakan, "oke, iya sayang. Entar kita pulang yah." Sahutnya sambil mencium kening istrinya hangat.

Asna mendelik senang bukan kepalang. Terlepas dari urusannya yang pernah berseteru dengan kak Syifa. Ia tidak bisa memungkiri, ia rindu saudara satu-satunya itu. Tempat biasanya dia mencurahkan semua hal bahkan tanpa kecuali. Asna berdiri dan loncat-loncat seperti bocah 8 tahun baru saja mendapat balon.

Jodoh Dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang