CHAPTER 7

8K 417 6
                                    

" yang serius akan memperjuangkan, bukan cuma membicarakan, akan membuktikan bukan hanya menjanjikan, akan menunaikan bukan cuma memberi harapan."

--------

  Gus Adnan, pria Ar-rahman itu kini sedang duduk menatap wajah teduh Asna tanpa berkedip. Gadis berwajah oval perpaduan hidung yang mancung dan bulu mata lentik, ah mungkin saja malaikat ingin menggantikan posisi Adnan sekarang. Menjadi seorang suami dari bidadari tak bersayap yang baru ia kenal beberapa hari yang lalu, ia dengan kelabilannya mewarnai hari Gus Adnan.

    Disebuah sofa panjang yang sengaja diletakkan disudut kamar milik Asna, biasanya sebelum menikah Asna menggunakan sofa itu untuk mager-mageran atau sekedar main PS sebab didepannya terdapat layar Televisi datar. Semenjak ada Adnan ia canggung untuk bersikap seperti biasanya Asna. Apalagi Gus Adnan tampak seperti jalan tol yang fikirannya lurus monoton tak bervariasi. Astaghfirullah, Asna tidak boleh membicarakan keburukan suaminya sendiri. Tapi memang benar itu kenyataan yang tak bisa dielak bahkan saat diajak bercanda kadang jadi aneh. Seperti ada tembok pembatas yang tinggi menjulang diantara mereka tapi tak terlihat. Entah, mungkin karena Asna belum bisa menerima sepenuhnya kehadiran Gus Adnan.

   Asna menghentikkan aktivitas mengetik skripsinya yang tinggal diujung tanduk. Ia merasa bola mata itu masih menatap air mukanya sejak ia mulai menulis bab 5 -- sekitar satu jam yang lalu. Asna jengah dan risih, ia menutup laptopnya lalu berbalik menatap seperti menantang. Alisnya naik sepenggalah membuat siapapun bergidik ngeri jika melihat raut muka Asna, tapi tidak dengan Adnan  yang tiba-tiba mencubit pipi Asna berulang kali. Membuat matanya menyipit tenggelam dimakan pipi yang menurut Asna semakin bulat tak karuan.

"Ish.. adnan aku tuh mau ngetik."

"Iya, siapa bilang kamu lagi masak? Eh, kamu ngga bisa masak ding." Ejek Gus Adnan.

Asna melotot tak terima, lalu menepuk pundak Adnan yang masih sibuk tertawa terpingkal-pingkal. "Nyebelin,dih."

"Jangan cemberut nanti aku peluk nih?"

"Udah ah, deadline nih ya??"

Adnan mengambil paksa laptop yang berada dipangkuan Asna tanpa aba-aba membuat Asna sontak kaget terlonjak, ia berusaha menggapai laptopnya kembali. Entah apa yang ingin dilakukan oleh Adnan tapi pria berpeci dengan koko hitam itu membuka laptop milik Asna sembari membaca buku referensi yang istrinya pinjam di perpustakaan kampus sore tadi. Adnan diam tak berkutik seperti sebuah patung, Asna berusaha menarik laptop itu. Tapi, punggung tangannya selalu ditepuk saat memeggang laptop pemberian Abi beberapa tahun yang lalu. Pria itu kemudian mengetik sesuatu.

"Emang kamu tau?"

"Aku udah pernah skripsi. Biar kamu nggak capek, kamu yang baca nanti aku yang ketik dan rangkum." Tegas Adnan

"Beneran? Ngga ngerepotin gitu?" Tanya Asna sembari dahinya berkerut tak percaya Gus Adnan mau meluangkan waktunya untuk membantu lnya.

Gus Adnan mengacak rambut Asna yang tergerai, memang semenjak menikah dengan pria Ar-rahman itu. Asna memutuskan hijrah dan lebih istiqomah berhijab, hanya dihadapan suaminya Asna berani terang-terangan memamerkan rambut hitam legamnya. Asna membenarkan tatanan rambutnya dan memajukan bibir beberapa senti.

"Mana ada sih, istri ngerepotin suami? Emang tiap hari kamu belajar masak, buatin kopi dan kamu ngerasa direpotin?" Kini, Adnan mengetik sambil berbalik tanya.

"Enggak dong. Emang itu tugasnya istri kan ya? Malah aku seneng bisa bantu kamu,"

"Ngga perlu dijawabkan, kamu udah tau jawabannya. Aku juga gitu." Ucapan itu terdengar lurus lempeng mujur tanpa ada nada apapun -- robot.

"Hmm.. hmm... hmm" gumam Asna gemas.

"Killakhadir ard.. Mataqfi masahah.."

Asna menyadari sesuatu, suaminya bernyanyi. Suara itu tampak lebih indah dan merdu dari yang biasanya tertangkap oleh gendang telinga Asna. Ia terkekeh geli. "Kok malah nyanyi?"

"Lah itu kamu hmm hmm tadi nyanyi kan?"

Asna mencubit lengan Gus Adnan kecil, ia tak bisa menahan rasa geli yang menggelitiki seisi perutnya. "Bukan atuh, kamu mah lucu."

"Suka?"

"Hah, suka apa?" Asna makin tak mengerti dan menyipitkan matanya pertanda bingung.

"Suka kamu. Ya Habibal qalbi 😘" bisik Gus Adnan membuat Asna diam mematung beberapa detik dengan wajah merah padam seperti kepiting rebus dan ia masih berusaha mencerna kalimat yang terlontar dari Gus Adnan.

"Sama."

"Yah, balas dong." Rengek Gus Adnan dengan mimik wajah lucu.

"Nabi muhammad diperintah untuk iqra', iqra' artinya bacalah bukan balaslah." Alibi Asna sembari membolak-balik halaman buku yang berisi materi yang ia butuhkan. Gus Adnan diam dan kembali mengetik beberapa kata yang tersisa.

Asna duduk, melirik Gus Adnan yang tampak serius mengetik tanpa menggubris Asna. Ia bersyukur, jodoh yang Allah datangkan jauh diluar ekspektasinya. Diluar ketidak sinkronan jalan fikiran mereka, toh Gus Adnan adalah pria nyaris sempurna.

"Udah, biar aku aja. Katanya kamu mau ngurus berkas keperluan pondok?" Tanya Asna dengan terus meronta, bukan tak mau. Ia hanya merasa masih punya kedua tangan yang mampu untuk mengetik itu sendiri, itu saja. Tapi pria itu terlampau keras kepala.

"Bacain yang paragraf ini, nanti saya salin." Titah Adnan membuat Asna kembali bungkam.

"Kenapa, kamu mau capek -capek bantu saya?"

Adnan berhenti mengetik, ia tersenyum tipis. Digapainya kedua tangan Asna erat menyatu bersama tangannya seperti sebuah potongan puzzle yang menyatu. Desir hangat menjalar diseluruh alirandarah, "Berbuat baiklah pada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka sikapilah para wanita dengan baik." Ujar Gus Adnan. "HR. Al-Bukhari"

Asna tertegun, menelan salivanya kasar. Ia menahan ucapan yang kelu di ujung lidah. Tatapan mereka bertemu disatu titik dalam kisaran detik. Iris mata Asna mengembun, sesekali ia mengerjapkan mata agar cairan bening itu tak bisa lolos dari pantauannya. Setetes, dua tetes, air matanya meluncur hangat bersama isakan yang terhenti dikerongkongan.

"Loh kok nangis, iya nanti kamu yang ngetik tapi berhenti dong nangisnya." Ujar Adnan kelabakan.

"Gak kok, aku cuma ngerasa aku terlalu hina untuk dapat jodoh seperti kamu. Kita seperti langit dan bumi."

"Nggak ada yang hina atau salah. Semua sudah tertulis di lauhul mahfudz. Kita akan melengkapi satu sama lain."

"Masyaa Allah"

Ruang dan waktu hanya masalah angka saja, tapi hati tak bisa bohongi semuanya bahwa cinta hadir tak terduga.

💐💐💐💐💐

Yeayyy... publish walau agak lama off ya. Maaf jika agak alay atau lebay atau naif dan blaa blaa blaa karena aku masih kecil ngga bisa nulis romantis ye.. semoga mau tetap menunggu.

Lihat di media ya.. itu ada kak ahmad zam zam sama kak kayla. Anggap aja itu acara nikahnya Asna sama Gus Adnan wkwkwk 😍😍

~jazakumullah katsiran~

Jodoh Dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang