CHAPTER 1

16.5K 570 15
                                    

     " perempuan itu selalu mengedepankan perasaan, jangan kamu biarkan ia hanyut didalamnya. Halalkan atau tinggalkan?"

-----

Semalaman suntuk, Asna Alfiyah tidak terlelap sedetik pun. Ia terjaga oleh fikirannya yang kalut tak berujung. Rasanya ingin sekali membogem kepalanya sendiri, jika ia sudah benar-benar mati rasa. Asna kembali merutuki dirinya sendiri yang dengan gampang mengiyakan permintaan Abi. konsekuennya sekarang harus mengenakan kacamata hitam untuk pergi ngampus. Sebab menangis dan begadang saat tahajud tadi malam, kantung matanya beranak dan menghitam legam.

     Tadi saat sepertiga malam ia menunaikan shalat tahajud, sengaja ia khususkan untuk curhat kepada yang punya hidup-- Rabbnya yang Maha mengetahui. Asna sesenggukan dalam kamar diatas sajadah yang ia gelar didepan lemari baju miliknya. Saat semua terlelap ia mulai menyapa Allah, bercengkrama sebagai seorang hamba yang butuh perlindungan. Rasanya damai dalam hati walau ia belum bisa benar-benar menyelesaikan masalahanya. Di kursi panjang taman, gadis berkaos biru dan celana jeans dan rambut tergerai itu melamun seakan waktu menyeretnya kembali saat kata-kata itu muncul dari bibirnya tanpa fikir panjang.

"Assalamualaikum abi,, umi." Ujar Asna menyalami kedua orang tuanya yang sudah duduk diruang tamu seperti sudah menunggu kepulangannya.

Abi menahan lengan Asna, "sini duduk dulu sebelah umi. Soalnya Abi mau bicara serius." Pinta Abi.

Asna seperti terhipnotis, tanpa sadar ia sudah duduk diantara Abi dan Uminya. Ia tak mengerti tak biasanya Abi berbicara lurus dan menyeramkan. Asna yang biasanya cengengesan makin terpaku dibuatnya. Bahkan, Asna belum berani berkedip memandang Abi karena takut kedipan matanya malah salah diartikan oleh orang tuanya. Asna menyapu seluruh ruangan, ia sedang mencari sesuatu lebih tepatnya seseorang yang bisa dimintai bantuan saat ia disemprot orang tuanya. Ia sedang mencari kak Syifa. Batang hidungnya pun tak kunjung didapati oleh Asna. Dan, pandangannya buyar saat Abi memergokinya.

"Cari siapa kamu, Asna?" Tanya Abi tegas.

"Ehm,, nggak kok bi." Asna hanya nyengir kucing.

Ummi mengelus pundak putri bungsunya lembut, "nak, Abi kamu mau ngomong serius jadi jangan bercanda dulu ya?" Pernyataan Ummi membungkam bibir Asna yang tadinya ingin angkat bicara.

"Jadi gini Asna, besok sore kita akan kedatangan tamu spesial.."

"Pakek telur dua, dikaretin, jangan pedas iya kan?" Potongnya membuat Abi dan ummi geleng kepala.

Ummi mengedipkan mata, mengisyaratkan agar Asna tidak memotong pembicaraan Abi. Salahkan saja mulutnya, jangan orangnya. Ia hanya menggunakan mulutnya sesuai fungsinya, untuk berbicara bukan untuk melihat. Asna kembali tertunduk lesu, ia tampak pasrah.

"Abi mau kamu taaruf sama Anak Ustadz Zaki, temennya Abi." Ujar Abi, " Dulu kakak kamu pernah mondok di pondok pesantren milik ustadz Zaki dua tahun." Lanjutnya.

"Anak ustadz Zaki kan bejibun Abi."

Ummi menutup mulut Asna dengan tangan, "Hush, bicaranya dijaga."

Asna terkekeh, "maaf umi, maksud Asna ini anak ustadz zaki yang mana?" Tukasnya.

"Namanya, Ahmad Adnan Khaidar. Kisaran empat tahun diatasmu, usianya kalo nggak salah 25 tahun. Tapi, dia sudah lulus dari universitas kairo jurusan ilmu manajemen dan sekarang sedang mengurus pondok Abinya."

"Profil yang bagus, nggak tau orangnya yah...?" Ceplos Asna tanpa dosa.

"Asna.. Abi mohon kamu mulai menjaga iffah,izzah,marruwahmu sebagai wanita."

"Iya, Abi."

   Sesaat setelah Asna masuk ke kamar tiba-tiba ada yang menggedor pintu kamarnya. Satu-satunya orang yang tidak main nyelonong ke kamarnya hanya kak Syifa. Ia seperti mengucap salam walau samar-samar terdengar. Asna yang sudah berkutat dengan novel hanya menjawab salam tanpa berniat keluar atau membukakan pintu. Itu akan membuat agenda baca membacanya terhambat. Benar saja, sepersekian detik kemudian seorang gadis bergamis coklat dan khimar panjang masuk dan tertawa riang. Kak syifa memeluk Asna tanpa aba-aba lalu mengucap istighfar. Sulit dicerna oleh fikiran Asna yang loading lama.

"Ada apa sih kak? Kok kayak orang mabuk gitu? Kakak make narkoba ya!" Selidik Asna asal.

Sekejap raut Kak syifa berubah, " eh, enak aja. Nggak lah na.. kakak seneng aja. Tadi ketemu Gus Adnan dijalan setelah lama gak ketemu." Ujarnya menyiratkan perasaan suka.

"Eh,buat apa dia ke bandung ya? Bukannya dia tinggal di malang ngurus pondok.kamu tahu nggak disetiap sujud kakak, selalu kakak memohon agar Allah menjodohkan kami." Cerocosan Kak Syifa malah membuat Asna meringis bersalah.

"Kok diem sih, na?"

Asna kaget, "eh iya kak, amin amin."

"Semoga Allah meridoi doaku dan semoga doaku dan doanya sama."

   Bersamaan dengan itu Asna meneguk saliva dan meringkuk dengan alasan ngantuk agar Kak syifa enyah dari pandangan. Asna takut menyakiti hati seseorang jika ia menikah dengan gus Adnan, lagipula ia adik kak syifa seharusnya kakaknya dulu yang menikah kenapa ia harus duluan?

"Asna...ASNNNAAAAA!!!" Teriak Haris dan Diki, sahabat karib Asna.

Asna melirik kesal, ia membunuh mereka dengan tatapan tajam setajam silet. "Gue gak budek Haris.. Diki.." ujar Asna gemas.

"Gue nebeng duduk, Na."

     Akhirnya bangku taman yang panjang itu berubah menjadi sempit, Asna sesak dengan dihimpit oleh mereka. Ingin rasanya ia mengumpat, tapi nasihat Abi selalu menggentayangi Asna. Sudah satu tahun lebih mereka bersahabat, sebab mereka satu kelas, satu fakultas yaitu fakultas psikologi. Asal tau saja, mereka tidak ada alasan atau tertarik dengan dunia psikolog. Yang penting kuliah menjadi motto mereka. Asna kalau boleh jujur, ia ingin masuk sastra tapi kata orang tua Asna jurusan itu sulit dapat kerjaan. Asna tidak heran karena mungkin setiap orang tua ada sisi kolotnya. Menurutnya, ia kelewat penurut bahkan Kak syifa yang seperti itu saja pernah kabur dari pondok.

      Asna mencolek pundak Haris, ia membisikkan sesuatu didekat daun telinga cowok berrambut klimis tersebut. Ia tahu pasti respon laki-laki tulang lunak ini akan berlebihan, tapi Asna tidak tau harus cerita kepada siapa lagi. Mata Haris melotot tajam hampir saja ia berteriak tak jelas sebelum Asna menginjak kakinya.

"Aduh... sakit bego." Umpat Haris.

"Nggak perlu ngegas juga kali."

"Astajim. Lu parah!" Teriak Diki tak percaya. "Lu mau nikah muda? Gue pacarin juga ntar anak lu." Ujarnya.

"Otaknya gue sleding nih si diki.." tukas Asna, "dan maaf gue mau ninggalin kalian." Lanjutnya.

"Ya Allah na.. jangan qoit dulu napa? Lu utang sama gue na. Eling eling."

Asna menoyor Haris, "Eh sableng, belum selesai. Main mati. Mati aja!"

"Jadi gue mau hijrah, gue mau berhijab karena gue akan jadi istri seorang gus."

"Gus? Gus tukang cukur langganan lo Dik. Si Asna mau aja jadi bini keenam Banh Gus komplek rumah lo. Haha" sahut Haris terpingkal.

"Enak aja. Ini itu Gus, anak ustadz. Pokoknya gue minta maaf dan doain semoga gue bisa jadi sholehah,amin."

Asna merogoh sebuah syal di dalam tasnya, ia meletakkan itu diatas kepala sebagai penutup rambut. Hijrah Asna akan dimulai, semoga berbuah manis. Semanis bon cabe level 30 kesukaan Abi kalau lagi dikerjain Asna.

💐💐💐💐

Alhamdulillah, lagi nyoba religi humor.
Semoga suka. Keep voment. Keep Hamasah kawan :-D

~Jazakumullah katsiran~

Jodoh Dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang