CHAPTER 4

7.8K 529 6
                                    

Asna dilarikan ke rumah sakit terdekat yang berjarak sekitar 3km dari rumahnya. Rumah sakit kasih bunda, ia masuk ke ruang UGD dengan mulut yang dibantu oksigen dan suntikan jarum ditangannya. Umi sudah memberi kabar kepada suaminya, dan Abi marah besar kepada Kak syifa. Berkilah bahwa Kak syifa egois dan mementingkan hatinya sendiri. Asna tak pernah menginginkan menjadi anak yang diprioritaskan, membuat hubungannya dengan Kak syifa sedikit renggang. Abi datang dengan setengah berlari ke arah Umi yang duduk termangu di kursi tunggu yang berada disamping ruangan UGD. Dari arah belakang juga ada Abah dan Nyai, juga Gus Adnan yang tampak cemas. Melihat suara derap langkah, Umi menengok dan segera memeluk Abi. Semua terasa berjalan sangat cepat, Umi tak hentinya meneteskan air mata. Ketakutan menggerayangi sebab kesehatan Kak syifa cenderung bagus daripada Asna. Dari kecil Asna rentan sakit, bahkan jika kehujanan saja ia bisa demam tinggi apalagi dia memang punya riwayat magh agak akut. Mungkin itu salah satu alasan Asna sedikit diberi perhatian lebih, tapi tetap saja Asna tidak ingin diistimewakan. Dia bukan orang penyakitan yang harus dikasihani.

"Bi.. syifa kabur.. dan Asna sakit." Ujar umi dengan wajah pucat pasi.

"Syifa.. syifa.. egois sekali dia."

"Abi.. jangan salahin Syifa terus. Dia juga anak kita, dia pergi juga karena Abi nggak mengerti perasaannya." Tukas Umi.

"Abi itu pertimbangin semuanya. Dan Abi rasa ini yang terbaik. Harusnya Stifa bisa kontrol emosinya." Alibi Abi.

Dari arah pintu, nampak seseorang berjas putih menatap ke arah kegaduhan lalu ia mendekati keluarga tersebut. Dokter itu sudah mengizinkan keluarga untuk menjenguk asalkan tidak menciptakan kerusuhan yang menggangu sikologis pasien. Mereka masuk, menatap nanar Asna dengan tubuh dipenuhi selang dan alat bantu pernafasan. Gus Adnan mendekat ke arah Asna, ia tersenyum tipis melihat Asna yang pucat pasi dengan jilbab abu-abu yang menutupi kepalanya.

"Tenang saja bu. Jika pasien sudah lebih baik, besok sudah boleh pulang. Tapi, usahakan jangan sampai pasien memikirkan sesuatu yang berat apalagi sampai stress. Saya permisi dulu."

"Oh iya baik, dok." Ujar Abi.

Matanya masih terpejam, bulu mata lentik itu sayu-sayu terangkat dengan kelopak matanya yang agak menghitam. Tatapannya masih belum jelas dan samar, ia mengerjapkan kembali. matanya. Banyak objek yang didapat oleh iris matanya, ada sosok asing yang tak dikenali oleh memorinya. Matanya mulai terbuka lebar dan melempar senyum ke arah orang tuanya. Sorot mata kesedihan Umi membuat Asna teringat kakaknya, seakan komedi putar memori tadi siang diputar runtut. Semua seakan cepat terjadi. Asna menggengam erat tangan Umi dengan tatapan nanar.

"Kak syifa mana,mi?" Tanya Asna.

Umi mencium punggung tangan anaknya dan mendekapnya, "sudah, kak Syifa sudah memilih jalan hidupnya. Ini bukan salah kamu. Jangan difikirkan!" Ujar Umi.

Asna meringis, mengedarkan pandangan ke arah lain. Ia menatap ragu sosok laki-laki dengan mata teduh yang sedari tadi menunduk, "ini siapa, umi?"

"Afwan, saya adnan. Ahmad Adnan Khaidar."

"Salam kenal, Gus." Ujar Asna sembari menahan rasa sakit yang menjalar ditubuhnya.

"Saya bukan agus, jadi panggil saja Adnan." Timpalnya seakan membuat lelucon dengan muka datar.

"Ah iya, gus.. eh adnan" ujar Asna terkekeh geli.

Adnan berbalik menatap Abi dan dalam satu helaan nafas Adnan membuka bibirnya, "Om, tante saya ingin menyampaikan sesuatu disini. Saya takut menundanya. Saya mencintai anak om." Ujar Adnan, "saya ingin mengkhitbah Asna."

Asna tercekat, anak ini benar-benar nekad. Bahkan belum lima menit mereka kenal tiba-tiba ia bicara ingin melamar. Rencana awal mereka hanya ta'aruf dan tidak lebih juga kurang, Asna hanya terpaku tak memiliki jawaban. Lidahnya terasa kelu. Apalagi yang ia inginkan saat dilamar adalah menjadi puteri sehari dengan dirias dan meriah. Tapi kenyataan menyeretnya untuk sadar bahwa ia dilamar oleh laki-laki tak dikenal di rumah sakit. Asna masih sibuk dengan khayalannya.

"Asna..??"

"Eh iya, ada apa?" Sahut Asna kaget.

"Kamu mau menerima khitbahan Adnan? Dia melamar kamu." Ujar Abi.

Asna lagi-lagi diam mematung, ia menimang matang. Ia takut salah langkah, menikah bukan urusan semudah suka atau cinta atau bosan menjadi jomblo dalam kurun waktu yang lama. Ini bukan mainan dan jawabannya adalah penentu kebahagiaannya sendiri. Asna melirik ke arah Gus Adnan dan pandangan mereka bertemu, sedetik, dua detik dan Gus Adnan menunduk lalu mengucap istighfar dengan mimik wajah ketakutan seperti bertemu syaitan. Asna menahan tawa, ia menghela nafas panjang. Umi mengoyak tubuhnya, tanda bahwa mereka menunggu.

"Ehm.." gumamnya.

Semua mata menatap ke arah Asna, ia sedang ia gusar di tempat ranjangnya. "Hmm.. bismillah dengan nama Allah saya terima khitbahan Gus Adnan."

"Barakallah .." ucap semuanya penuh kegembiraan, seakan ini hal terbaik yang pernah mereka dengar. Dan, tanpa Asna sadari Gus Adnan yang semula menahan nafas sekarang tersenyum lebar tanpa beban sesekali ia menatap ke arah Asna tanpa memandang wajahnya. Gus Adnan mengucap syukur dalam hati.

"mari kita tentukan tanggal pernikahannya?" Ucap Abi tersenyum lebar.

"Lusa."

Suara itu membuat Asna melotot tajam, rencana itu tak masuk akal. Ia bahkan belum tahu tanggal lahir, hobi, film favorit atau apapun. Bermodal tahu nama saja, ia menikah. Gila!

"Ehm.. maksudnya?" Sahut Asna pada lelaki jangkung disamping kanannya.

"Pernikahannya lusa, agar tidak ada fitnah atau zina mata maupun hati diantara kita. Saya ingin kita halal."

Semoga langkah Asna yang terbaik.

💐💐💐💐

Tinggalkan jejak ya?

Nb: itu Gus adnan lho yang ada di mulmed

~jazakumullah katsiran~

Jodoh Dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang