CHAPTER 18

5.9K 267 2
                                    

" jika kau datang hanya agar aku terkesan. Pergilah. Aku sedang malas berhubungan dengan hal-hal yang berbau harapan."

------

   sudah lebih dari 24 jam semenjak Asna berada di pondok pesantren, Gus adnan tidak kunjung angkat bicara. Ia hanya bicara seperlunya, menanyakan kabar saja tidak. Asna sebenarnya sudah gondok setengah hidup menghadapi Es balok seperti, Gus Adnan. Bahkan, sepeninggal Aldrian semua makin rumit karena Gus Adnan menjaga jarak dengan Asna. Aldrian juga hanya beritikad baik menolong itu saja, tak lebih juga tak kurang. Ya, walaupun di cemburui Gus Adnan membuat Asna sedikit senang, sebab ternyata masih ada rasa untuknya.

   Adzan subuh, baru saja berkumandang. Asna sudah mulai terbiasa bangun subuh, ia ingat perkataan Gus Adnan; ia ingin menyicil surga bersama Asna lewat subuh. Gadis itu beranjak dari kasur, melihat Gus Adnan tidak ditempatnya tak lantas membuat Asna panik. Ia tahu bahwa suaminya sedang mengambil wudhu. Asna bergegas keluar tanpa khimar. Sebab kyai zaki sedang berada diluar kota, dan hanya ada umi di ndalem. Asna mengetuk pintu kamar mandi, menemukan Gus Adnan yang basah terkena air wudhu.

"Eh, Adnan." Tegur Asna ragu.

"Aku duluan." Ujar Gus Adnan membuat Asna terlonjak dan spontan menahan suaminya, "eh, tunggu."

Asna membuat wudhu Gus Adnan batal sebab tanpa sengaja ia memeggang lengan suaminya, "maaf," ujarnya.

"Nggak apa-apa. Masih bisa wudhu lagi."

"Kamu mau ke masjid?"

"Iya. Mau jamaah sama santri." Ujarnya sambil membenarkan kopyah.

Asna menggaruk tengkuknya yang tak gatal, " tapi kata kamu, kamu ingin menyicil surga denganku lewat subuh? Apa aku sudah tidak penting lagi?" Tanya Asna polos.

Gus Adnan terhenyak, ia terdiam hampir beberapa menit. Lalu memutuskan untuk pergi meninggalkan Asna dengan sejuta pertanyaan yang bergemuruh di lubuk hatinya, " sudah mau iqamah, saya wudhu di masjid saja."

Asna melepas genggamannya, sesak menjalar diseluruh rongga dadanya. Seperti tak ada celah untuk dirinya bernafas lega, oksigen berhenti memasok asupan untuk nafasnya. Air mata mengambang dibalik pelupuk mata, hampir saja cairan bening itu luruh mengguyur pipinya. Asna menatap nanar punggung Gus Adnan yang mulai raib dibalik pintu, tersisa wangi parfum yang samar mengusik indera penciumannya.

"Asna?"

Asna terlonjak kaget, dan menemukan sosok yang sudah berdiri di depannya entah sedari kapan, " eumm,, umi?"

"Kamu, kenapa melamun di depan kamar mandi?" Tanya Umi mengelus rambut menantunya yang tergerai.

Asna makin gugup seperti semua kosa kata yang ada di fikirannya buyar sirna seketika, " ehmm.. tadi, " Ucapan Asna menggantung, mungkin lebih baik aib keluarganya tidak ia umbar. Karena sebaik-baik istri adalah pakaian untuk suami -- penutup aib suami.

"Asna, mau ngomong apa?"

"Eh, nggak um. Asna lagi pusing saja." Ujar Asna dengan menggigit bibir bawahnya, ia tak tahu bohongnya ini tetap dosa atau berpahala sebab menutupi aib.

"Nak, ketika dunia mempercundangi dan satu persatu harapan mulai menyesakkan. Maka sajadahlah tempatmu merebah pada Rabbmu."

Jodoh Dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang