" sejauh apapun jarak membelah, sebanyak apapun yang memperjuangkannya, jika Allah berkata ia takdirmu. Mereka bisa apa?"
------
Hari ini Asna bangun sangat pagi, sebelum adzan subuh. Walau ia jauh dari kata sholehah, tapi ia selalu menjaga lima waktunya. Soal rambutnya yang masih belum tertutup rapat itu karena Asna tidak mau akhlaknya jelek tapi berhijab, ia takut buka tutup hijab. Kalaupun dibandingkan dengan Kak syifa, ia tak masalah toh menurut pemikirannya Kak syifa berhijab karena ia pernah mondok itu saja.Ia sengaja tidak lanjut tidur sebab hanya di waktu remang remang fajar seperti ini, ia bisa bertemu Kak Syifa. Orang itu kelewat sibuk sebab pagi buta ia harus mengajar di madrasah ibtidaiyah dan membersihkan ruangan sebelum muridnya masuk kelas dan pulang hampir larut malam karena mengurusi berkas perusahaan Abi.Tidak ada yang meminta atau merengek untuk Kak syifa mengerjakan itu semua, sekali lagi itu kemauannnya yang kalau boleh Asna bilang dia kuker (read: kurang kerjaan).
Sudah hampir seperampat jam ia berdiri dengan kepala yang menyender di kusen pintu depan, matahari masih malu-malu menampakkan diri. Asna melirik ke arah tangannya, eh dia lupa nggak pakai jam tangan. Akhirnya, Asna berbalik dan mencari jam dinding bulat warna biru di sudut ruangan. Sudah pukul 6 pagi tapi Kak Syifa masih berkutat dalam kamar. Asna mulai gusar karena ia harus merangkai kata agar Kak Syifa tidak kecewa mendengarnya. Tiba-tiba suara deru langkah menggebu terdengar dari balik pintu, dan Kak syifa keluar setelah menyalami orang tuanya di dapur. Asna sudah tarik nafas panjang dan ia mendekati Kak syifa. Asna mencekal lengan kakak tunggalnya tersebut.
"Kak.. Asna mau ngomong dulu." Ujar Asna
Kak Syifa membenarkan pashmina miliknya, "udah bener belum sih jilbabnya? Kurang lebar ya?" Kini malah Kak syifa yang mengajukan pertanyaan beruntun.
"Nggak kok. Kalau mau lebar lagi jilbaban tuh pakai karpet masjid."
Kak syifa merengut, " apaan sih, na? Udah ah, kakak mau berangkat. Assalamualaikum." Ucapnya sembari menstater motor maticnya.
"Eh, waalaikumsalam kak." Dan gagal, Kak Syifa sudah melaju menghilang dari pandangan.
Asna menghela nafas panjang, belum sempat ia berbalik. Tubuhnya terlonjak kaget sebab sebuah jemari tangan menepuk bahunya tanpa ba bi bu. Asna mengelus dadanya, hampir saja jantungnya copot. Ia ingin mengumpat, tapi sepertinya Asna kenal bau parfum ini. Saat berbalik, benar saja sudah ada Umi yang terkekeh geli melihat anaknya merah padam. Asna merengek, ia sedikit manja jika bersama Uminya. Seperti sekarang Asna tiba-tiba memeluk Umi dan menyender dibahunya.
"Umi...??" Tukas Asna.
"Kamu lucu ih.. kaget sampai segitunya." Sahut Umi
"Ehmm,, mi. Asna mau nanya, kenapa yang dijodohin sama si Gus itu Asna bukan kak Syifa? Padahal kan tuaan juga kak syifa?" Tanya Asna polos.
"Karena kak syifa itu bisa menjaga diri, bisa memilah pergaulan. In syaa Allah tidak ada fitnah."
Asna menganga, "maksud umi, aku banyak fitnah gitu?" Tanya Asna tersinggung.
"Bukan begitu, tapi kamu itu terlalu banyak bergaul sama bukan mahrom. Suka keluyuran." Ujar Umi yang tiba-tiba dipotong Asna.
"Paling juga sama Diki,,, Haris." Protesnya.
"Ya tetep aja mereka laki-laki dan bukan mahrom kamu. Hukum nikah menjadi wajib kalau orang itu ditakutkan berbuat maksiat kalau tidak segera dinikahkan." Alibi Umi.
"Tapi umi,,,"
"Asna sayang, kamu sudah besar. Belajarlah menerima apa yang sudah Allah gariskan untuknu, percayalah tidak ada rencana yang lebih baik dari skenario Allah, sayang..." lanjut Umi mengelus rambut Asna.
Asna masih tertunduk lesu, "umi, Tapi ini nggak bisa dilanjutkan. Kak Syifa,,"
"Kenapa, kakakmu?" Potong umi.
"Euum.."
Mereka terdiam, saat ada kurir mengetuk pintu. Di tangannya ada sebuah tas belanja, Asna tidak ingat jika ia sudah memesan barang lewat online shop. Kurir itu masih berdiri di ambang pintu, sedang Asna masih sibuk mematung. Semenit kemudian, Kurir itu kembali mengucap salam. Membuyarkan seluruh pertanyaan yang ada dibenak Asna.
"Eh iya, pak. Tapi saya nggak pesen apa-apa?mungkin salah alamat. Si bapak ini kek ayu ting ting aja." Canda Asna.
"Enggak mbak. Ini ada paket mohon diterima. Ini ditanda tangani dulu mbak notanya."
Asna menandatangani, ia mengambil tas tersebut yang lumayan berat saat ditenteng. "Terima kasih pak."
"Saya pamit mbak.. Assalamualaikum."
"Iya ya, waalaikumsalam" Ucap Asna dengan pandangan menyekidik ke arah secarik kertas yang digantungkan diatasnya.
Assalamualaikum wr.wb
Teruntuk, calon makmumku ; Asna Alfiyah binti Ramadhan, ini aku berikan gamis. Semoga engkau suka dan Allah pun menyukainya. Kurang lebihnya, aku mohon maaf kalau salah kata. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
-Dari calon imammu---
Wassalamualaikum wr.wb.
Asna tertawa terpingkal-pingkal saat membacanya, ia bahkan sengaja mengulangnya berkali-kali. Surat ini dibuat Gus Adnan? Bercanda, ini kaku sekali seperti robot yang membuatnya. Lebih mirip pidato tujuh belasan menurut Asna. Ini yang Kak Syifa suka? Pasti wajahnya lebih suram dari Diki yang diambang kehancuran. Tiba-tiba umi mengambil secarik kertas itu, dan tawa pun pecah tak terelakan.
"Masya Allah, Adnan,, Adnan. Kamu kaku sekali, lucu." Ujar Umi. "Cobain gamisnya, na. Nanti pokokna mah harus dipakai waktu mereka datang."
"Asna riweuh kalau pakai gitu mi."
"Entar Kak syifa yang dandanin biar keliatan sisi feminimnya." Ujar Umi meledek Asna. Tapi kini, Asna kembali ingat akan seberapa hancurnya hati Kak Syifa jika mendandani adiknya untuk bertaaruf dengan seseorang yang dia suka. Pasti sakit. Asna merogoh ponsel dan mengetikkan pesan pada Kak syifa.
Asna: kak aku nanti mau ada acara dirumah. Ada Gus adnan. Aku mau minta maaf untuk semuanya.
Sent.
Asna meneguk salivanya sarkas. Ia ragu jika harus menyampaikannya lewat whatsapp, tidak etis. Asna menimang dengan jari ia letakkan di dagu. Jika Kak syifa kepikiran terus ada sesuatu yang tidak diinginkan dijalan bisa kecelakaan atau malah bunuh diri di jembatan. Aish, berat. Asna pun membuka kembali menu ponsel dengan mengetikkan sandi, ia sengaja meng-lock semua aplikasi sebab dirumahnya kerap ada penyadap. Asna pun menghapus pesannya, beruntung Kak syifa belum membuka pesan darinya. Pasti pesan miliknya tertimbun oleh pesan dari grup guru dan grup kolega-kolega Abi yang menanam saham di perusahaan properti milik Abi. Asna mengedarkan pandangan, ia tidak menemukan uminya. Tiba-tiba Umi keluar dari kamar utama dengan menenteng dompet, bergamis abu-abu dan jilbab segi empat motif bunga kesukaan umi karena dibelikan Abi. Umi menyeret lengan Asna untuk beranjak dari sofa kursi depan, ia sontak kaget dan menyergah tangan umi.
"Eh,, eh,, mau kemana mi?" Tanya Asna bingung.
"Udah, ayo ikut umi ke pasar."
"Hah,pasar? Mau ngapain?" Kini, seluruh pertanyaan dibenak Asna menumpuk bergentayangan.
"Mau beli belanjaan. Ajarin kamu masak yang enak.. udah ayo ikut aja." Dan Umi menggandeng Asna yang pasrah tanpa mengajukan pertanyaan lagi.
💐💐💐💐💐💐
Sengaja konfliknya masih sebiji jagung dulu, ntar kalau udah pertengahan cerita baru deh campur aduk. Afwan, kalau kurang bagus masih belajar.
Nb: yg dimulmed itu kak syifa
~jazakumullah katsiran~
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Dalam Doa
Spiritual(SEBELUM BACA BUDAYAKAN FOLLOW DULU YAH, HAPPY READING) Rank: #2 ikhwan #3 religi #1 nikahmuda #1 perjodohan #1 islami #3 spiritual #69 fiction Semoga Doaku dan Doamu sama dan Allah meridhoi kita untuk bersama dalam ikatan halal dengan niat menggapa...