CHAPTER 19

5.4K 276 6
                                    

"Hari selanjutnya adalah perjuangan dimana sepi dan rindu adalah teman yang tak terpisahkan."

--------------

Asna mematut diri didepan cermin kaca berbentuk oval dengan pinggiran ukiran kayu jepara. Ia membuka laci lemari dengan hembusan nafas berat, tangannya nampak mencari sesuatu diantara tumpukan baju. Asna mengambil sebuah jilbab yang ia kenakan saat akad, masih hangat dalam ingatan senyum Gus Adnan saat itu. Mata wanita berparas sejuk itu sesekali mengerjapkan air mata, ia hanya merasa  bola matanya mulai memanas. Rasanya bulir cairan bening itu siap meleleh luluh lantah. Dekapannya semakin erat saat semilir angin beraroma hujan menelusup masuk dari celah jendela yang sengaja Asna buka, padahal air hujan begitu deras.

Grekkk..

Asna terlonjak, ia mengusap ujung pelupuk matanya yang nampaknya sudah merah. Ia melirik ke arah sumber suara yang hampir membuatnya  spot jantung. Matanya menyapu sekeliling kamar yang harusnya tidak ada siapapun sampai iris matanya mendapati sosok berpeci hitam menatapnya lekat. Buru-buru Asna menunduk, ia hanya takut suaminya mengetahui semuanya. Bahwa ia lemah dari segala sisi, apalagi soal hati. Ia benar-benar ingin memeluk Gus Adnan saat itu juga, namun ia pendam. Itu hanya akan menyulut api kembali. Asna lupa akan tembok semu besar yang masih berdiri kokoh diantara mereka.

"Aku tutup jendelanya. Air hujannya masuk, anginnya besar. Nanti kamu masuk angin."

Pria itu menarik dagu Asna, membuat wanita itu tersentak. Pupil matanya melebar tajam. Gus Adnan mengusap ujng mata Asna  yang masih berembun, sesekali meniup wajah Asna dengan perlahan. Orang itu sekali lagi membuat hatinya  berbunga dan patah dalam satu waktu. Dan bodohnya Asna hanya bisa tertegun seperti patung berjalan.

"Udah gak kelilipan kan?" Tanya Gus Adnan melenggang pergi lalu diambang pintu ia kembali berhenti. Melempar pandangan ke arah istrinya yang masih terdiam.

"Pakai jilbabnya, kita ada kelas nahwu sharaf di gedung A. Aku duluan." Ujar pria itu membuat tubuh Asna panas dingin tak beraturan.

"Kelilipan?" Gumam Asna  makin tak paham. Sekeras itukah hati seorang pria? Sampai mata  merah mereka  kira  kelilipan? Kelilipan apa yang sampai membuat seorang wanita menangis sesenggukan? Harusnya Gus Adnan cukup dewasa untuk mengerti itu.

Asna mengembalikan jilbab sakralnya, dan ia ingat sesuatu yang seharusnya ia lakukan sedari awal. Mengabari orang rumah dan sahabatnya. Ia terlalu fokus pada  dunianya, pada hal yang semakin rumit untuk ia  pahami. Asna meraih tasnya di atas nakas, ia merogoh sebuah ponsel yang sudah bersarang laba-laba mungkin. Ia lupa mengaktifkan ponselnya. Ah-iya, ini ponsel pemberian Aldrian sebagai ganti ponselnya yang hilang. Aldrian memaksa agar Asna  menerimanya, menolak rezeki tidak baik bukan?

Baru saja ia mengaktifkan ponseldan data seluler, langsung segerombolan notif dari dua bandeng presto masuk. Segala merubah nama dan profil grup geng jadi fotonya. Foto candid dengan wajahnya sedang melongo di pinggir jalan. Dan lebih menjengkelkan lagi, mereka merubah nama grup menjadi Tim Sar pencari istri orang. Ingin rasanya ia menjitak satu satu dari mereka dengan toa masjid.

Diki: ris, tiketnya bikin gue puyeng

Haris: udah sosor aja dah janda kantin

Diki: kalo ngemeng lu! -_-

Haris: gua cuma takut lu karatan jomlonya, entar udah jelek jomlo kan nyesek.

Jodoh Dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang