CHAPTER 38

2.6K 157 38
                                    

       "Tidak apa, lelah juga bagian dari kehidupan bukan?"

---------

Mentari yang menyingsing dibalik awan tebal itu samar samar menyusup kedalam balik gorden kamar Asna. Diluaran sana, cahaya nampak bersinar begitu cerah banyak santri yang hilir mudik dibalik jendela kamar guna berkepentingan dengan kyai di ndalem. Tapi dari pantulan kaca nampak terliat Asna menopang kepalanya dengan tangan. Sesekali ia memijit kepalanya. Kalau boleh jujur, ia tidak sanggup jika harus pergi dari ndalem. Merubah perasaan tidak semudah membalik tangan. Namun, siapa yang tahan diperlakukan seperti anak kecil yang tidak tau apa-apa yang bisa dibodohi setiap hari. Asna masih manusia yang batas kesabarannya bisa diambang batas.

Tok..
Tok..
Tok..

"Boleh masuk?" Suara itu terdengar dari balik pintu, tapi sebelum Asna menoleh sosok berbadan tegap berpeci itu sudah masuk dan mendekat ke arah Asna.

"Siapa yang jawab boleh masuk?" Ketus Asna.

"Sayang..aku masih suami kamu."

Asna berdiri dan kembali merapikan bajunya ke koper, " masih? Jadi maksud kamu , berharap kita berpisah?" Tanyanya membalikkan perkataan Gus Adnan.

"Ehh.. bukan gitu. Aku cuma nggak mau kamu kemakan Ama emosi kamu sesaat."

"Oh jadi menurut kamu, aku emosian?" Tanyanya lagi.

Gus Adnan tergagap bingung, ia tahu hanya akan kalah kalau sudah berurusan debat dengan wanita. Percuma ia bicara panjang lebar hanya akan di salahkan saja. Apalagi wajah Asna yang masih muram merah padam.

"Kamu nggak boleh gini. Kamu nggak tahu gimana aku sudah payah move on dari Sifa untuk kamu. Tapi kamu malah pergi?" Ujar Gus Adnan memeggang lengan Asna.

Asna menepis tangan suaminya, "jadi ini salah aku?" Tanya Asna.

"Ishh kamu mah aku salah Mulu nafas aja kayaknya aku salah Dimata kamu."

Asna menarik nafas panjang dan melirik ke arah Gus Adnan dengan tatapan tajam.

"Emang kamu salah. Kamu selalu nganggep aku anak kecil yang bisa kamu bodohi yang kamu kira nggak bakal bisa berontak. Dan kali ini kamu salah mas!" Ujarnya sembari mengusap air matanya yang mengambang disudut mata.

"Udah kamu mau bilang apa terserah. Aku cuma pengen kamu tetap disini kita selesain baik-baik. Aku sudah berjanji bakal jaga kamu. Jadi aku mohon kembali jadi Asna-ku."

Gus Adnan memeluk erat istrinya yang tertunduk lemas di samping kaca rias. Wanita itu menangis sesenggukan, ia tidak sanggup berkata-kata karena pergi juga memang bukan keinginannya. Ia menepuk lembut dada suaminya. Gus Adnan memapah istrinya duduk diujung kasur.

"Sebentar aku ambilkan air minum dulu yah?" Ujarnya sembari mengusap ujung kepala Asna lalu pergi.

Selepas kepergian suaminya, Asna memeggang ujung kepalanya berusaha mengingat bahwa Suaminya masih memiliki rasa untuknya. Meyakinkan hatinya untuk tidak ada salahnya memberi kesempatan kembali. Bukankah setiap manusia memiliki kesempatan yang sama. Mungkin bisa berubah, seperti batu yang terus terkikis air.

"Ini sayang. Minum pelan-pelan."

Asna meminum air putih, lalu menghela nafas. Ia menunduk berfikir panjang, bukankah Allah juga benci perceraian kenapa Asna begitu mengusahakan perpisahan.

"Nggak perlu kamu jawab sekarang, aku dimaafkan atau tidak. Kalaupun kamu sekarang pengen kita jauhan dulu nggak apa-apa. Yang terpenting jangan pergi yah." Ujar Gus Adnan menatap nanar air muka istrinya.

Asna membalasnya dengan pelukan erat sesenggukan, "maafin aku mas, aku mau bertahan untuk sekali lagi. Kan setiap manusia punya kesempatan yang sama?"

"Masyaa Allah istri aku. Peluk sini sayang. Makasih kepercayaannya."

---------

  Haris memeluk tas ranselnya erat. Ia terus merengek kepada partner satu asramanya. Diki memijat kepalanya pening bukan kepalang. Sudah dari pagi Haris menarik-narik bajunya mungkin sampai kedodoran jika bisa ia rasakan.

"Ett buset bocah bisa diem kagak sih. Pala gua mau meletus denger lu ngoceh muluk." Teriak Diki

"Lu nggak tau gimana gua sedih mau pisah Ama Bebeb Mecca. Kita masih seumur jagung kenal." Ujarnya mendramatisir suasana.

Ucapan menyebalkan itu dibalas getokan dikepala Haris dengan peci milik Diki, sebelum Haris meringis kesakitan.

"Wah, sue lu. Ada masalah hidup apa lu Ama gua? Orang gua juga diem nggak ganggu lu?" Sahut Haris kembali menatap foto Mecca yang ia dapat dari foto ujian siswi.

"Kagak ganggu nenek lu kayang. Daritadi lu ngerengek sampai budek kepala gua."

"Eh, Bambang. Emang yang bisa denger pala apa? Ngomong aja masih salah pakai nyalahin orang."

"Yah elu sih gua jadi salah kan."

Haris berdiri melempar tasnya ke arah Diki yang berdiri di pintu, beruntung si empu siap siaga menangkap ransel yang berisi baju mereka tersebut. Diki mengangkat sebelah alisnya keheranan.

"Apaan sih lu gaje?"

"Lagian yah gua heran si Agus tuh jadi orang kagak bersyukur bener dah. Udah dapat istri boto gitu masih Bae salah." Ujar Haris melempar muka ke arah Diki.

"Lah serah orang ganteng. Mending dia ganteng semena-mena. Lah elu ganteng kagak tapi semena-mena."

Haris menarik tasnya Kembali lalu menatap tajam wajah Diki. Si empu hanya nyengir kuda tanpa rasa bersalah.

"Gua Gibeng miring lu."

Tiba-tiba dari balik gerbang asrama putra ada tangan yang melambai ke arah mereka. Mata mereka memicing satu sama lain. Sebelum kemudian tersadar kalau itu adalah tuan ratu mereka, Asna Alfiyah. Mereka bergegas menghampiri Asna sebelum suara nyaring wanita itu pecah merusak keheningan asrama putra yang kebetulan sepi karena sedang ada ujian nadhoman di aula.

"Eh, lu kok disini na? Emang udah siap?" Tanya Haris.

"Harus banget sekarang yah baliknya mana gua masih PW na?" Timpal Diki melempar senyum tipis ke Asna.

Asna meringis dan ketawa cekikikan didepan dua teman cowoknya. Yang mendapat sambutan heran dari mereka.

"Wah, Asna. Lu jangan kena kejiwaan dulu na. Jangan gila dulu."

"Iya gua jadi nggak tega cantik-cantik gila gara-fara si Agus sih."

"Enak aja gara-gara saya!"

Teriak seseorang dari belakang punggung Asna, dan mereka tercengang melihat kehadiran Gus Adnan. Mereka pusing jika harus kembali melihat pertengkaran rumah tangga mereka.

"Pergi kagak lu Agus. Gua capek ngeliat lu berantem muluk. Gua sambit juga ni." Ujar Diki

"Hush Diki. Gua kagak apa-apa."

"Justru gua mau ngasih tahu kalau kita gak jadi balik. Kita udah baikan kok. Makasih yah kalian."

Seketika Haris dan Diki hendak memeluk Asna yang dihadang Suaminya sambil melotot. Mereka nyengir kuda dan hanya menggaruk kepala malu. Spontan Haris sujud syukur membuat mereka terkekeh geli dan melongo heran.

"Alhamdulillah pokoknya akhirnya bisa Ama Mecca."

------------

Assalamualaikum wr wb

Maaf yah buat kalian nunggu. Kali ini gak terlalu ngaret kan yah hehe. Semoga kalian tetap suka dan jangan lupa kritik sarannya.

Regards

Rafzyanrm

Jodoh Dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang