Jendela kereta itu terbuka beberapa senti dari asalnya. Asna tidak menampik pesona lingkungan yang membuat pupil matanya tak bisa mengindahkan untuk tidak menatap lama-- hingga ia beralih pada kamera ponsel untuk membidik gambar satu persatu. Yah, walaupun ia bukan seorang profesional. Diam-diam angin semilir pegunungan hilir mudik menyentuh dedaunan pohon seberang, menyelinap masuk hingga sesekali serasa menampar wajah orang yang berada didekat jendela. Nyiur pepohonan masih terlihat rindang sekilas dengan suara binatang yang entah namanya apa, Asna kurang paham.
Gadis itu memilih membaca buku pemberian Gus Adnan dulu yang belum sempat ia baca, malah kalau boleh jujur buku itu masih terbungkus rapat dengan kertas sampulnya berikut harganya. Sedikit membuat Asna geli. Buku bercover wanita bercadar itu tampak menarik perhatian karna judulnya, "jodoh dari syurga." Lantas Asna menampilkan senyum tipis di ujung bibirnya. Dengan kuping yang disumpal shalawat yang sengaja didownload Gus adnan agar istrinya itu menghapus lagu-lagu metal dan amburadul dari list lagu.
Ia terkesan di bait kedua halaman 20, tepat di pembatas buku itu diletakkan Gus Adnan. Ia membacanya dalam benak perlahan.
Tak semua manusia sempurna. Memang Allah janjikan yang baik akan bertemu yang baik, yang buruk akan bertemu yang buruk. Tapi hakikatnya pasangan adalah saling melengkapi. Baik dan buruk itu menurut Allah bukan menurut pandangan mata kita. Yang terlihat baik di mata makhlukNya belum tentu baik di mata Allah, begitu juga sebaliknya. Allah jodohkan yang baik kepada yang buruk tapi mau berusaha jadi baik. Allah jodohkan yang buruk kepada yang buruk agar sama-sama belajar lebih baik. Allah jodohkan yang baik dengan yang baik karena insyaaAllah ditangan mereka akan ada generasi sholeh dan sholehah. Sungguh rahasia terbesar didunia ini yang tak bisa kau terka adalah kematian, rezeqi dan jodoh.
Asna mendekap buku itu erat, tak bisa ia pungkiri kalau hatinya telah memilih Gus Adnan. Entah sejak kapan, ia jadi suka merekam balik memori tentang Gus Adnan. Bermain dengan ilusi yang kadang menyesakkan. Seperti kala Gus Adnan memberinya buku secara spontan.
"Lagi baca apa?" Tanya Asna menunduk berusaha membaca judulnya, tiba-tiba Gus Adnan menutupinya."kok ditutup?"
"Jangan kepo!" Kekehnya sembari membaca buku.
"Adnan.. kamu baca kitab sesat ya?"
"Astaghfirullah na, mulutmu harimaumu." Ujar Gus Adnan sedikit menyentak membuat Asna bungkam.
Ia memilih menaruh kopi pesanan Gus Adnan dan balik ke kamar, membiarkan suaminya berkutat di ruang tamu bersama buku. Ia hanya ingin tahu apa yang dilakukan suaminya itu saja. Salah?
"Ini..." suara itu membuat Asna yang baru saja duduk di kasur tersentak kaget melihat ke sumber suara.
"Buku?"
"Iya, buat kamu." Ujarnya sambil menyodorkan buku itu yang masih tersampul. Beda dengan yang tadi.
"Yang tadi?"
"Bukan. Tapi sama persis." Terangnya kembali lalu mengusap rambut Asna yang tergerai
Asna lalu membolak-balik buku yang digenggamnya berkali-kali berusaha mencari nama penulis, sampai sebuah tinta biru tertulis disudut sampul. Asna menatap lekat tukisan yang ia terka milik Gus Adnan, begitu kecil sampai ia harus merapatkan buku dengan matanya. tiba-tiba matanya terasa panas dan makin panas sampai sudut matanya mengembun deras. Beruntung, orang yang duduk disampingnya sedang tidur. Asna menutup buku itu lalu memasukannya ke dalam tas miliknya. Sudah, itu masalalu. Ia sudah mendapat penjelasan tapi kenapa masih berdenyut menyakitkan. Seperti ada yang merobek ulu hatinya tapi tak kasat mata.
"Ukhfaa96?" Ucapnya lirih,
Ia mengerjap, "ukhty syifaa, ukhfaa, kak syifaa lahir tahun 96. Jadi ini buku untuk kak syifa?" Batin gadis bermata hazel itu bergejolak tapi ia sekuat tenaga menepis.
----------
seberkas cahaya remang dari fajar menyapanya setibanya di stasiun kereta di kota malang, ia tidak peduli namanya yang jelas sekarang yang harus ia lakukan mencari kendaraan umum. Ia berdiri di depan toilet wanita, sampai ia kelabakan mencari uang receh untuk abang-abang didepannya yang tak memperbolehkannya masuk sampai membayar 2000 rupiah. Pria berpakaian kaos dan celana jeans selutut itu masih menatapnya tajam, sedikit membuat Asna semakin risih.
"Bang.. aku masuk dulu aja ya. Susah carinya." Tawar Asna belingsatan.
"Ndak mbak. Bayar dulu ta."
Batin Asna gondok bukan main, Ya Allah gue sleding juga ni abang-- batin Asna.
"Ah.. ini dia." Serunya lalu segera memberinya ke petugas toilet super menyebalkan itu sebelum ia kelepasan ngompol di gamisnya dan menjadi tontonan khalayak banyak.
"Nah gitu ta mbak. Ndak pake lama."
Asna masuk ke toilet tanpa menhiraukan cerocosan orang itu. Abag itu mengibaskan uang menerpa wajahnya dan kembali duduk di bangku depan toilet. Tak selang begitu lama Asna keluar dari toilet, ia harus membuka ponsel memesan ojek online fikirnya. Setidaknya itu lebih baik daripada mencari kendaraan umum yang mungkin saja ada banyak orang jahat berkeliaran disana. Asna berjalan menjauh dari toilet sembari merogoh ponsel yang ada di tas slingbagnya. Asna sadar ia benar-benar sendirian berdiri dengan kakinya sendiri tanpa sandaran di kota orang yang memang sebelumnya ia tak pernah keluar kota sendirian. Its first time.
"Mana ya?" Asna berdiri di tangga depan stasiun, matanya masih sibuk mencari ponsel yang tak terlihat. "Ah, ini dia."
Brrtttt...
"Tolong,, tolong jambret.. mbak mas tolong" teriak Asna saat tas slingbagnya lepas dari tangannya. Raib dibawa penjambret.
"Mana mbak.. orangnya?" Ujar kerumunan orang yang menghampiri Asna yang mulai lemas kelimpungan.
"Itu mas.. tolong yag pake baju hitam lari kesana.." tangan Asna menunjuk ke arah kanan stasiun gemetar, seakan dikomando kerumunana itu langsung berlari mengejar penjambret tas Asna.
Asna duduk ditangga, memijit keningnya sembari bersandar ditembok. Ia takut tak bisa kemana-mana. Hanya ada koper baju yang bertengger disampingnya. Menyisakan sesak saat memfikirkan semua uang, ponsel dan alamat pondok gus Adnan di slingbag itu. Asna sesenggukan tak tahu harus bagaimana lagi, tak mungkin ia kembali naik kereta dan pulang. Uang sepeserpun tak ia kantongi.
""Ya Allahu Rabbi.." ujar Asna menghela nafas panjang membiarkan wajahnya tenggelam diantara lipatan tangannya.
Semenit..
Dua menit..
Tiga menit..
Empat menit..
Lima menit..
Kerumunan orang kembali menghadapnya dengan tangan kosong. Asna semakin ingin memecahkan saja kepalanya saat itu juga.
"Maaf mbak, iku penjambret gak ketemu. Permisi mbak." Ucap salah satu dari mereka yang bisa Asna taksir sebaya dengan Abinya. Logat jawa kental masih mendominasi bapak itu.
"Iya, makasih ya pak, mas.. "
Asna berjalan gontai tak tahu arah, perutnya sakit karna lapar. Ia hanya takut tersesat tidak menemukan jalan ke pondok ataupun tidak bisa pulang. Ia menghiraukan saja perutnya kosong tanpa mengindahkan magh akut yang dideritanya. Asna semakin lemas semua seperti hanya berputar dan semakin buram hitam legam, dan dunia Asna pun terhenti.
----------
/AN
Assalamualaikum
Hai semuanya, alhamdulilah update cepat hari ini ya. Moodnya lagi bagus berarti, semoga saja seperti ini terus. Terimakasih apresiasi kalian.Jazakumullah katsiran 💞😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Dalam Doa
Spiritual(SEBELUM BACA BUDAYAKAN FOLLOW DULU YAH, HAPPY READING) Rank: #2 ikhwan #3 religi #1 nikahmuda #1 perjodohan #1 islami #3 spiritual #69 fiction Semoga Doaku dan Doamu sama dan Allah meridhoi kita untuk bersama dalam ikatan halal dengan niat menggapa...