19. Vonis Dokter.

831 76 21
                                    


Setelah sekian purnama tidak pernah update cerita ini.
Alhamdulillah hari ini bisa dilanjut babnya.

Yuk, ramaikan!

Happy reading

***

Diam-diam sebelum keluar, Aliyah memungut foto yang terjatuh. Dia memasukkan ke dalam saku gamisnya, lalu mengajak Hazimah untuk keluar kamar. Nanti, Aliyah akan mencari tahu dengan bertanya pada suaminya. Ada hubungan apa antara mereka berdua, sejak resepsi pernikahan kala itu, dia sudah curiga ada hubungan antara mereka berdua.

Aliyah keluar bersama Hazimah dari kamar. Sebagian bebannya menguap bersama curahan hati kepada perempuan di sampingnya kini. Memendam sendiri ternyata tak semudah bayangannya. Terkadang kita memang memerlukan seseorang yang bisa dipercaya untuk mengeluarkan segala keluh kesah selain menumpahkannya pada sajadah.

"Tan, kami pulang dulu, ya! Mbak Aza sudah jauh lebih baik sekarang. Nanti kalau dia mulai nakal lagi panggil saja kami. Aku pasti akan memarahinya, sama seperti tadi." Aliyah mengerlingkan mata ke arah Hazimah, lalu tersenyum bahagia saat perempuan itu memanyunkan bibirnya.

"Beres! Tante pasti akan memanggil kalian berdua. Terima kasih, ya, sudah mau menghibur menantu Tante," ucap Yana.

"Kami pamit, Tan. Insyaallah kami akan lebih sering berkunjung." Haidar berdiri dan mengajak istrinya untuk pulang. Dari jarak dekat Hazimah tak mau melihat sedikit pun wajah lelaki itu.

Aliyah semakin yakin bahwa keduanya memiliki hubungan pada masa lalu. Jika tidak, mengapa terlihat jelas di mata Hazimah sebuah luka sekaligus rasa yang tak dapat Aliyah tangkap maksudnya. Sejenak perempuan itu melamun, dia mulai menyimpulkan sendiri semua yang terjadi saat ini.

"Al, ayo pulang!" Haidar menggoncang lengan istrinya pelan karena melihat dia melamun.

"Eh, iya. Ayo!" ujarnya terkejut. "Aku pulang dulu, ya, Mbak. Jangan lupa tetap semangat untuk menjalani hidup demi janin ini." Aliyah menyentuh perut Hazimah.

Dalam perjalanan pulang, Aliyah masih memikirkan tentang Haidar dan Hazimah. Rahasia hubungan mereka harus segera dipecahkan, tetapi belum sampai di rumah mereka, Aliyah sudah mengaduh kesakitan. Mendadak kepalanya sakit sekali.

"Al, kenapa?" tanya Haidar, dia segera menepikan mobilnya.

"Gak apa-apa, Mas. Kepalaku mulai terasa sakit." Aliyah memegang bagian tubuh atasnya dengan kedua tangan. Rasa itu sudah tak tertahankan lagi.

Tanpa meminta persetujuan dari istrinya Haidar segera melajukan kendaraannya ke arah rumah sakit. "Sabar, Al!" ucapnya.

Satu tangan Aliyah, dia gunakan untuk membuka tas, sebelahnya lagi dia mencoba untuk memegang kepala yang terus berdenyut. Matanya sudah mulai terpejam tak kuasa menahan sakit yang tiba-tiba menyerang, sementara obat yang dicarinya belum juga ditemukan. Haidar mulai panik melihat istrinya yang seperti itu.

"Al, bertahanlah! Kita sudah hampir sampai di rumah sakit."

Tak terdengar lagi jawaban dari Aliyah. Haidar semakin mempercepat laju kendaraannya, belum sampai sepuluh menit dia sudah sampai di parkiran rumah sakit. Terlalu kalut melihat keadaan istrinya, dia melupakan untuk memberi kabar pada keluarganya di rumah.

Cepat-cepat Haidar membopong istrinya masuk ke dalam rumah sakit, beberapa perawat yang sedang berjaga dengan sigap menghampirinya. "Pasien kenapa, Pak?" tanya salah seorang dari mereka.

"Istri saya mengeluh sakit pada kepalanya." Haidar merebahkan tubuh Aliyah pada hospital bed dengan sangat hati-hati.

"Bapak bisa tunggu di luar! Kami akan memeriksa istri Anda." Mereka mendorong masuk Aliyah ke dalam ruang ICU. Dari dalam ruangan itu keluar dokter Irma, seorang dokter onkologi yang sudah merawat Aliyah selama ini.

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang