8. Wanita dalam pandangan islam

808 87 16
                                    

Mohon maaf jika penyampaian dalam tulisan saya ini ada kesalahan.

Kesempurnaan itu milik Allah dan kesalahan mutlak sepenuhnya ada pada saya sebagai penulis cerita.

Tidak bermaksud menggurui atau apa pun namanya, semua hal yang tertulis hanyalah sebatas apa yang telah saya ketahui dan saya pelajari.

Happy Reading.

***

Nasi goreng dengan pelengkap telur mata sapi dan acar mentimun tersaji di meja makan. Teh hangat serta susu menemani sajian utama sarapan kali ini. Haidar bergegas ke meja makan dengan sendirinya karena mencium bau nasi goreng yang sedap.

Bunda serta kakaknya telah bersiap di meja makan. Suami kakaknya sudah terlebih dahulu berangkat ke kantor, ijin cutinya, hanya dua hari saja untuk mengahadiri pernikahan Haidar. Aliyah duduk terpaku memandang layar ponselnya, dia masih belum menyadari keberadaan Haidar.

"Ehem. Bisa 'kan, kalau handphone itu kamu simpan dulu." Haidar duduk di sebelah Aliyah. Bunda dan Ruby duduk berhadapan dengan keduanya.

"Jarke tho, Le ( Biarin lah, Nak)." Sania mengambilkan nasi goreng untuk Haidar. "Kowe sarapan opo, Nduk (kamu sarapan apa, Nak)?" tanya Bunda Haidar pada Aliyah.

Haidar menatap tajam kepada Aliyah, tugas sebagai seorang istri yang harusnya dia lakukan malah diabaikan. Aliyah masih bergeming dengan posisinya saat ini. Dia, hanya meletakkan ponsel yang dipegangnya di sebelah kiri.

"Aku nasi goreng saja, Bunda," katanya tanpa rasa sungkan sama sekali. Bunda Sania memberikan sepiring nasi goreng kepada Haidar.

"Terima kasih, Bun," ucap Haidar, tanganya terulur menerima piring dari bundanya. "Kamu gak bisa ngambil makanan sendiri?" Pandangannya terarah pada Aliyah

"Wis tho ra usah di ributne (sudah jangan diributkan)!" Setelahnya dia mulai menyendokkan nasi ke sebuah piring yang pada akhirnya dia berikan kepada Aliyah.

Ruby yang melihat situasi semakin memanas, mencoba menengahi. "Biasalah, Dik. Menantu baru itu harus di manja. Biar dia betah tinggal sama kita."

Haidar terlihat tidak suka dengan perkataan kakaknya. Namun, untuk membalas ucapan itu dia tak mampu. Bukan kebiasaannya membantah perkataan orang yang lebih tua apalagi kepada orang yang sangat di hormati. Haidar mulai mengunyah makanannya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Sebagai seseorang yang mengandung dan membesarkan Haidar, Sania tahu putranya tengah menahan amarah.  Biasanya jika Haidar sudah bersikap seperti itu bundanya akan merayu dengan memasakkan makanan kesukaannya. Kali ini, Sania hanya berdiam saja, dia membiarkan Haidar mengatasi masalahnya sendiri.

"Le, mengko yen wis rampung maem, terke bungkusan kae ngone Bude (Nak, nanti kalau sudah selesai makan antar bungkusan itu ke rumah Bude)." Sania menunjuk beberapa barang yang terbungkus tas plastik warna hitam.

"Inggeh, Bun." Dia berdiri melangkahkan kaki ke arah barang yang di tunjuk sang bunda. Langkahnya terhenti ketika bundanya memanggil.

"Le, rono kie ojo dewe (jangan ke sana sendiri)! Kae garwone yo digowo (istrimu juga dibawa)! Ndang siap-siap Nduk, melu Mase (cepet siap-siap ikut masnya)!" Aliyah berdiri dan melangkah ke arah suaminya, sementara Haidar menatap ke arahnya. Pandangannya tajam menguliti apa yang di pakai Aliyah saat ini.

"Ayo ke kamar dulu!" ajak Haidar. Dia menarik pergelangan tangan Aliyah dengan cepat. Aliyah yang tak siap hampir jatuh tersungkur karena perlakuan suaminya itu.

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang