7. Perubahan status

810 88 39
                                    


Happy reading 😍😍

Klik bintangnya di pojok kiri bawah ya .... Biar tambah semangat yang nulis.
Follow akun juga boleh kok, supaya kita saling mengenal.

***
Derit suara pintu yang di buka olehnya membuat seisi rumah menengok ke arah suara. Dia tahu bundanya pasti cemas menantikan kepulangannya. Tak biasa Haidar langsung meneruskan salat magribnya ke salat isya tanpa pulang terlebih dahulu. Hati-hati Haidar masuk ke dalan rumah, salam yang dia ucapkan pun sangat lirih hampir tak terdengar oleh bundanya dan Aliyah.

"Seko ngendi tho, Le (dari mana, Nak)? Nyapo kok ra pamit yen langsung isya'an, Bunda kuatir lho, Le (kenapa gak ngomong dulu kalau langsung salat isya, Bunda jadi khawatir kalau gini)."

"Inggeh, Bunda, ngapunten. Tadi ada istigosahan di musala, jadi daripada kulo wangsul riyen mending langsungke mawon, kersane mboten telat (daripada aku pulang dulu nanti telat jadi langsung saja tadi)." Haidar merasa bersalah telah membuat bundanya khawatir. Dia segera bersalaman pada bundanya dan Aliyah, kemudian langsung masuk ke kamar. Aliyah mengekori langkah suaminya ke kamar.

"Bunda dari tadi tanya sama aku, Mas. Mengapa, Mas, gak pamit dulu?" Aliyah bertanya pada Haidar setelah mereka memasuki kamar.

"Bukankah tadi sudah saya jelaskan! Rasanya saya gak perlu menjelaskannya lagi, kan? Kamu cukup cerdas untuk memahami kata-kata saya tadi." Haidar segera melangkah ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Selalu saja kata-kata Haidar membuat Aliyah mengeluskan dada.

Aliyah segera merebahkan tubuhnya, dia tak ingin berpikir negatif tentang suaminya. Lagi-lagi dia memainkan ponselnya. Apa yang diceritakan sahabat-sahabatnya ternyata hanya kebohongan saja. Mereka sering bercerita malam pertama sebagai seorang istri yang penuh adegan mesra, nyatanya tak ada adegan romantis apa pun yang terjadi antara dia dengan suaminya.

Haidar keluar dari kamar mandi dan ikut merebahkan diri di samping Aliyah. Mereka sama-sama terdiam. Haidar tidur telentang dengan kedua tangan yang dia letakkan di atas kepalanya sebagai bantal. Sementara Aliyah terlalu sibuk dengan gawainya.

Merasa posisinya kurang nyaman, Aliyah bergerak kearah samping kanan. Dia tidak menyadari jika Haidar sedang menghadap ke arah kiri. Mereka sama-sama tertegun dengan posisi itu.

"Kamu, tidurlah! Jangan terlalu sibuk dengan ponsel!" Dia menatap Aliyah, seditik kemudian pandangannya ia alihkan, menghindari tatapan balik dari istrinya.

"Ya, Mas. Apa, Mas, perlu sesuatu?" Sengaja pertanyaan itu Aliyah lontarkan. Berharap suaminya peka jika dia membutuhkan keromantisan malam ini.

"Enggak. Tidurlah!" Haidar mengubah posisi tidurnya membelakangi Aliyah.

Tarikan napas panjang Aliyah embuskan. Dia harus lebih bersabar dengan suaminya. Ponsel yang semula menarik baginya kini dia letakkan begitu saja, tubuhnya terasa lelah sekali sehari ini.

Lewat tengah malam, Haidar tak dapat memejamkan matanya. Tubuhnya letih, tetapi pikirannya masih mengembara. Dia keluar dari kamar dengan membawa bantal dan selimut. Untuk malam ini, biarlah dia menghindar tidur bersama Aliyah.

Matanya menengok ke kanan dan ke kiri, takut bundanya tahu. Pelan-pelan dia merebahkan tubuhnya di sofa depan televisi. Rumahnya memang hanya memiliki tiga kamar, satu kamar untuk bundanya, kamar yang lain di tempati kakaknya jika sedang berkunjung. Kebetulan tadi kakaknya tidak langsung pulang ke rumahnya, dia menginap di sini karena terlalu letih. Sebentar saja Haidar sudah terlelap dalam mimpi.

Sekitar pukul tiga pagi, Haidar mendengar langkah seseoarang. Dia yakin itu adalah bundanya. Kebiasaan bundanya bangun di jam tersebut untuk melaksanakan Tahajud. Haidar buru-buru bangkit dari tidurnya dan bergegas ke kamar.

Sesampainya di kamar, dia segera berwudu dan melaksanakan salat juga. Haidar tak tega membangunkan Aliyah. Biarlah untuk hari ini Haidar memberi dispensasi kepada istrinya untuk tidak melaksanakan apel malamnya. Haidar melanjutkan murojaahnya sampai terdengar suara azan subuh berkumandang. Disentuhnya Aliyah agar segera bangun dan melaksanakan salat subuh.

"Ya, Mas. Aku sudah bangun." Meregangkan otot-ototnya dan segera melangkah ke kamar mandi.

"Jika kamu mandi, basahi juga rambutmu!" Aliyah mengernyitkan keningnya.

"Maksudnya gimana, Mas?"

"Kamu keramaslah!" katanya singkat. Tanpa bertanya lagi apa maksud suaminya, Aliyah segera melaksanakan perintahnya.

Selesai mandi, Aliyah tak melihat suaminya di kamar. Haidar berangkat ke musala tanpa berpamitan padanya.
Setelah melaksanakan salat, Aliyah masih berdiam di dalam kamarnya. Dia tak keluar sekedar membantu mertuanya untuk memasak sampai suaminya pulang dari musala.

"Kamu, enggak bantuin Bunda di dapur?"

"Gak, Mas. 'Kan sudah ada pembantu sama kakak ipar. Lagian aku gak bisa masak," jawabnya enteng.

"Astagfirullah. Mengapa kamu tidak mau belajar kalau memang belum bisa memasak?" Sepertinya Haidar harus memiliki stok sabar yang lebih untuk mengahadapi istrinya ini.

"Nanti malah ngerecoki Bunda. Lagian aku ...." Kata-kata Aliyah langsung dipotong oleh Haidar.

"Sudah, cukup! Kamu terlalu banyak alasan." Haidar melangkahkan kaki ke meja kerjanya. Dia sudah malas berdebat dengan istrinya.

Aliyah bimbang hendak keluar kamar atau tidak karena dia memang malas jika  harus memasak, walaupun hanya sekedar membantu. Namun, di dalam kamar pun da takut Haidar akan marah. Masih dengan langkah gontai akhirnya Aliyah keluar dari kamar menuju dapur.

Baru sehari Haidar berganti status, tetapi kesabarannya telah di uji oleh istrinya sendiri. Haidar tak meminta perempuan seperti Aliyah untuk menjadi pendampingnya. Namun Allah menakdirkannya dengan Aliyah. Benar perkataan sahabatnya, Zafran.

'Segera setelah menikah, kamu akan menemukan rumah yang penuh dengan konflik. Pahami bahwa manusia itu tidak sempurna. Belajarlah ... belajarlah! Sesegera mungkin untuk menyelaraskan keinginan dan sifat pasangan kita.'

Rasanya Haidar memang harus banyak belajar dari Zafran. Setidaknya dia lebih berpengalaman di banding dirinya.

***

Di dapur, Aliyah tengah digoda oleh mertua dan kakak iparnya. Mereka heboh dengan keberadaan Aliyah. Keduanya melihat Aliyah dari ujung kaki sampai ujung rambut dan mulai berbisik-bisik kala melihat rambut Aliyah yang tergerai dengan keadaan basah.

"Aman, Bun. Sudah bisa ditebak, Bunda bakalan cepet punya cucu kalau kayak gini keadaannya." Aliyah hanya tersenyum dengan perkataan kakak iparnya itu. Dia masih tak mengerti apa yang di maksud oleh mereka.

"Iya, Kak. Mugo-mugo wae cepet dadi (semoga saja cepat jadi)." Tersenyum penuh arti.

Tak tahan karena penasaran maksud perkataan keduanya, Aliyah pun berkata, "Bunda sama Kakak, ngomongin apa, sih? Aku gak paham."

Suara tawa keduanya makin menggema. Ruby, kakak Haidar pun berkata, "Lagi ngomongin kamu, lah, Dik." Menaik turunkan alisnya. "Semalam, adiknya kakak udah belah duren, 'kan?" menutup mulut karena menganggap terlalu vulgar kata-katanya tadi.

"Hah!" Satu kata itu yang akhirnya terucap dari Aliyah. Kini, dia menyadari mengapa Haidar menyuruhnya keramas. Rupanya suaminya itu telah memprediksi kejadian seperti ini akan terjadi.

"Biasa aja, Nduk! Ndak usah kaget. Bunda sama Kakak sudah pernah ngalami juga, kok. Gimana, masih sakit?" Sontak saja Aliyah mengembuskan napas panjang.

"Eh, Bunda malah tanya gitu. Gak bakalan ngaku lah, Bun," kata Ruby. Dia tertawa dengan pertanyaan bundanya.

Jangankan terjadi seperti dugaan mereka. Bersentuhan skin to skin saja tak pernah sama sekali. Semua adegan romantis malam pertama yang indah, hanya menjadi angan saja bagi Aliyah. Begitulah suaminya, Haidar, meskipun ramah, tetapi misterius bagi Aliyah.

***

Harus ya masalah seperti itu ditanyakan. Duh Bunda itu ada-ada saja ....

Love you all 😘😘
Banyuwangi, 18 Oktober 2020

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang