21. Rahasia Hati....

774 67 28
                                    


Happy Reading

*****

Haidar keluar dari ruangan dokter yang menangani Hazimah. Keseluruhan jasadnya menjadi lemah setelah mendengar penjelasan tentang kondisi janin bakal calon anak Zafran. Masih dengan pikiran yang berkelana ke segala arah, Haidar duduk di sebelah Yana.

"Apa yang dokter katakan, Mas?" tanya Yana. Tatapan penuh pengharapan dari seorang ibu yang telah kehilangan putranya jelas sekali terlihat oleh Haidar.

"Tante, maafkan saya jika telah lancang mendahului dan menyetujui saran dokter untuk mengambil tindakan pada Hazimah." Haidar menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan Yana. Tangan kanannya berusaha menggenggam jemari perempuan yang sudah dianggapnya Ibu sendiri untuk menenangkan.

"Maksudmu, Mas?"

"Demi menyelematkan janinnya, dokter menyarankan untuk mengikat leher rahim Ima." Akhirnya panggilan itu tersemat juga dari bibir Haidar. Selama ini, dia memanggil Ghaza karena jengkel pada Hazimah yang telah memanggilnya Udin.

"Mas," panggil Yana, "lakukan apa pun yang menurutmu terbaik bagi kesehatan calon cucuku. Kamu tahu 'kan jika ruh yang ada dalam kandungan Azza itu satu-satunya kenangan terakhir dari Zafran." Yana menyentuh ujung matanya dengan jari telunjuk yang terbebas dari genggaman Haidar, menghapus bulir-bulir air yang terjatuh.

"Enggeh, Tan. Saya pasti akan melakukan yang terbaik bagi calon cucu Tante dan juga Azza."

"Terima kasih, Mas. Kamu begitu peduli pada kami, padahal istrimu sendiri sedang dalam perawatan saat ini." Yana mengurai genggaman Haidar.

"Sama-sama, Tante. Sudah menjadi tugas saya untuk menjaga njenengan dan juga Ima." Haidar menyugar rambutnya kasar, terus terang pikirannya bercabang antara ingin tetap menemani Hazimah dan menjaga istrinya yang masih terbaring sakit.

Sesekali Haidar melirik aksesori yang dia kenakan pada pergelangan tangan kirinya. Rasanya cukup lama dia sudah meninggalkan Aliyah. Namun, untuk membiarkan Yana dan Hazimah sendiri, dia masih berpikir dan menimbang bagaimana baiknya. Di dalam ruangan putih tepat di depan dia duduk kini, masih dilakukan penanganan pada Hazimah.

"Tan, saya permisi sebentar," pamit Haidar. Digenggaman tangan kanannya sudah nyaring berbunyi suara sang Bunda.

Yana, hanya menjawab dengan anggukan anggota tubuhnya. Agak jauh dari orang tua perempuan sahabatnya, Haidar menerima panggilan bundanya.

"Bun, alihkan ke panggilan video, nggeh?" pinta Haidar pada Sania.

"Tak matikan dulu aja setelah itu kamu langsung telepon video, ya." Sedetik saja, Haidar sudah mengubah panggilan teleponnya.

Dari layar ponselnya jelas terlihat wajah pucat Aliyah yang terbaring. Raga perempuan itu tampak begitu rapuh, terkikis oleh penyakit yang menghinggapinya. "Bun, tolong sampaikan maaf Adik pada Aliyah. Adik masih belum bisa menjaga sepenuhnya." Indra penglihatannya mulai berembun.

"Istrimu pasti mengerti, Le. Sudah jangan sedih seperti itu. Kamu harus kuat, ada dua nyawa yang kini harus kamu jaga. Nanti, jika dia terbangun, Bunda akan sampaikan salammu."

Suara yang sedikit keras dari Sania membuat tidur Aliyah terganggu. Tampak oleh Haidar tangan kanan istrinya itu mengusap mata berusaha membukanya. Hati lelaki itu mencelat sedih, apalagi ketika melihat senyum sang istri yang sudah sempurna menatapnya dari layar ponsel.

Tangan kiri Haidar kini berada di bawah dagu, menunggu Sania yang membantu Aliyah duduk di pembaringannya. Sekali lagi, dia melihat ketidakberdayaan Aliyah karena penyakitnya. Ah, suami mana yang tidak sedih jika sudah melihat seorang istri kesakitan ssperti itu. Haidar berusaha menahan genangan air yang mulai terkumpul di pelupuknya.

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang