31. Hazimah

684 74 36
                                    

Happy Reading

****

Malam semakin sunyi, hampir tak ada lalu lalang orang lagi di sekitaran lorong rumah sakit. Hazimah mengeratkan kedua tangannya di depan dada, hawa dingin mulai menyerang. Gamis yang membalutnya tak cukup mampu memberikan kehangatan.

Jarak beberapa puluh senti di depannya, Haidar menyandarkan punggungnya pada dinding penyangga. Tangannya terlipat di dada, kaki kanannya menimpa di atas kaki kiri. Seluruh raganya lemah saat ini, sesekali dia melihat ke arah Hazimah yang masih terdengar isakannya walau lirih.

"Aku antar kamu pulang? Malam ini biarkan aku yang menjaga putramu." Haidar mencoba memberi solusi. "Sebentar lagi, sopirku akan ke sini."

"Ndak usah, aku mau nungguin dia. Kamu aja yang pulang, Aliyah sama Bunda pasti dah nunggu. Biar aku di sini." Hazimah kembali mengeratkan kedua tangannya di depan dada.

"Ma, aku laki-laki. Enggak pantas membiarkanmu seperti ini. Oke, kalau enggak mau pulang." Haidar berlalu begitu saja setelah melihat ponselnya, berjalan ke arah yang Hazimah sendiri tidak tahu ke mana.

Bukannya tidak lelah dan ingin segera mengistirahatkan raganya pada ranjang, tetapi Hazimah sangat khawatir dengan kondisi putranya saat ini. Beberapa jam telah dia lalui, hanya untuk menunggu kabar sang buah hati. Perawat yang keluar dari ruangan itupun cuma mengatakan agar dia banyak berdoa untuk kesembuhan buah cintanya dengan Zafran.

Lahir dalam keadaan prematur memang sangat riskan bagi seorang bayi. Bisa jadi ada bagian-bagian tubuhnya yang belum berkembang dengan baik, misal paru-paru dan jantungnya. Keadaan yang baik-baik saja beberapa hari lalu tak menjamin bahwa putra dalam keadaan sehat.

Derap langkah kaki Haidar membuat Hazimah menoleh padanya. Seutas senyum lelaki itu berikan, di tangannya terlihat sebuah sweter dan satu kantong tas kresek warna hitam. Langkah Haidar makin dekat pada Hazimah, benda-benda yang ada ditangan dia ulurkan pada ibu muda itu.

"Pakai ini!" suruh Haidar. "Makanlah dulu! Di dalam itu ada makanan dan juga minuman yang dikirim Aliyah lewat Pak Mat."

Hazimah mengambil semua yang diberikan Haidar tanpa banyak bertanya. Sikap lelaki di depannya itu sangat jauh berbeda dibanding perlakuannya di masa lalu. Haidar berjalan kembali ke arah dia datang tadi.

"Ain, tunggu!" panggil Hazimah, "terima kasih. Sampaikan salamku pada Aliyah, maaf merepotkan."

Haidar menggerakkan kepalanya ke bawah dan mengacungkan jempol kanannya. Dia melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi. Hazimah segera memakai sweter yang diberikan Haidar, tetapi tidak menyentuh makanan dan minumannya.

Udara yang mulai dingin kini sedikit berkurang karena sweter yang Hazimah pakai. Kian lama kepalanya kian berat, sebentar saja dia tak lagi mendengar suara apa pun, Hazimah lelap dalam tidur.

Haidar yang baru saja kembali, geleng-geleng kepala. Ibu muda itu tidak pernah bisa merubah kebiasaannya saat kelelahan. Tidur di mana pun dia berada. Garis bibirnya terangkat keatas mengingat kenangan masa lalunya dengan Hazimah. Tidur yang kian lelap membuat kepala Hazimah hampir terantuk tembok, cepat-cepat Haidar membantunya menegakkan kembali bagian atas tubuhnya.

Lagi dan lagi kepala Hazimah terantuk. Haidar masih berusaha memegangnya dengan tangan kanannya, tetapi lama-kelamaan jari-jarinya mulai kebas. Dia menengok kanan kiri, saat akan duduk di sebelah Hazimah seorang suster memberikan info bahwa bayinya sudah tidak dalam kondisi kritis. Namun, masih harus di observasi sampai besok.

Malam makin larut, waktu di pergelangannya sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Haidar tak dapat lagi menahan rasa kantuknya. Dia pun ikut terlelap disamping Hazimah.
*****

Kilau cahaya mentari menerpanya,  Haidar sedikit terganggu. Bola matanya bergerak-gerak berusaha membuka, tetapi terasa berat sekali. Sentuhan lembut serta suara panggilan yang menyebut nama, memaksanya bangun lebih cepat.

Haidar membuka mata dengan sempurna. Di hadapannya kini sudah berdiri Aliyah, Sania serta Yana yang duduk di kursi roda. Ketiga perempuan itu tersenyum mendapati keadaan Haidar dan Hazimah.

"Mas bisa jelaskan semua, Sayang," ucap Haidar gugup. Namun, istrinya itu terus saja tersenyum.

Hazimah yang mendapati posisi tidurnya sangat tidak pantas,  merasa bersalah. "Al, jangan salah paham! Kami tidak melakukan apa-apa seperti perkiraanmu." Cepat-cepat dia menggeser posisi duduknya menjauh dari suami Aliyah.

"Kalian berdua lucu sekali. Aku gak berpikiran apa-apa, lho." Aliyah duduk di sebelah Haidar, lalu berbisik pada suaminya.

Haidar berdiri dan menjadi salah tingkah. Sama sekali tak ada niatnya akan tidur kembali setelah salat Subuh tadi. Dia, hanya berusaha membenarkan posisi tidur Hazimah agar kepalanya tak terantuk-antuk dinding lagi. Namun, tanpa diduga kepala Ibu muda itu bertengger indah pada bahunya.

"Mas cuci muka dulu," pamit Haidar.

"Hati-hati, ya, Mas." Aliyah mengedipkan sebelah matanya. Entah mengapa hatinya menghangat saat melihat kebersamaan suaminya dengan Hazimah tadi.

Aliyah meraih tangan Hazimah. Sambil menatap kedua orang tua di hadapannya, dia berkata, "Mbak, menikahlah dengan Mas Haidar setelah nifasmu selesai. Kejadian hari ini membuktikan kalau kalian harus segera bersama. Kita selesaikan semua masalah bareng-bareng. Benar gitu 'kan, Bun, Tan?" tanya Aliyah pada Sania dan Yana.

Yana mengangguk, sedangkan Sania menjawabnya dengan berkata, "Insyaallah. Bunda cuma bisa berdoa untuk kebahagiaan kalian semua karena yang akan menjalani juga kalian bertiga nantinya."

"Kita sambung nanti bahasan yang itu, Mbak. Gimana keadaan pangeran kita?" tanya Aliyah antusias.

"Belum tahu, Al. Aku ketiduran dari semalam di kursi ini." Hazimah menjawab dengan rasa sesal, harusnya dia tidak tertidur agar tahu perkembangan si kecil.

"Mungkin masmu yang tahu, Nduk. Kita tanya dia kalau sudah datang nanti." Sania menimpali perkataan Aliyah. Teringat ada sesuatu yang di bawanya tadi, dia menyerahkan kotak yang berisi makanan pada Hazimah. "Makanlah dulu, Mbak," ucap Sania.

Yana yang memang kesehatannya belum pulih sepenuhnya, hanya bisa menyaksikan interaksi mereka semua. Sesekali menggerakkan anggota tubuhnya sebagai bentuk persetujuan atas ucapan mereka.

Hazimah mulai membuka kotak makanan yang dibawa Sania. Sebenarnya dia masih enggan untuk memasukkan sumber energi ke dalam tubuhnya, tetapi saat salah satu perawat mengatakan bahwa dia harus mencoba memberikan ASI pada putranya, mau tak mau makanan itu terpaksa dia makan.

Aliyah meninggalkan Hazimah yang sedang makan bersama dengan kedua perempuan paruh baya itu. Dia mulai mendekati suaminya yang duduk tak jauh dari tempatnya semula.

"Mas," panggil Aliyah, "Gimana keadaan putra kita?"

"Sayang dia bukan ...."

"Bentar lagi dia jadi putra kita juga. Mas, gak akan membiarkan Mbak Azza menghadapi masalahnya sendirian, 'kan?"

Diam tak ada jawaban apa pun. Lidah Haidar benar-benar kelu. Sekeras apa dia telah berusaha menghindari agar wacana pernikahannya dengan Hazimah gagal. Nyatanya setiap kejadian membuatnya harus mengambil keputusan berat itu.

"Al, Mas ...."

"Bismillah. Kita mampu menjalankannya dengan baik. Aku percaya Mas mampu melakukannya." Percakapan suami istri itu tak luput dari indera pendengaran Hazimah.

*****
Love you All 😘😘
Banyuwangi, 14 Juni 2021



Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang