35. Nyinyir lagi...lagi-lagi nyinyir

736 75 95
                                    


Happy Reading

*****



Hazimah tak menuju rumah mertuanya, dia langsung pulang ke rumahnya sendiri. Beruntung kuncinya selalu dia simpan dalam saku gamis. Sampai di dalam, gegas dia mengambil wudu, dilihatnya jam di dinding masih cukup lama untuk salat duha. Hazimah terduduk di lantai kamarnya.

Tangannya mengambil sajadah serta mukena, bacaan istigfar berkali-kali dia lafalkan. Hatinya bergejolak, perempuan mana pun tak akan pernah tahan jika dibicarakan seperti itu. Dia, hanyalah manusia biasa yang akan sangat terluka saat disakiti oleh orang lain, meskipun itu sifatnya verbal.

Tangan kanannya mulai menggerakkan rangkaian tasbih melafalkan istigfar sebanyak mungkin. Berkali-kali juga Hazimah membaca doa agar hatinya kembali tenang. Tetes air jatuh tanpa bisa dia kendalikan. Di penghujung gejolak hatinya, Hazimah berdoa.

Robbana laatuzigh quluubaana ba'dza idz hadaetana wa hablanaa milladunka rohmatan innakaa antalwahhaab.

Suara ketukan pintu dari luar menghentikan semua aktifitasnya. Tangisan Ilyas yang keras membuat Hazimah berlari membuka pintu. Rasa sedih bercampur emosi mampu melupakan kewajibannya sebagai seorang ibu. Hazimah membuka pintu, saat itu juga tatapannya bertemu dengan Haidar. Cepat-cepat dia membuang muka agar suaminya tak melihat mata merahnya.

"Assalamualaikum," salam Haidar, "Ilyas nangis terus, kayaknya dia nyariin bundanya."

Ilyas kini sudah berpindah dalam gendongan Hazimah. Dia membawanya masuk untuk diberi ASI. Sambil menunggu istrinya menyusui buah hati mereka, Haidar menyalakan televisi. Sebenarnya, dia sudah harus pergi menemui rekanan Zafran untuk menyelesaikan semua masalah kerja sama itu. Namun,  mendengar cerita Sania, Haidar menunda pertemuan mereka beberapa jam kemudian.

"Kamu masih di sini, Mas? Mau aku buatkan sesuatu?" tanya Hazimah. Dalam dekapannya ada Ilyas yang tersenyum ketika bundanya bicara. "Aku buatkan sarapan, ya?" tanyanya sekali lagi ketika melihat suaminya melamun.

"Ma, apa yang terjadi tadi?" Haidar mengajukan pertanyaan sesuai apa yang sedang dia pikirkan.

"Ndak ada, Mas," jawab Hazimah gemetar sambil menyerahkan Ilyas ke pangkuan Haidar. "Aku mau bikin sarapan dulu, lapar. Jagain Ilyas sebentar, ya. Mas, juga pasti belum sarapan, 'kan?"

Ingin berkata tidak, Haidar sudah terlanjur melihat mata yang membengkak dari istrinya. Sekalipun dia sudah sarapan bersama Aliyah dan keluarganya, tetapi menolak ajakan sang istri bisa menyakitinya lagi. Berat hati, dia menganggukkan kepala agar Hazimah sedikit bahagia.

Hazimah mulai memasak makanan sederhana yang tersedia di lemari pendinginnya. Di sana, hanya ada roti tawar dan telur dengan gerakan cepat dia membuat sandwich telur dilengkapi sayuran. Selesai mengerjakan masakannya, Hazimah memanggil Haidar.

Wajahnya dia buat sebahagia mungkin untuk menutupi rasa sedih dan kecewanya. "Siniin Ilyas, Mas. Njenengan makanlah!"

"Katanya kamu lapar, Ma. Mengapa enggak makan duluan?  Biar aku gendong dia," ujar Haidar.

"Aku belum mandi, Mas. Makan setelahnya aja, ndak enak baunya habis masak tadi." Hazimah berjalan ke kamarnya setelah menyerahkan sepiring makanan buatannya.

Haidar menggelengkan kepala, selalu saja begitu dari dulu tak berubah. Hazimah adalah tipe perempuan yang tidak akan membiarkan orang lain mencium aroma tak sedap pada tubuhnya. Mau tak mau dia menunggu istri keduanya itu sampai selesai dengan ritual mandinya. Tak salah sebenarnya apa yang dilakukan Hazimah karena hal itu sesuai dengan sunah.

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang