12. Zafran Abrisam.

807 82 31
                                    


Happy reading 😍😍

***

Malam ini adalah malam penentuan bagi Zafran. Hazima telah mengetahui musibah yang menimpa suaminya. Sebelum kejadian itu, dia ingin memberi kejutan Zafran atas kehamilannya. Namun, sekarang malah dia yang dikejutkan dengan kabar yang membuatnya bersedih.

Jika sampai terjadi apa-apa dengan Zafran, maka dia akan hidup sendirian di dunia ini. Suaminya itu adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki olehnya. Ayah Hazimah telah berpulang tepat setelah pengucapan akad nikah yang dilakukan oleh Zafran, sedangkan ibunya berpulang lebih dahulu karena sakit yang dideritanya bertahun-tahun.

Masih dengan tubuh yang masih berbalut perban, Haidar menghampiri Hazimah yang duduk di samping ranjang Zafran. Isakan darinya mampu membuat hati Haidar teriris. Dia adalah penyebab dari keadaan Zafran saat ini. Sakit, melihat orang yang disayanginya menangis, walau bagaimanapun nama Hazimah masih ada dalam hatinya.

"Maaf, aku menyebabkan suamimu celaka. Aku akan menanggung semua biaya pengobatannya sampai dia sembuh." Dengan kursi roda yang didorong oleh Aliyah, Haidar menjenguk sahabatnya.

Mata Hazimah menatap sinis padanya. "Ini, 'kan yang kamu mau? Selalu membuatku bersedih. Dari dulu sampai sekarang kamu tidak pernah berubah. Selalu membuat aku menderita. Apa salahku sama kamu, hah?" Emosi Hazimah meluap. Matanya merah menatap Haidar.

"Maaf, aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Semua ini terjadi di luar kehendakku." Haidar memang tidak memiliki alasan agar Hazimah memaafkannya. Selama ini, dia begitu banyak menorehkan luka pada gadis pujaannya itu.

"Mbak, tolong maafkan suamiku. Ini musibah bagi kita semua. Bukan, hanya suamimu yang terluka, tetapi juga suamiku." Kali ini Aliyah angkat bicara, setidaknya dia harus membela sang suami yang sama terlukanya. Bahkan mobil yang dikendarai Haidar pun raib dibawa pergi si begal.

"Kalian berdua pergilah! Jangan katakan apa pun lagi!" Hazimah berdiri dan membuka pintu ruang rawat Zafran, dia mempersilakan keduanya untuk keluar.

"Mas, Mbak itu kenapa sampai ngomong seperti itu?" tanya Aliyah saat mereka berjalan kembali ke ruang rawat Haidar.

"Jangan mencampuri urusan yang kamu enggak tahu! Diam lebih baik." Selalu saja perkataan Haidar sinis kepada Aliyah. Padahal dia hanya ingin tahu, tidak ada maksud apa pun.

Dari arah lorong di depannya, Haidar melihat seorang perempuan paruh baya yang ia yakini ibunya Zafran. "Tante, Yana!" teriaknya. Perempuan tersebut berhenti.

"Ya." Dia mengamati wajah Haidar. Ingatannya sedikit berkurang karena telah lama tidak bertemu dengan sahabat karib sang putra. "Haidar, 'kan?"

"Inggeh (ya), Tan." Aliyah masih setia di belakang kursi roda suaminya.

"Bagaimana keadaanmu, Nak? Mengapa ini bisa terjadi pada kalian?"

"Alhamdulillah, Tan. Saya baik-baik saja, tetapi putra Tante." Haidar menunduk, dia menyembunyikan air mata yang sudah jatuh. Tak ingin terlihat oleh siapa pun.

"Sabar, Nak! Ini musibah bagi kita semua, bukan inginmu seperti ini. Asal kalian selamat, Tante, sudah lega."

"Terima kasih, Tan." Haidar mengambil tangan kanan ibunya Zafran, lalu menciumnya takzim. Yana, ibunya Zafran segera pamit untuk menemui putranya.

***

Lorong rumah sakit yang sepi menambah gelisah hati Haidar. Lukanya yang belum sembuh sempurna ia abaikan. Dia lebih khawatir tentang keadaan sahabatnya saat ini. Tim dokter sedang memeriksa kondisi Zafran kembali. Kondisinya memburuk beberapa waktu lalu.

Seandainya Haidar bisa membawa Zafran lebih cepat, mungkin dia tidak akan terlalu kehilangan banyak darah. Sayangnya dia pun pingsan setelah pemukulan oleh para begal itu. Beruntung masih ada orang yang mau menolong mereka jika tidak, Haidar tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya dan Zafran.

Ya Allah. Sembuhkanlah sahabatku!
Jika ada kebaikanku yang Engkau terima, maka berikanlah seluruh amal pahalanya untuk kesembuhan Zafran. Ya Allah. Ampunilah aku atas semua yang terjadi pada Zafran. Sembuhkanlah dia, Ya Rabb ....

Saat Haidar tengah berdoa dalam hatinya. Suara keras dari salah satu perawat yang mengatakan untuk membawa pasien ke ruang ICU terdengar. Dia melihat tangisan memilukan dari Yana dan Hazimah.Seluruh keluarga Haidar menatap sedih atas keadaan Zafran. Tatapan kebencian dari Hazimah semakin menyayat luka di hatinya.

"Jika, sampai terjadi apa-apa dengan suamiku, aku tidak akan pernah memaafkanmu!" Suaranya bergetar disertai ketakutan yang luar biasa. Yana semakin mengeratkan pelukannya pada sang menantu.

"Sabar, Aza! Semua ini musibah, bukan salah Haidar jika suamimu seperti ini." Yana mengusap lembut pucuk kepala Hazimah. Sementara bundanya Haidar masih bertafakur dengan kejadian yang dialami putranya.

"Enggak, Ma! Dia memang sengaja melakukan ini padaku. Aku tidak tahu dendam apa yang membuatnya sangat membenciku. Kamu boleh berbuat sesukamu padaku, tapi jangan lakukan pada Zafran!"

"Aza, kendalikan dirimu!" Tak sadar Yana pun membentak menantunya.

"Mbakyu, biarkan saja! Menantu njenengan masih syok mungkin," sela Sania.

"Tante, biarkan dia meluapkan semua kekesalan hatinya pada saya! Saya memang pantas dicaci. Saya yang salah!" Haidar menggengam tangan sang Bunda yang sedang berada di dekatnya dengan erat, dia butuh kekuatan untuk melewati semua ini. "Tante, tolong maafkan saya atas kejadian yang menimpa Zafran!"

Aliyah menatap tak percaya pada suami dan juga Hazimah. Dugaannya mendekati benar, di antara keduanya ada sesuatu di masa lalu. Bulir bening itu pun jatuh ke pipinya. Dia berasumsi sendiri, mungkin inilah alasan suaminya belum bisa menerima kehadirannya. Ada sosok perempuan lain dalam hatinya.

Lama mereka menunggu di depan ruang ICU. Belum ada seorang pun yang keluar dari sana. Kecemasan dan ketakutan akan kesehatan Zafran sama kelamnya seperti malam yang semakin larut. Gelap dan sepi, semua orang yang sedang menjenguk pasien sudah harus meninggalkan rumah sakit. Jam berkunjung mereka sebentar lagi akan habis.

Ruby dan suaminya juga berpamitan, dokter tidak mengijinkan terlalu banyak orang yang menjaga pasien. Cukup dua orang keluarganya saja yang menemani. Seorang perawat keluar dari ruang ICU, dia melihat Haidar yang masih duduk menunggu di sana.

"Ibu, tolong suaminya dibawa masuk ke ruang rawatnya kembali! Angin malam tidak baik untuk kesehatannya. Dia masih butuh banyak istirahat agar kesehatannya cepat pulih."

"Iya, Sus." Tanpa bertanya lagi, Aliyah segera membawa Haidar ke ruangannya yang terletak tidak begitu jauh dari ruang ICU.

"Al, aku masih ingin melihat perkembangan sahabatku. Bawa aku ke sana lagi!"

"Mas, kamu gak dengar kata perawat tadi? Kamu perlu banyak istirahat!" Nada suara Aliyah meninggi, dia sedikit jengkel dengan Haidar. Harusnya, dia bisa memperhatikan kesehatannya sendiri, bukan hanya sang sahabat.

"Al, jangan membantah suami!"

Aliyah seakan tuli dengan perkataan Haidar dia terus mendorong kursi roda itu hingga memasuki ruangan. Biarlah kali ini dia tidak patuh pada suaminya. Dia, hanya ingin orang yang disayanginya segera kembali sehat.

Setelah pintu terbuka, Aliyah segera merangkul Haidar untuk menuju ranjangnya. Namun, Haidar menepis tangan itu, dia kecewa dengan istrinya yang tidak mau menuruti permintaannya. Dengan wajah penuh kekecewaan Haidar merebahkan tubuhnya, tetapi otaknya masih mengembara memikirkan keadaan Zafran.

Terbayang wajah Hazimah yang penuh derai air mata. Mengapa hatinya begitu sakit melihatnya seperti itu. Padahal, dia telah berjanji kepada diri sendiri akan melupakan semua rasa yang dimiliki kepada Hazimah.

***

Love you all 😘😘
Banyuwangi, 3 Januari 2021

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang