30. Lagi ... lagi dan lagi

680 67 27
                                    


Happy Reading

*****

Siang yang terik begitu menguras emosi, lengkingan suara dipenuhi amarah menguasai ruangan berukuran sempit itu. Dua orang lelaki didampingi seorang notaris tengah berdebat saat ini. Ya, Haidar sebagai perwakilan keluarga Zafran tengah berjuang meminta hak pada rekan kerjanya atas pembagian laba dan juga saham. Harusnya Hazimah yang berada di sana, tetapi karena kondisi bayinya yang masih dalam perawatan semua diserahkan pada Haidar.

"Saudara Zafran selama ini sudah mengabaikan kerja sama ini, jadi dia tidak berhak mendapatkan keuntungan dari laba sesuai kesepakatan awal. Saya yang berjuang membesarkan usaha ini sendirian, lalu mengapa dia yang mesti menikmati hasilnya." Suara rekan kerja Zafran semakin meninggi, dia tak sedikit pun mau menerima penjelasan yang dipaparkan Haidar.

"Tenang dulu, Pak. Dalam perjanjian kerja sama bukankah sudah dijelaskan, siapa pun yang mengelola usaha bersama ini. Dia akan tetap mendapat laba bersih setiap bulannya sesuai dengan kesepakatan. Lalu salahnya Pak Zafran apa hingga beliau tidak mendapatkan haknya itu?" Notaris itu berusaha memberikan penjelasan sesuai isi perjanjian kerjasama yang dibuat oleh kedua pihak.

Dalam perjanjian itu sudah disebutkan, siapa yang mengelola usaha akan mendapat gaji sesuai dengan jabatannya. Selain itu, sebagai penyetor modal dia akan mendapat laba bersih dari perusahaan dengan pembagiaan yang sama. Modal yang disetor oleh Zafran dan rekannya itu sama besar. Namun, dia seolah orang yang paling berhak untuk mendapatkan pembagian yang lebih besar.

"Sekarang gini saja, Pak. Jika tetap kukuh pada pendirian Anda. Saya yang akan menggantikan posisi Anda mengelola usaha ini dan saya meminta pembagian yang lebih besar. Jadi, keadaan akan saya balik sekarang. Apa Anda mau seperti itu?" Emosi Haidar mulai terpancing. Kata-kata dengan makna lebih halus sudah dia utarakan, tetapi lelaki di hadapannya itu masih berpegang teguh pada asumsinya sendiri.

"Tidak bisa begitu, Pak. Seseorang yang berhak menggantikan posisi Pak Zafran, ya, istrinya. Kecuali Anda adalah suami dari Bu Hazimah saya akan dengan senang hati melakukannya." Telak, Haidar tak berkutik dengan perkataan lelaki di depannya kini.

Senyum kemenangan tercetak jelas dari wajah Tomi, teman Zafran yang telah bekerja sama mendirikan usaha rent car. Notaris sebagai penengah di antara keduanya tak dapat berkata apa-apa. Dia, hanya mencoba menelaah setiap kalimat yang diucapkan Tomi.

"Maksud Anda apa?" tanya Haidar.

"Saya rasa maksud saya cukup jelas, apalagi Anda lulusan akademik yang cukup berkompeten di bidang ini. Jelas tertulis pada pasal perjanjian,  bahwa Ibu Hazimah adalah pewaris dari saham usaha ini. Jika hanya kuasa yang dia berikan, maka itu tidak akan terlalu kuat. Kecuali Anda menggantikan posisi Zafran sebagai suaminya." Jeda sejenak, Tomi menatap Haidar dan Notaris itu bergantian. "Bukan begitu, Pak?" tanyanya lebih lanjut pada Notaris.

"Itu hanya akal-akalan Anda saja, Pak. Tidak ada hukum yang menyebutkan hal seperti itu. Kuasa dari Bu Hazimah sudah cukup mewakili." Biarpun perkataan Haidar tidak setuju, tetapi dalam hatinya dia ragu dan mulai berpikir.

"Terserah Anda. Jika masih ingin bergabung dengan saya, maka pikirkan saran yang tadi. Saya permisi." Tomi berjalan keluar meninggalkan dua orang yang masih sibuk mencari jalan keluar masalah yang dihadapi.

Merasa pusing dengan keadaan yang dialaminya, Haidar melajukan kendaraannya pada sebuah tempat. Sebuah pantai yang cukup jauh dari kediamannya. Dulu, dia sering pergi ke pantai ini bersama Zafran. Di sana dia sering menghabiskan waktu hanya sekedar duduk atau berjalan,  mendaki bukit di depan pantai. Jika sudah mencapai puncak bukit,  meraka berdua tertawa lepas dan berteriak sekencang-kencangnya berusaha meluapkan segala permasalahan yang mendera.

Pantai Watu dodol selalu menjadi daya tarik tersendiri, apalagi dengan segala mitosnya. Kali ini Haidar, hanya duduk di atas batu karang yang lumayan rendah. Deburan ombak sesekali mengenai pakaiannya dan dia membiarkan air laut membasahi sebagian kemejanya. Lagi dan lagi wacana pernikahannya dengan Hazimah harus dia dengar.

Tepat selesai melaksanakan salat Magrib, Haidar menerima pesan dari bundanya. Bayi Hazimah menolak asupan makanan yang masuk padanya, seharian ini dia tidak mau meminum ASI yang diberikan. Kondisi bayinya melemah karena kurang asupan makanan.

"Enggeh, Bun. Ini sudah di jalan,  mangke langsung ke sana," ucap Haidar di telepon.

"Yo wis. Hati-hati, ya, Dik. Fokus nyetir, kamu sangat diperlukan saat ini kasihan Azza sendirian di sana." Balasan salam dari Haidar sebagai penanda panggilan itu sudah berakhir.

Haidar memukul setir pelan, lagi-lagi masalah menghampiri. Baru saja kebahagiaan hadir, tetapi kini sudah ada lagi yang harus dia hadapi. Jarak tempuh yang lumayan lama membuat Haidar sampai di rumah sakit sudah malam.

Tergopoh dia berjalan mendekati ruang NICU tempat bayi mungil itu di rawat. Namun, tak ada satu pun orang yang sedang menunggu di depan ruangan itu yang dia kenal. Haidar merogoh saku celananya,  mengambil ponsel untuk menghubungi Hazimah.

Tak ada respon, Hazimah tidak mengangkat panggilannya. Cepat-cepat Haidar menghubungi Aliyah dan beruntung istrinya segera mengangkat teleponnya.

"Assalamualaikum. Mas dari mana aja? Kenapa baru ngabari, keadaan si kecil bagaimana sekarang?" Aliyah tak membiarkan Haidar bicara sedikit pun, dia terus memberondong suaminya dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan.

"Waalaikumsalam. Al, dengarkan masmu dulu. Mas, baru aja sampai di rumah sakit. Di lagi di depan ruang NICU, tapi Azza dan bayinya enggak ada." Helaan napas Haidar memburu.

"Astagfirullah, tadi dia bilang bayinya lagi diobservasi sama dokter." Aliyah mulai panik.

"Ya, sudah. Mas tanya ke perawat aja. Kamu yang tenang, ya. Jaga kesehatan, jangan berpikir terlalu keras!" Setelah mengucap salam, Haidar mengakhiri panggilannya.

Salah satu perawat yang berjaga di ruangan itu memberikan info bahwa bayi Hazimah kini ada di unit darurat. Kondisinya benar-benar lemah. Gegas Haidar mencari Hazimah, setengah berlari dia menuju ruang yang katakan perawat itu.

Kurang dari satu meter jarak Haidar dengan ruang darurat, dia mendengar dan melihat Hazimah sesenggukan di bangku tempatnya menunggu. Langkah Haidar melemah, di depannya kini tampak sosok lain dari seorang perempuan yang terlihat putus asa. Hazimah yang dia kenal bukanlah seperti sekarang ini.

"Ima," panggil Haidar, ragu-ragu dia mendekat ke arahnya.

"Ain," Hazimah berdiri dan langsung mendekat. Hampir saja keduanya berpelukan, tetapi urung dilakukan karena Hazimah mundur selangkah.

"Tenangkan dirimu, dia akan baik-baik saja."

"Dia satu-satunya kenangan Mas Zafran. Bagaimana jika ...?"

Haidar meletakkan jari telunjuknya di bibirnya sendiri, berusaha menghentikan ucapan Hazimah. Sekarang bagaimana dia akan menceritakan apa yang terjadi tadi siang, keadaan Hazimah tidak sedang baik-baik saja saat ini.

*****

Love you all 😘😘
Banyuwangi, 12 Juni 2021

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang