6. Perjalanan Hati

942 95 36
                                    

Happy reading dears




***

Gawai di tangan seolah mengalihkan seruan untuk segera menghadap memenuhi Panggilan-Nya. Suara azan yang berkumandang seperti nyanyian, hanya perlu didengar tanpa bergegas segera melaksanakan seruan-Nya. Sedari Haidar masuk ke kamar mandi sampai dia keluar, Aliyah hanya sibuk dengan benda pipih persegi panjang di tangannya.

Beberapa kali Haidar mencoba terbatuk-batuk agar Aliyah menyadari kehadirannya. Namun, Aliyah masih terlihat asik dengan mainan di tangannya, tak jelas apa yang sebenarnya ia kerjakan dengan benda mati tersebut. Sesekali senyumnya mengembang ketika melihat benda pipih itu.

"Ehem. Saya mau ke musala," pamit Haidar. Tanpa menghiraukan jawaban Aliyah, dia membuka pintu kamar dan bergegas pergi.

Aliyah, hanya melirik kepergian Haidar. Terlalu fokus membalas puluhan chat grup teman-temannya yang memberikan ucapan selamat. Dia abai bahwa statusnya kini sudah bukan remaja lagi. Ada tanggung jawab untuk melayani segala kebutuhan suaminya daripada sekedar membalas puluhan chat tak penting. Aliyah juga melupakan bahwa sudah waktunya memasuki salat asar.

Suara derit pintu yang terbuka, membelalakan pandangannya. Terlihat sosok laki-laki yang tinggi, nyaris mendekati kurus dengan kulit cenderung kuning langsat, memasuki kamar yang sedari tadi Aliyah tempati. Sejak keberangkatannya ke musala, posisi Aliyah masih sama, tak beranjak sedikit pun dari gawai yang dia pegang. Ada kegetiran hati dalam dirinya. Miris melihat sosok perempuan yang baru beberapa jam lalu menjadi istri, tak menghiraukan waktu salatnya.

"Mas, sudah pulang, ya?" Hanya pertanyaan itu yang meluncur dari Aliyah.

"Hmm." Meletakkan kopiah pada rak tempat peralatan salatnya berada. "Apa ponselmu lebih penting dari seruan Allah?" Berlalu menuju kamar mandi untuk berganti baju. Namun, langkahnya terhenti kala mendengar jawaban Aliyah.

"Bentar lagi, Mas, tanggung. Masih banyak chat yang belum di balas." Tangannya sibuk mengetikkan balasan.

Diurungkan niatnya untuk mengganti pakaian. Haidar berbalik arah dan mendekati Aliyah. "Tak ada balasan pahala untuk seseorang yang mengikuti hawa nafsu. Sebab mengikuti hawa nafsu itu mudah, enak dan tak perlu ilmu, tak perlu pengorbanan. Menjalankan salat tepat waktu itu takkan pernah mudah. Membutuhkan keikhlasan hati untuk memprioritaskan waktu di atas kepentingan dunia. Ingat ini baik-baik! Jangan sampai nanti menyesal ketika ragamu sudah terlepas dari ruhnya." Berjalan kembali ke kamar mandi.

Kerongkongan Aliyah tiba-tiba terasa mengering, mendengar kalimat terakhir Haidar. Meskipun, tak tampak kemarahan pada parasnya, tetapi intonasi di setiap kata yang terucap seakan luapan amarah yang telah dia pendam sejak tadi. Segera Aliyah mengikuti langkah Haidar ke kamar mandi, dia menunggu Haidar di depan pintu.

"Mas, jangan lama-lama! Aku juga mau mandi dan salat. Keburu habis waktu asarnya." Mengetuk pintu kamar mandi supaya Haidar mengetahui keberadaannya.

Kurang dari tiga menit, Haidar membuka pintu. Dengan cepat Aliyah memasuki kamar mandi, Haidar hanya memandang dengan keheranan. Mengapa harus dengan perkataan yang sedikit keras istrinya itu baru menyadari kesalahannya.

Haidar merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kedua tangannya ia letakkan diatas kepala. Tatapannya tertuju pada plafon kamar. Memorinya kembali pada pertemuan dengan perempuan yang dicarinya selama ini. Mata itu masih menyiratkan begitu banyak kebencian padanya. Haruskah Haidar memintanya kembali bertemu untuk menjelaskan semua dan meminta maaf kepadanya?

Dia membalikkan badan, memiringkannya ke arah kiri. Tampak Aliyah yang sedang melaksanakan salat asar. Haidar menatapnya dalam. Mengamati setiap gerak yang Aliyah lakukan.

Kembali dia teringat kepada Hazimah. Saat itu sedang diadakan rapat akhir kepengurusan komisariat. Dia adalah salah satu peserta yang sering kali mengingatkan semua orang,
jika sudah masuk waktu salat. Tak sedikit teman-temannya yang kagum atas kedisiplinan waktu yang Hazimah miliki. Seorang perempuan yang berani menegur Haidar untuk menghentikan segala aktifitas ketika azan berkumandang. Tak segan dia marah kepadanya karena sering abai dalam menjalankan kedisiplinan salat.

Ah, seandainya Aliyah seperti dirimu pasti rasa yang kumiliki akan segera berpindah dengan cepat kepadanya. Allah teguhkan hatiku untuk Aliyah. Monolog Haidar.

Sementara Haidar masih berandai-andai dengan Hazimah, Aliyah sudah menyelesaikan salat Asarnya. Aliyah mendekat kepada suaminya yang sedang berbaring. Dia menyentuh pelan pergelangan tangan Haidar untuk mencium telapaknya. Namun, Haidar masih bergeming dengan lamunannya. Disentuhnya kembali sang suami, kali ini agak keras. Haidar terkejut dan langsung menatap Aliyah dengan tajam.

"Astagfirullah. Kamu sedang apa, Aliyah?!" Tanpa sengaja Haidar mengatakannya dengan suara tinggi hingga Aliyah mundur menghindarinya. Dia takut melihat reaksi suaminya itu.

"Ma-af, Mas. Aku, hanya berniat menyalami, Mas, seusai salat," terbata Aliyah mengatakannya. Ia masih terlihat syok dengan perkataan Haidar tadi.

"Maaf, aku tidak bermaksud." Haidar bangkit dan duduk, dia menyerahkan tangan kanannya kepada Aliyah. Aliyah pun segera memengang dan mencium punggung tangannya.

Segera Aliyah melipat mukenanya dan membereskan perlengkapan salat yang dia pakai tadi. Haidar masih memperhatikannya. Maaf, tak pernah ada maksud untuk berkata dengan nada tinggi seperti tadi, aku hanya terkejut. Reaksiku memang berlebihan.

Sadar akan tatapan suaminya, Aliyah menoleh. Tak terlintas senyum sedikit pun dari suaminya. Tanpa rasa malu dan sungkan setelah menyelesaikan semua, Aliyah segera beranjak menuju ranjang, dia merebahkan tubuh di samping suaminya. Haidar tertegun dengan apa yang dilakukan.

Aliyah tak peduli dengan keheranan Haidar, baginya apa yang dia lakukan sudah sewajarnya. Bukankah mereka sudah sah sabagai suami istri. Haidar tampak gelisah, dia belum terbiasa jika ada orang lain di tempat tidurnya. Dia berbalik memunggungi istrinya. Aliyah menyadari kegelisahan Haidar.

"Mas, jika memang kehadiranku mengganggumu, aku keluar saja. Aku akan istirahat di kamar lain." Aliyah berusaha memberi solusi.

"Jangan! Apa yang akan Bunda katakan nanti? Kita baru menikah, jangan menimbulkan banyak pertanyaan pada orang di sekeliling kita, terutama keluarga." Masih dengan posisi membelakangi Aliyah.

"Kalau begitu, aku keluar saja. Mas, istirahatlah!" Aliyah berdiri dan keluar dari kamar.

Haidar bernapas lega, setidaknya kali ini dia bisa beristirahat walau sebentar. Tubuh dan pikirannya perlu pendinginan setelah seharian menjalani serangkaian acara tadi. Dalam sekejap saja sudah terdengar dengkuran halus darinya.

Sementara di luar kamar, Aliyah sedang asyik bermain dengan ponselnya. Dia tak menyadari jika mertuanya sedang mengamati. Bunda Haidar, Sania, bertanya-tanya, mengapa menantunya itu tak menemani suaminya beristirahat di kamar. Adakah sesuatu yang sedang terjadi pada mereka.

"Nduk, masmu ke mana? Kok kamu sendirian di sini?" Menyentuh pundak agar Aliyah menyadari keberadaannya.

"Ada di kamar, Bun. Mas Haidar sedang istirahat," jawab Aliyah masih sibuk dengan gawainya.

"Lha, ngopo ra di kancani, Nduk (kenapa gak ditemani, Nak)?" Mulai duduk di samping Aliyah.

"Aliyah, takut ganggu Mas Haidar, Bun."

"Oh. Ora ono opo-opo tho tapi (tidak terjadi apa-apa, kan)? Masmu ora ngelarani atimu, kan (Masmu, tidak menyakiti hatimu, kan)?"

"Mboten, Bun (enggak, Bun)."

"Yo wis yen ngono (Ya, sudah kalau begitu). Bunda mau beres-beres sisa acara resepsi mau (tadi).

Sania berlalu dan meninggalkan Aliyah sendiri di ruang keluarga. Aliyah, hanya menatap kepergian mertuanya itu tanpa berniat membantu sedikit pun. Di rumah dia sama sekali tidak terbiasa dengan pekerjaan yang dilakukan mamanya. Dia, hanya akan menjadi penonton jika mamanya sedang di dapur atau beres-beres rumah.

***

Tekan bintang di pojok kiri bawah ya!!

Follow akun juga, aku malah seneng 😁😁
Love you all 😘😘
Banyuwangi, 12 Oktober 2020

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang