Happy reading****
Hari keberangkatan pengobatan telah tiba, meskipun harus diwarnai drama layaknya adegan sinetron dalam film nasional. Seluruh keluarga Haidar telah mendukung keputusan yang diambilnya bahwa selama pengobatan Aliyah berlangsung, mereka akan tinggal untuk sementara waktu di ibu kota propinsi Jawa Timur. Namun, Aliyah bersikeras meminta mereka berobat jalan saja.
Alasan yang dikemukakan cukup mengejutkan bagi seluruh keluarga mereka. Dia takut terjadi apa-apa dengan Hazimah, belum lagi cuti yang diajukan oleh Haidar tidak mendapat persetujuan. Pada saat kesehatan Aliyah sendiri masih sangat mengkhawatirkan, dia masih sempat memikirkan kondisi Hazimah.
"Jika tinggal di sana selama tiga bulan Mas akan kehilangan pekerjaan. Jadi, kita berobat jalan saja, ya," pinta Aliyah, padahal semua persiapan sudah dimasukkan ke mobil oleh Haidar.
"Jangan ngeyel, Al. Mas, gak suka kamu seperti ini. Semalam, kita sudah bahas semuanya dan hari ini tak ada debat lagi, oke." Gerakan tangan Haidar dengan cepat memindahkan Aliyah ke dalam gendongannya, lalu mendudukkan di mobil yang sudah siap.
"Mas, ih. Malu." Rona pipi Aliyah seketika bersemu merah.
"Biarkan saja, mereka pasti ngerti."
Setelah mendudukkan Aliyah di kursi tengah, Haidar berpamitan pada seluruh keluarganya. Satu per satu memberikan doa terbaik bagi kesembuhan istrinya. Ditemani satu orang sopir yang telah berumur, mereka berangkat pelan melajukan kendaraan.
Lambaian tangan serta isakan dari mertua serta bundanya, Haidar dengarkan dengan perasaan sesak. Tekadnya sudah bulat untuk menemani Aliyah dalam proses pengobatannya. Sekalipun nanti dia harus kehilangan mata pencaharian yang selama ini ditekuni, dia rela.
Keputusan yang Haidar ambil tidak serta merta dari dalam dirinya sendiri, Sania mendukung penuh pilihannya untuk pensiun dini sebagai abdi negara. Jika selama ini, sawah dan beberapa ladang miliknya dikerjakan oleh orang lain, maka saat Haidar tak lagi menjabat sebagai seorang ASN, dia akan terjun langsung mengikuti prosesnya penanaman hingga panen tiba. Dia yakin ketika satu pintu rejeki tertutup, sudah dipastikan Allah akan membukakan jalan rejeki yang lain sebagai gantinya.
Di belakang Haidar duduk, Aliyah terlihat cemberut. Tak jelas apa yang menjadi beban pikirannya saat ini, padahal sang suami telah melakukan pengorbanan yang besar demi pengobatannya. Bukan hanya tenaga, waktu, tetapi pekerjaan juga telah Haidar korbankan.
"Al, sudahlah!"
"Masa depan Mas itu masih panjang. Kenapa mesti mengorbankan semuanya demi aku." Suara Aliyah tercekat di kerongkongan menahan tangis.
"Kamu istriku, Sayang." Haidar mengedipkan matanya menggoda Aliyah. "Sudah kewajibanku mengurus semua keperluanmu. Jangan mendebatku lagi, semua yang terbaik untukmu seorang. Paham?"
"Mas ...."
"Jangan manja gitu, ah. Malu ada Pak Mat." Nama yang disebutkan Haidar tak lain adalah sopir yang menemani mereka selama tinggal di Surabaya.
Sikap Haidar sudah tidak sekaku dulu, apalagi sejak Aliyah terdiagnosis penyakit ganas itu. Dia berusaha agar istrinya tidak berpikir berat yang dapat menimbulkan kecemasan berlebih sehingga menurunkan imun tubuhnya. Namun tetap saja, Aliyah terkadang masih membahas hal-hal yang tidak seharusnya dia pikirkan.
Setengah perjalanan telah mereka lalui. Saat suara azan zuhur berkumandang, Haidar segera meminta Pak Mat untuk menghentikan mobil di masjid yang mereka lewati. Haidar membuka pintu tempat Aliyah duduk, dia terlihat lelap dalam tidurnya setelah berdebat panjang. Ya, Aliyah masih tetap kekeh meminta suaminya untuk menikah dengan Hazimah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat)
RomanceTerkadang dirinya merenung, mengapa hidup bisa berlaku sadis. Tersiksa rindu oleh sang gadis hingga tak tersisa kecuali perih tanpa habis. Angannya melayang pada percakapan imajinari antara dirinya dan dia yang tak pernah terjadi. Ia hanya ingin per...