25. Honeymoon Yang Tertunda.

819 66 25
                                    

Happy reading

***

"Kapan kami bisa menjalani terapi pengobatan istri saya, Dok," tanya Haidar pada dokter.

"Besok sudah bisa kita mulai, Pak. Mengingat kondisi pasien yang sudah siap menerima proses pengobatannya, tapi ingat Anda berdua harus sabar dan telaten pada pengobatan ini. Kami para dokter, bukanlah pesulap yang dengan mudah dapat menghilangkan penyakit istri Anda." Dokter muda itu tersenyum saat mengatakannya.

"Saya paham akan hal itu, Dok. Terima kasih sudah berkenan merawat istri saya." Haidar menjabat tangan sang dokter dan segera berpamitan.

Perjalanan pulang ke rumah, mereka lalui dengan peluh dan kesabaran. Jika, di Kota Gandrung tempat tinggal keduanya jarang sekali ditemukan kemacetan lalu lintas, maka saat ini mereka harus terbiasa dengan segala keruwetan jalanan. Udara yang lebih panas juga sangat terasa, belum lagi bunyi klakson dari para pengendara benar-benar menguji kesabaran.

Sempat banyak pertanyaan dari Aliyah untuk mencari jalan alternatif agar tak terlalu terjebak kemacetan. Namun, rasanya itu tidak mungkin karena setiap jalan sudah dipenuhi para pengendara yang saling berebut, apalagi di jam-jam sibuk seperti ini.

"Sabar, ya, Sayang," ucap Haidar.

Pagi ini Haidar sengaja tidak mengajak Pak Mat ke rumah sakit. Haidar ingin menghabiskan banyak waktu berdua dengan Aliyah. Dia menyadari, selama ini kebersamaan dengan sang istri sangat kurang intensitasnya. Dari awal mereka menikah, Haidar tidak mengajukan ijin cuti sama sekali. Selesai akad dan resepsi, keesokan harinya dia sudah menjalankan tugasnya sebagai abdi negara.

"Lho, ini bukan jalan pulang, Mas. Kita tersesat ini." Aliyah menyentuh lengan kiri suaminya, berusaha memberi tahu. "Tu, 'kan. Mas, sok-sokan, sih. Kalau emang gak tahu jalanan sini ngajak Mat Pat harusnya."

"Ini bener jalannya, Al. Kita enggak akan kesasar, lagian jaman serba canggih masak iya masih bisa nyasar." Haidar tertawa lirih melihat ekspresi istrinya.

"Jangan salah, Mas. Kadang mesin pemberitahu peta online juga bisa salah. Banyak kok kasusnya." Aliyah tak terima dengan perkataan Haidar. Realita yang ada memang seperti itu, tidak semua alamat yang ditunjukkan oleh peta online itu tepat. Banyak juga yang mengalami salah arah alias kesasar akibat arahan sang mesin canggih.

"Masak, sih? Mas, belum pernah tuh nyasar pas pake aplikasi online semacam itu." Senyum mengejek dia tampakkan pada Aliyah.

"Lagi untung aja, coba kalau lagi apes. Mas, pasti inget omongan aku. Dibilangin malah ngeyel." Aliyah membuang muka.

"Duh, istrinya Mas gampang banget marah sekarang." Haidar mencolek dagu Aliyah.

"Mas, ih. Kamu sekarang agak genit, ya."

"Genit sama istri sendiri 'kan gak masalah, Sayang." Selesai dengan perkataannya, Haidar memarkirkan kendaraan di sebuah kafe yang cukup nyaman untuk makan siang mereka kali ini. "Turun, yuk. Kita sarapan dulu."

"Sarapan yang kesiangan," Kikik Aliyah.

"Mau Mas gendong biar kamu enggak kecapean?"

"Mas ...." Aliyah mencubit pelan lengan suaminya. "Aku gak selemah perkiraanmu." Setengah berlari, dia melenggang pergi meninggalkan Haidar.

"Al, tunggu! Mas belum ambil kursi rodanya." Setengah teriak Haidar memanggil sang istri. Namun, Aliyah hanya menengok dan menjulurkan lidah padanya. "Mulai nakal, ya, kamu."

Napas Aliyah mulai tersengal-sengal karena sedikit berlari dari halaman parkir tadi. Bibir yang tanpa polesan apa pun tampak memutih seiring wajahnya yang kian memucat. Haidar hampir saja mengeluarkan air matanya melihat kondisi sang istri.

"Al, Mas sudah bilang jangan lari. Lihat kondisimu sekarang." Gegas Haidar merengkuh tubuh Aliyah dan mendudukkannya pada kursi roda.

Tatapan sayu milik Aliyah membuat Haidar tak tega meneruskan keinginannya untuk makan di kafe. Niat semula yang ingin membahagiakan sang istri berubah, melihat kondisinya. Haidar berjongkok tepat di depan kursi roda, tangan kanannya dia tangkupkan diatas jemari Aliyah.

"Kita pulang saja, ya. Kapan-kapan kalau kesehatanmu jauh lebih baik kita datang ke sini lagi." Haidar tetap memperhatikan kesehatan Aliyah sekalipun rencana yang telah disusunnya akan gagal.

"Aku lapar, Mas." Aliyah mencegah tangan suaminya yang hendak berputar arah kembali ke mobil.

"Al, lihat keadaanmu! Terapimu besok jauh lebih penting dari makan siang kita sekarang."

"Mas, aku gak apa-apa. Kita duduk sambil istirahat sebentar. Mau, ya? Mumpung suasana kafenya nyaman."

Haidar tak kuasa menolak keinginan Aliyah, apalagi melihat wajah sayunya. Jika sudah begitu, maka sebagai seorang suami mau tak mau Haidar menuruti permintaan sang istri. Mereka masuk dan berjalan-jalan sebentar di sekitaran kafe.

Di samping kanan kiri kafe ternyata banyak terdapat burung dengan aneka jenis dan warna. Kicauannya dapat mengubah suasana hati siapa pun yang datang berkunjung termasuk sepasang suami istri itu. Aliyah meminta kekasih halalnya berkeliling sebentar melihat keseluruhan kafe. Lebih jauh mereka berjalan tepatnya di bagian tengah, ada sebuah kolam air mancur. Di dalam kolam, ada beberapa angsa yang sedang berenang.

Lebih jauh Aliyah mengamati, inderanya menangkap hijaunya rerumputan yang memenuhi tanah lapang. Bunga melati mengelilingi keselurahan kafe, pagar hidup dari tanaman itu sangat memukau. Bunganya yang berwarna putih menyatu dengan warna dedaunan.

Haidar membawa istrinya ke tanah lapang dan mendekat pada bunga melati. Aliyah mulai menghirup dalam-dalam aroma bunga yang dapat merileksasi tubuhnya. Kemudian, dia menengok ke belakang tepat saat Haidar mensejajarkan dirinya di sebelah pipi Aliyah.

"Kamu suka tempat ini?"

"Suka banget, Mas. Darimana Mas tahu kafe ini?" tanya Aliyah masih dengan segala ketakjubannya.

Haidar berbisik mesra, "Dari mimpimu yang selama ini belum sempat Mas wujudkan sepenuhnya. Maaf, Mas, terlambat melakukan hal-hal romantis seperti keinginan dan impianmu dulu." Tanpa sungkan Haidar mendaratkan satu kecupan di bibir Aliyah.

Jika ada yang harus mekar dalam tubuh Aliyah, dipastikan itu adalah hatinya. Ribuan bunga melati yang ada di dekatnya kini tak akan sebanding dengan perasaannya yang mengharu biru karena keromantisan sang suami. Haidar sukses membuat Aliyah jatuh lebih dalam lagi padanya.

"Kita makan sekarang, ya?" Haidar mendorong kursi roda, menuju gazebo yang sudah dia siapkan.

Aliyah tak menduga sama sekali jika lelakinya telah menyiapkan makan siang dengan tatanan meja yang romantis sekali. Semakin mendekati meja lengkungan bibir Aliyah semakin terangkat ke atas. Bagaimana tidak tersenyum lebar, apa yang dilihatnya kini benar-benar seperti mimpi.

Meja bundar dengan alas kain putih disertai bunga mawar merah yang disusun rapi membentuk hati ada di hadapan Aliyah saat ini. Appetizer yang berupa salad pun dikemas dalam mangkuk berbentuk hati. "Mas, aku bahagia sekali." Dia memeluk Haidar erat.

"Terima kasih, Sayang. Enggak sia-sia Mas menyiapkan semua ini." Haidar mengecup kening Aliyah lama setelah itu dia berbisik, "Jika Mas kumpulkan seluruh waktu saat-saat bahagia dalam hidup yang telah terlalui, maka semua itu tidak akan menyamai indahnya waktu yang kita lalui saat ini. Aku mencintaimu, istriku." Sekali lagi Haidar mencium kening istrinya.

Sesuatu yang diimpikan Aliyah telah terkabul saat ini. Hal-hal romantis yang dulu dia kubur karena penolakam Haidar, kini dengan mudahnya diberikan oleh sang imam. Sungguh, Aliyah sudah melupakan impiannya tentang suami seperti yang sering teman-temannya ceritakan. Baginya, perubahan sikap Haidar yang tak lagi menghindarinya saja, itu sudah cukup.

Ya Rabbul izzati. Bolehkah aku egois meminta agar semua ini berlangsung lebih lama? Hamba masih ingin merasakan cinta Mas Haidar sepenuhnya, tanpa dihantui penyakit yang dideritaku saat ini.

Detik selanjut, Aliyah meneteskan air mata bahagia untuk semua yang telah Haidar lakukan.

***

Tekan bintang di pojok kiri bawah, ya.
Tinggalkan jejak juga, aku pengen kenalan sama yang baca ceritaku ini.

Love you all 😘😘
Banyuwangi, 31 Mei 2021

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang