Tinggalkan jejak dan juga tekan bintangnya, ya
Happy Reading
*****
Indera penciuman Haidar membaui aroma lavender saat masuk ke rumah yang dia sewa untuk Hazimah. Hidungnya kembang kempis menikmati keharumannya. Terus terang, selama ini Haidar tak pernah sekalipun masuk ke rumah yang telah dia sewa. Dia, hanya duduk di teras rumah saat berkunjung dan itupun ditemani Aliyah.
Entah siapa yang melakukannya, memang Hazimah atau orang lain yang jelas rumah itu kini dekorasinya persis suasana pengantin baru. Penuh nuansa romantisme. Satu yang Haidar tahu saat dia menyalakan penerangan di ruang tamu,sedetik dia melirik Hazimah dan dia pun sama terkejutnya. Berbagai macam bunga Mawar bertaburan di lantai, di meja tamu ada taburan mawar berbentuk hati yang dikelilingi lilin.
Sekali lagi Haidar menatap istri barunya. Namun, Hazimah malah menunduk. Dia tak berani menatap balik, sungguh bukan dia pelaku semua ini. Hazimah pun sama terkejutnya, ketika dia keluar tadi pagi untuk dirias. Sania meminta kunci rumah dan selanjutnya dia tak tahu apa-apa.
"Istirahatlah! Kasihan Ilyas, dia pasti kecapean. Semua orang menggendongnya tadi." Haidar duduk di sofa ruang tamu.
"Mau minum apa? Kopi atau yang lain?" tanya Hazimah sedikit ragu-ragu.
"Air putih saja, tapi tidurkan dia dulu." Cangung sangat canggung sekali percakapan mereka. Seolah keduanya adalah dua orang yang baru saling mengenal.
Dari tempat duduknya, Haidar memindai inderanya pada barang-barang yang tergantung di dinding sampai dia berhenti di satu foto Zafran. Senyuman khas miliknya tergambar jelas di sana. Haidar ikut tersenyum melihat gambar sang sahabat.
Maafkan aku, Sob. Tak pernah terbersit sedikitpun aku akan menikahi istrimu. Jika ini adalah yang terbaik bagiku dan dia, maka doakanlah agar aku bisa membahagiakan dia seperti kamu telah membahagiakannya.
Suara panggilan Hazimah menghentikan monolog hati Haidar. "Ya, ada apa?"
"Mau minum apa biar aku buatkan? Istirahatlah, minumanmu aku antar ke kamar nanti." Hazimah membalik badannya hendak berjalan.
"Ma, duduklah!" Haidar menunjuk kursi kosong tepat di hadapannya. "Apa kamu terpaksa dengan pernikahan ini?"Sebentar saja, Haidar melihat kilatan keterkejutan dari istri keduanya saat dia melempar pertanyaan tadi. Namun, cepat-cepat Hazimah menundukkan kepalanya sambil berkata, "Tidak ada keterpaksaan dalam sebuah takdir, aku hanya perlu penyesuaian semuanya. Maaf, jika kehadiranku menjadi beban buatmu." Hazimah kembali berdiri.
"Aku mau kopi. Terima kasih sudah bersedia menjadi istriku." Tak ada sentuhan fisik setelahnya. Hazimah, hanya mengangguk dan berlalu demikian juga Haidar.
Tak perlu Haidar bertanya lagi, kamar mana yang akan mereka tempati karena di rumah ini, hanya ada dua kamar. Salah satu digunakan Yana, sekilas dia tadi melihat Hazimah masuk ke kamar sebelah kiri tempat berdirinya kini. Haidar menyentuh gagang pintu dan mengucap salam sebelum memasukinya.
Bau khas bayi menusuk inderanya, Haidar tersenyum. Sekali saja dia melihat Ilyas menggeliat, senyumnya sudah merekah. Selalu saja begitu, bayi mungil itu memiliki magnet tersendiri yang dapat menghilangkan sebagian kegundahan Haidar. Ciumannya kini jatuh pada pipi mungil yang masih terlelap pada boks bayinya.
Ingin sekali Haidar menggendong, tetapi ragu. Takut Ilyas akan terbangun dari tidur nyenyaknya. Jari-jari mungil itu menempel pada pipinya yang mulai terlihat berisi, sangat jauh berbeda dengan keadaannya sebulan lalu.
"Assalamualaikum," salam Hazimah. Tangannya memegang nampan berisi secangkir kopi dan stoples kue kering.
"Walaikumsalam." Haidar kembali fokus pada Ilyas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat)
RomanceTerkadang dirinya merenung, mengapa hidup bisa berlaku sadis. Tersiksa rindu oleh sang gadis hingga tak tersisa kecuali perih tanpa habis. Angannya melayang pada percakapan imajinari antara dirinya dan dia yang tak pernah terjadi. Ia hanya ingin per...