22. Rasa Bersalah itu....

900 73 24
                                    


Happy reading

*****
Aliyah terbangun saat mendengar derit pintu terbuka, senyum terindah dia tampilkan menyambut kedatangan sang suami. Tampak jelas raut muka lelaki yang telah menghalalkannya itu penuh beban pikirin. Rasa bersalah sebagai seorang istri yang terus menjadi beban pada hidup Haidar semakin besar.

Harusnya, sang suami bisa meneguk manis kebahagian tanpa harus dibebani pikiran tentang penyakitnya. Aliyah menatap sedih pada Haidar. Ingin sekali merengkuh dan mendengarkan semua cerita yang Haidar alami selama seharian ini, tetapi Aliyah tak mampu melakukannya. Ada sebuah tembok terpasang di depannya yang bernama penyakit. Tubuh perempuan itu terlalu ringkih untuk memeluk lelakinya kini.

Aliyah, hanya mampu mengucap doa. Semoga semua kejadian saat ini bisa berakhir dengan indah. "Mas, gimana kesehatan Mbak Azza?"

Satu pertanyaan dari sang istri mampu membuat hati Haidar terenyuh. "Alhamdulillah, sekarang dia sudah baik-baik saja."

"Dia kenapa, Mas?" Lagi, pertanyataan tentang Hazimah keluar dari bibir Aliyah.

"Sudahlah, Sayang." Tangan kanan Haidar membelai kepala istrinya, ada begitu banyak rasa yang tak bisa dia ungkap saat ini.

Panggilan dan perlakuan yang sangat manis dari Haidar makin membuat Aliyah merasa bersalah. "Apa ini tentang janin dikandungannya?" Gerakan anggota tubuh bagian atas Haidar sudah mampu menjawab pertanyaannya.

"Kenapa, Mas? Apa ada kelainan atau gimana?" Kecupan di kening Aliyah membungkam semua pertanyaan yang masih ada di hatinya.

"Kandungan Azza lemah, tapi dokter sudah mengambil tindakan tadi. Makanya, Mas, baru pulang," jelas Haidar.

"Mas, aku boleh tanya?"

"Apa?" Haidar duduk di kursi tepat di samping kanan Aliyah yang tengah terbaring.

"Apa kalian berdua punya hubungan di masa lalu?"

Haidar berusaha menyembunyikan keterkejutannya atas pertanyaan Aliyah. Sudah sangat lama dia ingin menceritakan pada istrinya itu agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari. Namun, belum sempat Haidar mengatakannya pernyataan itu sudah terlontar dari Aliyah.

Sedikit ragu Haidar membuka suara, tetapi gestur tubuhnya tampak aneh di mata Aliyah. "Tidak ada hubungan spesial antara Mas dengan Azza. Kita, hanya teman kuliah."

Tangan kanan Aliyah menyentuh bantal yang dia gunakan, dia mulai meraba-raba bagian bawahnya. Berusaha mencari sesuatu dan ketika selembar foto itu sudah ada di tangannya, Aliyah memberikan pada suaminya. Haidar berusaha menguasai rasa terkejutnya saat melihat lembaran kertas itu.

"Mas, jika benar kalian gak ada hubungan di masa lalu, kenapa dia menuliskan sesuatu di belakang foto itu?" Aliyah menautkan kedua alisnya.

"Ehm, itu...."

Sebuah ketukan pintu terdengar, Haidar menghentikan perkataannya dan mempersilakan seseorang itu masuk. Deratan gigi putihnya tercetak jelas dari wajah ayu sang dokter, Aliyah pun membalasnya tak kalah ramah dengan senyuman yang dokter Irma berikan. Haidar memundurkan kursinya, memberi ruang agar sang dokter lebih leluasa memeriksa istrinya.

Beberapa saat kemudian dokter Irma berkata, "Insyaallah tiga hari ke depan, kamu sudah bisa melakukan pengobatan. Saya sudah menghubungi salah satu sahabat dokter yang dapat membantumu di sana."

Ucapan hamdalah keluar dari bibir Haidar dengan keras, tetapi berbeda dengan reaksi yang Aliyah tampakkan. Dia terlihat murung saat dokter itu menyampaikan kabar pengobatannya yang akan segera dilakukan.

"Bagaimana, Al? Apa kamu sudah siap untuk melakukan proses panjang ini?" ucap sang dokter.

"Kami siap, Dok!" sahut Haidar semangat. Beberapa saat kemudian Sania masuk, melihat senyum semringah sang buah hati dia pun ikut menampilkan deretan giginya.

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang