39. Cemburu

1.1K 85 53
                                    

Happy reading

*****


Suara klakson mobil ayahnya membuat Ilyas setengah berlari menghampiri. Aliyah yang mengikutinya dari belakang terus memanggil-manggil. Begitu sampai di depan pintu, Ilyas tertawa sambil mengayun-ayunkan tangannya. Seolah memanggil Haidar.

"Eh, enggak boleh lari-lari, Nak. Kasihan Ibu." Cepat Haidar meraih Ilyas dalam gendongannya.

"Udah pulang, Mas. Gimana hasilnya?" Aliyah meraih tangan kanan suaminya untuk dicium. Cepat Haidar membalasnya dengan mencium kening sang istri.

"Alhamdulillah, Sayang. Bundanya Ilyas dinyatakan positif hamil sama dokter." Haidar melebarkan lengkungan bibirnya, di belakangnya sudah ada Hazimah yang membawa beberapa tas kresek barang belanjaannya tadi.

"Alhamdulillah." Aliyah berlari ke arah Hazimah dan langsung memeluknya erat. "Selamat, ya, Mbak. Eh... jangan bawa yang berat-berat gini. Mas, gimana sih belanjaannya kok gak dibawain?" Aliyah memanggil Haidar.

"Astagfirullah. Mas lupa gara-gara lihat anak ganteng ini lari-larian." Haidar mencubit pipi Ilyas gemas. "Sini biar Mas yang bawa," pintanya pada Hazimah setelah menyerahkan putranya itu pada Aliyah.

"Turunin aja dia, Al. Ilyas dah mulai berat sekarang," saran Hazimah.

"Gak papa, Mbak," jawab Aliyah, "oh, ya, Mas. Kita jadi ke kondangan?"

"Jadi, Sayang," sahut Haidar sambil berjalan masuk ke rumah. Yana sudah lebih dulu diantar ke rumah Hazimah untuk beristirahat. "Nih, bajunya dah siap semua!" Dia menaikkan salah satu tas kresek yang dipegangnya.

Ketika Haidar dan Hazimah terus berjalan, Aliyah berdiri mematung. Biasanya sang suami selalu mengajak mereka berdua saat berbelanja, tetapi kali ini, hanya Hazimah yang dia berikan kesempatan itu. Merasa tak ada pergerakan dari istri pertamanya, Haidar menengok ke belakang.

Pengungkapan mimik muka istrinya sudah dapat Haidar prediksi. Setelah ini dia akan menjelaskan semuanya agar kesalahpahaman tak terus berlanjut. Sungguh tak ada niat untuk mengabaikan kehadiran Aliyah.

Dari arah kamarnya, Sania tergopoh memeluk menantu keduanya. Tadi pagi, dia sempat diberitahu oleh Aliyah bahwa Hazimah kemungkinan hamil. Sekilas dia juga mendengar pembicaraan Haidar di teras dengan para istrinya.

"Terima kasih, Mbak. Sudah menghadirkan pelita kebahagian di rumah Bunda." Sania memeluk Hazimah disertai ciuman pada kedua pipi sang menantu.

"Azza yang harusnya terima kasih, Bun. Sampun melahirkan lelaki seperti Mas Haidar," timpal Hazimah.

Aliyah yang melihat mertua dan Hazimah berpelukan meneteskan air mata. Betapa bundanya begitu bahagia saat mendengar salah satu menantunya hamil. Impian untuk memiliki cucu dari Haidar terlaksana sekarang. Aliyah mendekatkan jari telunjuknya pada mata, mengusap air mata kebahagiaan.

"Ada masanya nanti kamu yang akan mendapat kabar sebahagia itu, Sayang." Haidar memeluk Aliyah dari belakang dan menempelkan dagunya manja diantara ceruk lehernya. Ilyas tertawa melihat tingkah ayahnya. "Ayo ke kamar. Mas mau ngomong sesuatu, anak ganteng ini biar sama bundanya dulu."

Haidar memanggil Hazimah, lalu menyerahkan Ilyas yang masih dalam gendongannya pada Sania. Sesuatu dia bisikkan pada istri keduanya. Sania sedikit heran, mengapa putranya itu membawa kedua istrinya masuk ke kamar. Hal yang sama sekali tak pernah dia lakukan.

Haidar menutup pintu kamarnya, lalu meyuruh Aliyah dan Hazimah duduk di tepi salah satu ranjang berdampingan. Dia sendiri memgambil kursi rias Aliyah untuk diduduki. Kedua istrinya itu kini telah ada di hadapannya. Haidar menatap mereka bergantian.

"Sayang," panggil Haidar. Aliyah dan Hazimah mengangkat wajah mereka bersamaan, tak ayal dia pun tersenyum. "Maksud Mas Aliyah. Mas harap kamu enggak berpikiran jika kami berdua ingin mengabaikan kehadiranmu."

"Mas, Al gak pernah berpikir seperti itu, lho." Aliyah mulai gusar. Takut-takut apa yang sempat dia pikirkan tadi terbaca oleh suaminya.

Haidar mengangguk dan tersenyum. "Mas, percaya itu. Cuma alangkah baiknya Mas akan menjelaskan semuanya. Tadi bundanya Ilyas sudah meminta Mas pulang terlebih dulu, tapi untuk menghemat waktu Mas menolak. Jadi sekalian aja tadi langsung belanja karena yakin kamu akan dengan senang hati menerima pilihan bundanya Ilyas. Sungguh tidak ada maksud apa pun dari kami. Tolong maafkan kami bedua sekiranya sudah membuatmu terabaikan." Haidar mencoba menggenggam kedua tangan Aliyah.

"Mas, jangan buat aku jadi orang yang jahat dengan pikiranku tadi," Tetesan itu lolos. Aliyah terisak lirih.

Cepat Aliyah memeluk istri pertamanya. "Enggak, Sayang. Justru Mas yang merasa bersalah, harusnya tadi nerima saran bundanya Ilyas." Tangan kanan Aliyah yang bebas diraih oleh Hazimah.

"Al, maafin aku. Sungguh aku ndak maksud." Kaca-kaca di mata Hazimah juga mulai membias. Tak mudah ada di posisi mereka saat ini. Menyatukan tiga kepala dalam satu visi misi mencapai rida-Nya.

Tangan kiri Haidar mulai menyentuh lengan Hazimah. Dia memeluk kedua istrinya secara bersamaan. Kejadian tadi membuatnya harus lebih peka dengan perasaan istri-istrinya.

"Dah, ah, peluk-peluknya gerah juga." Aliyah mengurai pelukan suami dan Hazimah.

"Udah lega belum? Apa masih ada ganjalan yang mau kamu sampaikan, Sayang?" tanya Haidar.

"Gak ada. Maafkan aku Mas, Mbak Azza." Aliyah menarik garis bibirnya keatas sebagai bukti bahwa tak ada lagi ganjalan di hatinya.

Selesai dengan percakapan mereka, Hazimah keluar dari kamar Aliyah. Gamis yang suaminya pilihkan ternyata Aliyah lebih menyukainya sehingga mereka berdua menukarnya. Keduanya tersenyum membayangkan kehebohan Haidar saat Hazimah menceritakan bagaimana gamis-gamis itu bisa ditangan mereka.

Satu jam kemudian istri-istri Haidar sudah siap untuk pergi kondangan. Keduanya menatap Haidar tanpa kedip karena melihat Ilyas yang memakai baju sama dengannya. Baik Hazimah maupun Aliyah tidak menyangka jika suaminya ternyata bisa berpikir kompakan dengan si kecil.

"Lihatnya biasanya aja. Mas juga seorang Ayah yang pengen punya baju kembaran sama anaknya," ucap Haidar berlalu meninggalkan istri-istrinya menuju kendaraan yang akan mereka pakai.

"Ternyata dia bisa gitu juga,  ya, Al?" Hazimah berbisik.

"Suamimu, Mbak," goda Aliyah.

"Dih, suamimu juga kali," timpal Hazimah. "Dia udah berubah banyak,Al. Dulu aja juteknya minta ampun. Sok cool."

Aliyah tertawa keras, sampai Sania memperingatkannya dengan menempelkan jari telunjuk sebelah kanannya pada bibir. "Maaf, Bun," kata Aliyah disertai dua jari tangannya terangkat keatas.

"Lelaki yang kalian gibahin itu Haidar, lho. Dia suami kalian." Sania ikut tersenyum sambil menutup mulutnya. Sebagai seorang ibu yang sudah melahirkan Haidar, dia pun menyadari perubahan pada putranya.
"Ih, Bunda kenapa ikut tertawa?" tanya Aliyah.

"Hust. Sana berangkat! Ntar doi balik ke sikap jutek. Baru kalian tahu rasa." Sania berbalik arah sambil cekikikan menahan tawa.

Hazimah berjalan lebih dulu disertai senyum mengembang. Dia baru mengetahui jika Bunda mertuanya bisa ngelawak juga. Kebahagian yang didapat dengan sederhana, tetapi sangat menyenangkan rasanya.

"Mbak, tunggu!" teriak Aliyah.

*****
Love you all 😘😘
Banyuwangi, 3 Juli 2021

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang